+ Add to Library
+ Add to Library

C4 KENEKATAN

AYAHKU TIDAK ADA DI RUMAH esok paginya, yang nyaris membuatku panik dan buru-buru menelepon polisi mengenai laporan orang hilang. Namun aku paksakan otakku untuk berpikir positif; mungkin Ayah menginap di suatu tempat, mungkin Ayah kesasar dan terlelap di kursi mobilnya, mungkin Ayah bertemu dengan musisi metal legendaris dan mereka jadi sahabat selamanya, mungkin ....

Aku masih berusaha memasukkan pikiran positif pada otakku saat menyiapkan sarapan, yang terasa bagai dipaksa mengunyah spons mobil sebagai makan malam. Keadaan batinku masih oke-oke saja sebelum aku melihat pamflet kampanye protes besar-besaran menyelip di sela pintu. Dan bisa kujabarkan pikiranku saat itu dengan satu kalimat; kereta-kereta saling bertabrakan dan ledakan dahsyat menggelegar menjadi tiga bagian.

Namun sebelum aku sempat menjatuhkan piring sarapan waffel microwave dan buru-buru menelepon polisi, derit-derit lantai kayu terdengar di depan, kenop pintu memutar dan pintu menjeblak terbuka.

Itu ayahku.

Tanpa sadar piring waffel di tanganku tergeletak ke meja. Ayahku masih hidup, masih bernapas, masih jadi warganegara Amerika Serikat, masih jadi orang miskin biasa dan tidak bergabung bersama suku-suku kanibal.

Dia pulang terlambat. Tidak biasa. Wajahnya kusam dan bajunya compang-camping, tapi kali ini lebih parah dari biasanya. Namun tiba-tiba perasaan marah menyeruak dalam dadaku, dan aku mengambil keputusan dengan cuek padanya. Aku menunggu kehadirannya, menangis karenanya, dan dia baru datang tepat sebelum aku berangkat ke sekolah.

“Dari mana saja kau?” tanyaku datar.

Ayah akhirnya bergerak dari ambang pintu. Aku mengernyit. Langkahnya aneh, seolah-olah ribuan jarum menusuk-nusuk telapak kakinya tiap kali dia berjalan. Saat dia berada di depan meja, aku nyaris terlonjak. Lengannya yang dibalut jaket tampak berdarah.

Tanganku gemetar saat meletakkan dua piring sarapan. Tapi kekesalan pada ayahku lebih mengontrol tindakanku saat itu, dan aku membuat diriku tampak seakan-akan tidak peduli dengan keadaannya sama sekali. Walaupun begitu, aku tak bisa berbohong kalau aku merasa ngeri.

“Las Vegas,” katanya serak, menggeser kursi dan merebahkan badannya. Napasnya menderu hebat, dadanya naik turun mengambil udara, dia kelihatan terguncang—entah karena apa. “Aku akhirnya menemukan obatnya, nyaris.”

Aku berusaha membuat wajahku tidak menunjukkan ekspresi terkejut. “Kau pergi ke Las Vegas?”

Ia mendesah. “Seorang biksu Nepal menghubungi Ayah untuk pergi ke sana. Katanya dia menyerah pada karir biksunya dan memutuskan untuk bersenang-senang—ke Las Vegas.”

Biksu Nepal, batinku. Tidak buruk. Tapi melihat lengannya yang berdarah, kurasa segalanya tidak berjalan dengan bagus.

Ayahku membenarkan posisi duduknya. “Ayah membeli tiket pesawat, ke sana secepatnya. Dia bilang akan muncul saat malam, jadi Ayah menginap di motel terdekat. Yah, bisa dibilang, keadaan tak berjalan sesuai rencana,” lanjutnya, masih dengan nada suram yang sama.

Aku terbelalak. Saat malam. Las Vegas. Emosiku hampir meledak, tapi aku cepat-cepat menahannya. Aku tahu ayahku atlet judo dan jujitsu saat SMA, dan dia sanggup menghindari maut puluhan kali entah bagaimana, tapi menerima ajakan antah berantah buat ketemuan waktu malam ke Las Vegas? Mungkin ayahku jadi sinting. Bisa jadi.

Walau begitu, sinting pun tidak menjelaskan darah di lengannya, maupun kenapa dia mirip gelandangan dan cara berjalannya kelihatan begitu menyiksa. Pada saat itu aku merasa wajahku melunak, karena Ayah tiba-tiba berkata, “Ayah sudah pergi ke rumah sakit,” dan menjulurkan lengan berdarahnya padaku seolah aku buta warna dan akan menganggap darahnya sebagai siraman soda stroberi.

Ayah menggaruk tengkuknya dengan resah. “Dengar, Ayah tahu kau khawatir padaku dan punya banyak—banyak pertanyaan. Jadi Ayah akan ceritakan semuanya.”

Ia menggenggam tangannya di atas meja, menatap wajahku lekat-lekat, yang membuatku merasa gugup menantikan kata-katanya.

“Biksu Nepal itu menemui Ayah di gang kecil dekat kasino dan memberikan sepaket obat-obatan. Dia bilang pernak-pernik kebiksuannya tidak lagi berguna dan menjualnya, dia juga menyarankan ibumu untuk menjalankan pengobatan Ayuverda. Namun tiba-tiba sekelompok orang bersenjata menghadang. Dan Ayah tahu simbol apa yang tedapat pada lencana mereka. Para pemrotes liar.”

Jantungku nyaris berhenti berdegub. Para pemrotes liar—ternyata prediksiku benar. Pamflet-pamflet itu jelas bukan candaan. Tapi dari New York sampai ke Las Vegas?

Badanku menggigil. Mereka tidak main-main soal protes bersenjata ini. Jika tadi malam mereka benar-benar turun ke jalan dan menyebabkan segala kekacauan dari New York ke Las Vegas, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan Ayah ... aku tidak ingin terlalu sering memikirkan nasibnya. Lama-kelamaan aku merasa makin bersalah akan sikap cuekku, tetapi ....

“Mereka menggunakan biksu itu sebagai sandera,” kata Ayah tiba-tiba. Tenggorokanku tercekat. “Untungnya, Ayah berhasil membebaskannya. Tapi, bisa kaulihat ...” Ayah menunjukan lengan berdarahnya.

Jangan-jangan ... aku tidak ingin memikirkannya tetapi—apa itu bekas tembakan?

Aku tak sanggup menahannya. “Apa kau—apa Ayah tak apa?”

“Ayah berhasil kabur, dan kebetulan bertemu pengemudi truk di tengah jalan yang dengan baik hati mau mengantar ke rumah sakit. Setelah itu, Ayah pergi ke bandara dan mengambil tiket kembali ke New York,” jelasnya.

Aku menghela napas lega, kemudian bisa kurasakan wajahku berubah suram. Kekesalanku pada Ayah menguap sepenuhnya. Rasanya seperti jadi penjahat. Bagaimana bisa aku memilih emosiku dan tidak mengacuhkan keadaannya?

Ayahku tiba-tiba menggebrak meja. “Sial!” raungnya. Piring-piring sarapan berdenting-denting bergetar. Aku berjengit, hingga siku lenganku menghantam microwave. Wajahnya memerah dan tampak mengerikan. “Itu nyaris! aku nyaris mendapatkan obatnya dan Calandra akan—”

Aku menunduk, mengertakkan gigiku. Ini tak masuk akal. Ayah masih kesal pada kegagalannya meski dia nyaris tewas—tidak, terbunuh. Darah mendesir dalam otakku. Bagaimana caranya aku bisa menghentikannya? Bagaimana caranya agar aku dapat menghentikan ayahku dengan aksi gilanya demi obat-obatan? Pasti ada cara lain. Pasti ada cara lain selain menjelajahi seluruh daratan Amerika dan bertemu orang-orang berbahaya. Obat-obatan tidak selangka fosil dinosaurus—tapi masalahnya, di mana obat itu berada? Dan jika tersebar luas di Nepal sekali pun, bagaimana caranya kami dapat ke sana? Aku menggeleng, cuma ada satu jawaban. Uang.

Aku paksakan bibirku untuk tersenyum. “Ayah, lebih baik Ayah makan sarapannya dulu.”

Ayahku tampak terkejut. Mungkin dia baru menyadari betapa gilanya ia tampak di hadapan putranya sendiri.

Aku beranjak memutar kenop pintu. “Aku berangkat. Pasti mobil Ayah masih di Las Vegas, kan? Ned mentraktirku naik STA lagi. Buat balas budi, katanya.”

Ayah menatapku sayu selama sedetik, lalu mengangguk sambil berpaling.

Aku membuka pintu dan melangkah keluar. Rasanya dadaku seolah memaksa kedua bola mataku untuk terisak, tetapi aku berusaha menahannya, yang membuat wajahku semerah lampu lalu lintas dan tampak gila. Dengan bergegas aku berderap melewati lorong. Aku masih berusaha menutupi wajahku dengan lengan jaket saat seseorang menubrukku. Aku menoleh untuk mengucapkan maaf, tapi sesuatu menghentikanku sebelum itu terjadi.

Gadis berpakaian serba hitam menatapku dengan wajah gusar. Rambutnya lurus hitam sebahu dan kulitnya pucat. Dia beradu pandang padaku seakan ingin menyeretku ke arena UFC untuk bekelahi dengannya—meski separuh wajahnya tertutup tudung jaket. Namun alih-alih aku menyadari kekesalannya padaku, dan tak menerima tantangan tidak langsungnya yang kedengaran keren, pandanganku langsung menuju ke dua matanya. Biru terang, persis seperti kata Ned. Tiba-tiba aku teringat celotehnya kemarin. Aku tak menyangka akan mengatakan ini, tapi matanya benar-benar menakjubkan. Seperti melihat langsung ke dasar lautan. Hingga tiba-tiba aku tersadar betapa tololnya diriku tampak di mata gadis itu.

“Eh, em, maaf,” kataku gelapan, cepat-cepat menyingkir darinya. Sekilas aku melihatnya menjawab permintaan maafku dengan rengutan. Aku mengernyit, sambil berderap menuju pintu keluar.

Meski cuma pertemuan kecil, yang masih penuh pertanyaan apakah dia bakal ingat denganku sepuluh tahun ke depan atau tidak, buatku rasanya sedikit menghibur. Mataku tidak berair lagi, dan jika pekiraanku benar, wajahku tidak semerah tadi pagi.

Tapi selanjutnya, kehidupan sekolahku berubah jadi neraka. Ada iblis yang menerorku dan lantai-lantai kayu lorong-lorong sekolahku sepuluh kali lipat lebih berbahaya dari lahar.

* * *

Jake Wayne tidak main-main soal ancamannya. Aku baru menyadarinya saat kelas bahasa Inggris, Bu Kennedy menyuruh kami untuk menganalisis puisi klasik Shakespeare.

Aku memutar bola mata dengan malas sebelum aku mengambil buku tulisku di tas. Kemudian tiba-tiba suara jeritan panik Henry Lee menggema di seluruh ruangan, dia menunjuk-nunjuk tas ranselnya dan menyumpah-nyumpah ke seluruh kelas kalau ada orang idiot yang mencuri buku tulis bahasa Inggrisnya sebagai bahan contekan. Henry Lee adalah langganan olimpiade nasional, dan secara otomatis semua guru SMP Clover mempercayainya.

Bu Kennedy memeriksa tas ransel kami masing-masing. Aku masih santai mengorek hidung saat Bu Kennedy mengubrak-abrik tasku, hingga tiba-tiba dia terbelalak dan menatapku liar seakan aku telah meledakkan seantero perpustakaan nasional, dan setelah itu dia memamerkan buku tulis Henry Lee ke seluruh kelas. Aku terbelalak, bersumpah pasti ada suatu kesalahan. Lalu aku menoleh dan menyadari Jake terkekeh di belakangku, tersenyum puas saat melihat wajahku memucat. Ini ulahnya, batinku.

Tapi Henry Lee sudah betul-betul murka. Sebelum aku menyadari seluruh situasinya, aku didorong menghantam lantai dan Henry Lee memiting leherku seperti pegulat di depan seluruh kelas. Tubuhnya ceking, jadi kupikir rasanya bakal seperti digigit semut, tetapi sesuatu seperti merasukinya saat itu. Aku kehabisan napas, mengerang kesakitan, kakiku menendang-nendang udara dan Henry Lee tampak makin liar. Namun sebelum adegan tonjok-tonjokan brutal terjadi, Bu Kennedy segera melerai sambil menyeret guru BK kami yang wajahnya kelihatan setengah terbakar.

Aku dan Henry Lee dimarahi habis-habisan di ruang BK. Aku dengan defensif bersumpah tidak pernah menyentuh tasnya sekali pun, tapi Henry Lee berhasil membungkamku dengan kejadian pemeriksaan dan Bu Kennedy sebagai saksi. “Kalau kau bilang tidak pernah menyentuhnya, berarti kau mengatakan Bu Kennedy berbohong ke seluruh kelas, kan?” Aku ingat dia pernah mengatakan sesuatu semacam itu. Rasanya aku ingin mengadukan Jake, tapi aku tidak punya bukti, ditambah lagi hampir semua murid tahu tentang konflik Jake dengan sobatku Ned, dan aku bakal dikira mengadukannya sebagai usaha balas dendam.

Singkatnya, aku tidak cukup pintar untuk membalas gugatan Henry Lee. Dan guru BK kami, Pak Torres, menghukum kami berdua dengan bersih-bersih kelas selama seminggu. Henry Lee menyingkir dariku dan sempat menatapku seakan ingin menghancurkanku berkeping-keping sebelum beranjak keluar membanting pintu kayu.

Aku melangkah keluar dari ruang BK dengan perasaan muram. Jake menerorku, dan kini Henry Lee membenciku. Aku punya firasat dia tidak akan berhenti hanya di kejadian ini.

Ada seseorang berambut merah di depan. Ned bersandar di dinding, tampak telah menungguku. Ia bergegas mendekat sesaat melihatku.

“Leon, kau nggak apa? Apa yang terjadi di sana?” tanyanya khawatir.

Aku menggeleng. “Nggak apa. Henry Lee dan aku dihukum membersihkan kelas selama seminggu. Sepertinya dia jadi membenciku setelah itu. Dengar, Ned, aku nggak tahu bagaimana bukunya bisa—”

Ned mengangguk. “Aku tahu, kok.” Dia mendekat padaku, berbisik. “Jake, kan? Aku juga lihat. Nggak kusangka dia benar-benar serius. Ini gila.”

“Aku tahu,” akuku. “Makanya aku jadi paranoid sekarang. Aku harus super hati-hati menghadapinya. Kalau nggak, siapa tahu apa yang akan dia lakukan selanjutnya?” kataku resah.

“Ya. Aku harap dia nggak segila yang kupikirkan,” kata Ned dengan ekspresi serius. Saat itu, aku tahu dia benar-benar bermaksud saat menyebut Jake gila.

Dengan segera, kami berderap kembali ke kelas, dengan semua anak—meskipun sekarang hanya tujuh, mengecualikan Ned—memandangku dari ujung rambut ke kaki seperti kriminal yang kabur dari penjara. Rasanya aneh, seolah-olah semua orang jadi membenciku setelah satu kejadian itu. Seakan akulah penyebab mereka punya masalah. Akulah bibit busuk di antara mereka, bukan Jake, yang sekarang memandangku dengan cara yang sama. Aku tak tahu apakah ini terjadi karena status sosial keluarga Jake yang kaya, tapi yang jelas, aku harus lebih hati-hati menghadapinya. Dia tidak menodong penggaris sekarang, ia menghunus pedang.

Kejadian kedua terjadi setelah waktu istirahat. Saat aku dan Ned pergi menuju kantin, kusadari aku tengah menjadi buah bibir. Kini bukan cuma anak-anak kelasku saja yang menganggapku sebagai kriminal kelas kakap, para senior yang berada di kelas yang lebih tinggi juga. Mungkin karena jumlah murid akhir-akhir ini berkurang drastis, kejadian-kejadian semacam ini jadi menonjol. Orang-orang lewat yang tidak kukenal memandangku atas bawah dengan jijik sambil menggumamkan namaku. Yang tentu saja, membuatku malu setengah mati. Lebih parahnya, kebanyakan yang masuk sekolah di waktu begini adalah anak-anak populer dan anak-anak pintar. Yang artinya, aku mencuri perhatian anak-anak populer dan jadi sorotan seantero sekolah yang tidak nyaman, sekaligus konflikku dengan Henry Lee membuat anak-anak pintar membenci serta menganggapku sebagai tukang contek tertolol sedunia.

Namun teror Jake terjadi setelahnya.

Bel berdering dan kelas kimia Bu Thompson dimulai. Kalau tidak salah, ada PR yang harus kami serahkan. Dan sesuai dugaanmu, itu adalah sumber masalahku yang kedua.

Buku PR-ku hilang. Lenyap.

Desir darah membanjir dalam otakku. Dengan panik, aku mengubrak-abrik tasku dalam sepersekian detik. Mataku menyipit membaca judul-judul buku yang kupegang. Inggris. Seni. Latin. Kimia—bukan. Inggris lagi. Tidak ada buku PR, mungkin aku salah lihat. Tanganku bergerak lagi. Seni. Latin. Kimia—ini serius?

Aku terus mengubrak-ngabrik tas, sampai aku mendengar desis panik Ned di seberang. Bu Thompson ada di belakangku, memandangku dengan tatapan tajam. Aku cepat-cepat berbalik dan merebahkan bokongku di kursi. Bisa kutebak dari raut wajahnya bahwa ia sudah tahu apa yang tengah terjadi. Sialan kau, Jake. Seandainya aku bisa menghajarmu lewat telepati.

“Jadi, Redwine. Apakah ada masalah?” tanyanya sengit.

Wajahku berubah suram. “Y-yah ...” kataku gelagapan. “Sepertinya begitu, Bu Thompson.”

Biasanya guru-guru saat ini bakal melepasku begitu saja, tapi wajah Bu Thompson tampak marah. Benar-benar marah. Kurasa desas-desus tentangku yang mencuri buku Henry Lee sudah sampai ke telinganya. Omong-omong tentang dia, Henry Lee memandangku dari barisan kursi belakang seakan melihat daging busuk di restoran bintang lima.

“Redwine,” panggilnya jengkel, “mana buku PR-mu?”

Aku menggigil. Buku PR-ku jelas disembunyikan Jake, entah di mana. Dari sudut mataku bisa kulihat Jake tengah memandang aku dan Bu Thompson seperti menonton acara olahraga.

Aku mendesah. “Em, saya minta maaf, Bu Thompson. Sepertinya saya tidak bisa menemukannya,” akuku pasrah.

Bu Thompson mendecak lidah. “Hilang? Jangan membuat alasan. Kutebak kau begitu gegabah sampai meninggalkan buku PR-mu di rumah. Yah, entah kau mengerjakannya atau tidak.” Ia beranjak ke meja guru dan mengambil buku nilai dari lacinya. “Redwine, nilai kimiamu hari ini nol. Selamat mencicipi kegagalan, Nak.”

Seketika aku bisa merasakan sengatan pandangan dari punggungku. Semua orang melihat ke arahku sekarang. Semua orang. Tidak ada kejadian seperti ini kecuali saat kelas sejarah dulu. Hari ini hari sialku, dan semuanya terjadi gara-gara Jake.

Aku tidak terlalu memikirkan kejadian itu, meski buku PR-ku beserta semua isinya bakal hilang selamanya. Namun setelah kejadian pencurian dan pitingan pegulat dengan Henry Lee tadi, bisa dibilang aku sudah kebal. Setidaknya, untuk sekarang. Aku tidak tahu apakah kejadian selanjutnya bakalan lebih buruk atau tidak. Mengenal Jake Wayne, tidak ada batasan buruk dan baik untuknya. Kali ini aku harus seratus kali lebih super hati-hati.

* * *

Di kelas seni selanjutnya, Jake memilih cara fisik. Artinya, mental dan harga diriku tidak akan tercabik-cabik untuk yang ketiga kalinya. Meski rasa sakit menyengat di tengkukku adalah bayarannya. Sepadan. Maksudku, memangnya ada orang yang mau citra dirinya dihantam truk tiga kali berturut-turut?

Guru seni kami, Bu Garcia adalah orang yang ... unik. Tipikal guru-guru seni. Dia membiarkan kami melakukan apapun selama kelasnya, lebih daripada Pak Murphy. Yang berarti Jake punya banyak ruang kebebasan untuk mengusikku, tetapi tidak akan mudah karena Bu Garcia sangat membenci perundungan. Poster besar bergambar anak malang yang menangis dikelilingi tiga bocah-bocah gila di tembok seberang adalah hasil karyanya. Meski kebanyakan orang menganggap anak itu di poster sebagai pecundang.

Intinya, Bu Garcia memberi kami tugas untuk membuat karya seni dari benda-benda kecil yang dianggap “membosankan”. Entah dia sedang berusaha gaul atau apa. Beberapa diantaranya adalah klip kertas, kapur berwarna yang dipotong pendek-pendek, dan paku payung. Kautahu apa yang dipilih Jake buat menggangguku. Sementara pelajaran berlangsung, dia melempar paku payungnya dari belakang hingga mengenaiku. Jujur, sebenarnya aku juga takut paku-paku itu bakal menancap di kulitku dan aku akan pulang dengan punggung penuh darah. Tapi triknya mudah, bergeser cepat di bangku dan pura-pura banyak bergerak karena kesulitan merangkai. Dan beruntungnya, Jake cukup payah dalam membidik sasaran. Saat itu rasanya aku ingin melompat dan berteriak keras-keras penuh kemenangan.

Sementara aku menghindari bidikannya dengan mudah, aku bisa melihat Ned terbelalak. Aku merasa bangga saat itu hingga suatu sengatan terasa di tengkukku.

Oh. Sial.

Aku menoleh dan melihat Jake terpekik senang. Dia juga tidak menduganya, tapi jelas ia tampak benar-benar bahagia. Pandangan orang-orang mulai menegakkan bulu kudukku. Aku tahu aku jadi bahan tontonan lagi dan segera mematung. Keringat bercucuran di dahiku. Rasa perih tidak ada apa-apanya dibanding perasaan yang kurasakan saat ini. Bu Garcia tiba-tiba berhenti mengoceh dan menunjukkan ekspresi aneh, lalu menyadari ada yang salah denganku. Dia berteriak histeris dan menyeret lenganku langsung ke UKS. Seluruh tubuhku kaku seolah habis dilempar ke mesin pendingin raksasa hidup-hidup.

* * *

Beruntungnya, aku dibiarkan berbaring di UKS hingga sekolah usai, sementara kelasku melanjutkan pelajaran Bahasa Latin. Bu Garcia menangis sesenggukan di samping ranjangku dan berkata semuanya terjadi karena keteledorannya, lalu dia menggenggam saputangannya kuat-kuat dan berseru bakal mencincang habis orang yang melempar paku-paku payung padaku. Aku tersenyum, gagasan Jake Wayne disetrap di lorong sekolah kedengaran asyik.

Aku menghabiskan waktuku mendengarkan ocehan-ocehan Bu Garcia, serta sesekali mencoba memeriksa lukaku yang diperban, hingga waktu berlalu dengan cepat dan bel berdering. Aku segera beranjak dari ranjang sementara Bu Garcia terus-terusan mengecek perban di tengkukku. Setelah puluhan permintaan maaf dan banyak adegan menyedot ingus hidung, aku diizinkan keluar UKS dan bergabung dengan kawan-kawanku berhambur keluar gedung.

Aku memutar kenop, Ned langsung menyambutku di ambang pintu. Wajahnya sepucat marmer. “Leon, apa ...?”

Aku menggeleng. “Tak apa, Ned. Sekolah telah usai. Cuma goresan kecil, lihat?” Aku berbalik menunjukkan perbanku. Ned memekik ngeri. “Sumpah? Kau nggak bakal, yah, maksudku ...”

Aku tergelak. “Kau berlebihan banget, Sob. Aku nggak apa, seriusan.”

Wajah Ned muram. “Kau tahu, aku merasa semua orang jadi membencimu.”

Aku menunduk. “Yeah,” kataku. Aku berusaha tersenyum walau ragu-ragu. “Tapi itu nggak penting. Aku nggak diusir dari sekolah atau apa pun. Aku masih bisa belajar di sini. Itu yang terpenting buatku.”

“Kurasa kau benar,” kata Ned, kedengaran pasrah. “Omong-omong soal itu, gimana hukuman bersih-bersihmu?”

“Oh, tenang saja.” Aku merogoh sakuku, mencari kertas yang terselip. “Ini!” seruku, sambil menunjukkan surat izin yang kusut. Di bagian bawahnya tertulis: LEON REDWINE DIIZINKAN PULANG SEKOLAH TANPA HAMBATAN APA PUN KARENA KEADAAN.

Ned terkesiap senang. “Bagus! Kau nggak perlu berpapasan dengan Jake maupun Henry. Syukurlah.”

Aku ikut tersenyum gembira, tetapi setelah itu harapan Ned pupus seketika.

Aku melihat segerombolan anak laki-laki berjalan di lorong. Jake! Pekikku dalam hati. Dia dan kawan-kawannya menghampiri kami yang terpojok di antara pintu UKS dan toilet. Berita buruk dari yang terburuk. Aku segera menarik Ned yang terpekik kaget, tetapi waktu tidak berpihak padaku. Sebelum kami bisa bersembunyi ke arah toilet, kerah jaketku ditarik oleh seseorang dan hal pertama yang kulihat adalah seringai Jake Wayne yang mengerikan. “Met sore, Leon.”

Aku nyaris berteriak. Namun aku menahannya. Tidak bisa begini, aku sudah kena sial tiga kali dan sekarang aku terpojok lagi.

Aku memberanikan diri berbalik perlahan. Yang menarik kerah jaketku adalah Sam Nellson, yang nyengir lebar memamerkan gigi bolong-bolongnya. Aku jadi ingat, dia jadi populer karena kebodohan dan tingkah barbarnya. Tidak ada yang perlu kutakuti dari dia kecuali kepalan tangannya. Lalu kulihat dua orang lagi, aku tidak mengenali mereka, tapi aku ingat mereka kerap mengintili Jake. Kutebak dari kelas yang lebih tinggi karena fisik jangkung mereka. Tapi yang jelas, mereka tidak pernah bergaul dengan anak-anak super pintar, badan mereka juga ceking. Tidak ada yang perlu aku khawatirkan.

Aku balik memandang Jake sengit. “Met sore juga, Jake.”

Ned yang masih menghadap pintu toilet bergidik. “Tunggu, Leon. apa yang—” Ned menoleh, wajahnya memucat seketika saat melihat sosok Jake. Aku segera memberi tanda padanya dengan wajahku: tenang, Ned, tak perlu takut. Bakal kutangani yang satu ini.

Seringai Jake makin melebar. “Makasih sapaan baliknya, Redwine. Sudah puas kena sial habis-habisan hari ini? Ada beberapa hal yang perlu kukuliahi padamu,” katanya sinis. Dia mulai mendekat padaku. Aku bisa merasakan keringat Ned bercucuran hebat dan badannya gemetar.

Aku berkelit. “Apa? Cepat muntahkan.”

Jake tersenyum angkuh. “Kau tahu, setelah dipikir-pikir, mengganggu sobatnya Pattinson lebih efektif dibanding mengganggunya sendiri. Yah, itu kesalahanmu juga sih. Sobat Skotlandiamu masih tidak becus dan kau tak lakukan apa pun. Selain itu, kupikir kau agak sombong.”

Aku mengernyit. Orang yang satu ini benar-benar kelewat percaya diri. “Sombong? Kau tak punya cermin ya, Wayne?”

Jake mengertakan gigi. “Aku serius,” sergahnya. “Kau masih nggak kapok juga? Pantas saja kau cuma bergaul sama orang gila.”

Ketiga komplotannya langsung terbahak-bahak. Aku bisa merasakan wajahku memerah. Jake makin mendekat, napasnya berembus hingga ke wajahku. “Kau. Redwine. Apa yang dilakukan ayahmu untuk dapat uang?”

Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat. “Apa-apaan maksdumu?”

“Itu. Redwine. Kau bahkan tidak tahu apa pekerjaannya. Apa kau pernah lihat dia bergaul dengan orang-orang berjas di gedung pencakar langit? Kurasa tidak. Dia bergaul dengan orang-orang sepertinya, di geladak-geladak dan tambang-tambang, tempat-tempat semacam itu. Wah, berani taruhan dia juga melakukan sesuatu di belakangmu.” Jake mundur dengan seringai penuh kemenangan. Aku bisa merasakan seluruh otot tubuhku menegang. Orang ini mengejek Ayah. Jika aku tidak menahannya, satu pukulan telak pasti akan menghantam hidungnya. Aku menggeleng. Tidak, pasti ada cara lain selain menghajarnya.

“Dan kau harus berlaku seperti itu, seperti ayahmu. Bergaul bersama orang yang setara, dengan keluarga yang setara juga. Yang rela melakukan apapun demi secuil uang. Orang-orang barbar seperti kalian! Tapi kau melanggarnya, Sobat. Kau bergaul dengan Pattinson,” katanya dengan nada jijik, seolah-olah aku cuma belatung yang bergaul di antara manusia seperti dia dan Ned. Dia berjalan mengitariku dengan wajah mencela. “Jika ayahmu yang gila itu benar-benar seperti bayanganku, maka aku tidak akan heran kau dibesarkan serampangan begini—”

Aku menggeram. Saat itu juga membuyarkan logika di kepalaku, dan dengan seluruh tenaga, pukulan menyamping menghantam wajahnya keras-keras.

Tubuhnya bergedebuk membentur lantai. Sementara Jake memekik kesakitan memegang hidungnya, mataku menangkap sebatang sapu dan mengambilnya. Aku memukul-mukul dadanya, dia berusaha menarik sapuku, dan kami berkelahi hebat seperti dua orang kesetanan.

Aku bisa mendengar kesiap Ned dari belakang, diikuti dengan pekikan tiga sekongkolan Jake, yang segera menarik-narik kerah jaketku untuk melerai. Namun gerakan hajaranku yang membabi buta membuat mereka kewalahan dan segera melepas jemari mereka. Aku terengah-engah, pelipisku berdenyut-denyut setelah Jake menghantamnya. Ia masih meringis saat menarik sapu dari tanganku dan melemparnya tergelincir di lantai. Aku segera menarik kerahnya dan menonjok pipinya. Emosi membludak dalam dadaku. Jake Wayne adalah targetku, orang yang menghina ayahku, orang yang mengganggu sobatku, sumber sial beruntunku hari ini, dan aku akan membuatnya sekarat sekarang juga. Entah secara harfiah atau tidak.

Tapi sebelum aku menghantam pelipis Jake untuk yang ketiga kalinya, aku menyadari dengung suara mulai memenuhi telinga. Aku mendongak, dan saat itulah aku baru menyadari orang-orang berkumpul, berkeliling menonton aku dan Jake. Beberapa meringis ngeri, dan beberapa lainnya tersenyum sinis. Kepalan tanganku melunak. Tubuhku gemetar. Rasanya seperti jadi hewan-hewan di kebun binatang. Tidak ada yang melerai, atau bahkan menolong. Aku menatap Jake, yang memejamkan mata menanti pukulanku. Kepalaku berputar-putar pada satu pertanyaan, apakah menghajarnya akan memperbaiki keadaan?

Namun sebelum pertanyaanku terjawab, seorang pria paruh baya menyerobot barisan menuju kami berdua. Dan untuk pertama kalinya, aku dibanjiri kelegaan. Itu Pak Torres, guru BK kami, wajahnya keunguan. Dia mendelik lebar dan tampak bakal meledak. Di sebelahnya ada Ned, yang melongok takut-takut ke arah Jake dan aku. Aku segera melepas cengkeramanku, membuat Jake terjatuh di lantai. Pak Torres menggeram dan membentak-bentak semua anak, membubarkan mereka seperti tikus-tikus yang dihadang anjing doberman. Dia menarik Jake dan aku dengan paksa menuju ruang BK. Aku menunduk, ini kedua kalinya aku diseret ke ruangan itu. Seharusnya aku tidak begitu bodoh dan mengontrol emosiku, daripada meledak-ledak seperti orang tak waras. Sontak, aku teringat pada Ayah. Bagaimana aku dapat uang untuknya jika kehidupan sekolahku berantakan? Bagaimana jika aku kena skors, atau lebih parahnya, dikeluarkan? Dan yang utama, apa yang bakal terjadi setelahnya? Aku tidak tahu—terlalu sulit bagiku untuk mencerna apa yang bakal terjadi. Terlalu ngeri buatku bahkan untuk sekadar membayangkannya.

Kami diseret dan dipaksa duduk bersebelahan di kursi. Situasinya canggung. Kami menghajar satu sama lain, mukaku babak belur, dan Jake juga, tapi lebih parah dariku. Bukan situasi yang tepat buat ngobrol ringan tentang siaran langsung pertandingan sepak bola, atau bahkan saling bertatapan. Mendadak aku jadi merasa agak bersalah. Suara Pak Torres menggema hebat dan wajahnya lebih ungu dari buah bit. Setelah berhenti mengoceh tentang kebodohan kami dan mengeluh tentang betapa payahnya pekerjaannya, dia menjulurkan jarinya pada wajah Jake dan aku secara bergantian, sambil mengumumkan dengan sinis bahwa kami dihukum bersih-bersih selama sebulan. Sekilas aku melihatnya melirikku dengan tatapan tidak suka. Aku tidak bertanya tentang itu. Aku sudah diseret ke sini tadi pagi. Dia menambahkan sebelum kami diizinkan keluar; jika Jake dan aku berkelahi lagi, kami berdua bakal diskors. Dan jika dibarengi melalaikan hukuman kami, maka didepak dari sekolah adalah ganjaran yang paling pas.

Aku ingin memprotes, tapi aku menyadari hal ini terjadi karena kesalahanku. Aku telah mengacaukan segalanya. Ini tidak akan terjadi jika aku segera pergi dari Jake dan sekongkolannya, jika aku tidak nekat menonjok hidungnya, jika aku cukup pintar untuk membalas Henry, jika aku menganggap serius ancaman Jake kemarin ....

Mungkin akan ada orang yang berdebat dan bilang semua ini murni karena Jake. Dia memang ikut andil dalam semua kejadian ini, tapi akulah yang menarik pelatuknya. Semuanya bakal baik saja jika aku tidak menghajar wajah Jake. Lupakan bersih-bersih seminggu dan semua orang yang membenciku, yang terpenting buatku adalah bahwa aku masih bisa belajar di sini. Itu pantas. Itu adil. Cuma itu satu-satunya yang kucari.

Aku melangkah lunglai bersama Jake. Dia memutar kenop pintu dan langsung menyerobot keluar. Aku mengikutinya dari belakang, kemudian aku berpapasan dengan Ned yang bercucuran keringat dingin. Sesaat aku dan Ned melangkah ke depan untuk keluar, sekilas aku melihat Jake segera melejit melalui arah berlawanan.

Ned berusaha menghiburku terus menerus, mulai dari Star Wars, film-film klasik, komik, hingga betapa dia mengagumiku yang mampu membela diri dari Jake. Pernyataan itu membuatku mengernyit. Mungkin benar aku berani, tetapi kau tahu, keberanian dan kenekatan hanya berbeda tipis.

Dia berjanji padaku untuk membelikan tiket STA untukku. Aku tidak menjawabnya. Namun sepertinya wajahku terlalu suram sehingga Ned cepat-cepat menarikku ke stasiun untuk ia belikan.

Kami berdua duduk bersebelahan di kursi gerbong. Aku tetap termenung.

Ned masih berusaha menghiburku. “Kau ingat, di film Terminator, robot-robot menguasai—”

Seharusnya aku tak lakukan itu. Bagaimana dengan Ayah? Jika aku tidak dapat uang, dia pasti akan terus mencari obat-obatan. Dia tak akan punya waktu luang bersamaku. Tidak seperti masa-masa dulu.

“—Maksudku, aku tidak akan jika itu benar-benar terjadi di masa depan. Ada beberapa prototipe robot-robot humanoid di dunia—”

Aku melirik layar televisi kecil di bagian belakang kursi penumpang. Berita tentang para pemrotes liar tadi malam, menyebar dari New York sampai ke Las Vegas. Aku tidak peduli lagi. Ayahku masih hidup hingga saat ini.

“—Leon, kau nggak—”

Suara protokol keamanan menggema. Tentang jadwal kepergian kereta besok yang ditunda karena situasi makin memanas. Sesaat setelahnya, kereta berhenti. Aku beranjak, menenteng tas ranselku.

Ned mendongak padaku, sekilas kulihat matanya berair. “Leon?” panggilnya putus asa.

Aku mulai berjalan meninggalkannya, tetapi sebelum itu, aku menoleh. “Makasih atas semuanya, Ned,” kataku.

Dan aku berlari keluar menuju peron.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height