+ Add to Library
+ Add to Library

C6 KEBOHONGAN

“BUKAN INI ...” gumamku ragu, dan aku cepat-cepat menarik kembali kursi tiga kaki dari lubang di tembok.

Aku sudah mencoba berbagai barang-barang yang bisa kutemukan—yang tidak banyak—di apartemenku untuk setidaknya, membuat lubang di dinding tidak begitu terlihat. Meja kayu kecil, vas, microwave, kursi berlengan favorit Ayah, dan sofa (yang harus kudorong dengan seluruh tenaga agar bisa bergerak), tergeletak penuh debu secara cuma-cuma di sudut ruangan.

“Mungkin ...” gumamku, melirik sofa dan kursi berlengan, lalu menggeleng. Tidak, aku sudah mencobanya—sofa berderet dengan kursi berlengan dan meja kayu, dan di atasnya bertumpuk segala macam barang yang bisa kutemukan (termasuk remot TV). Tapi bahkan benda sebanyak itu dan segala jerih payahku tidak bisa menutupi setengah dari kerusakan monster-monster beberapa jam yang lalu.

Sejujurnya, aku lebih takut untuk menjelaskan segalanya pada Ayah dibanding mencemaskan tempat tinggalku yang nyaris hancur. Maksudku, orang dewasa mana yang bakal percaya pada kisah bocah dua belas tahun tentang monster anjing dan alien? Dan orang dewasa mana yang bisa percaya lubang setinggi enam meter bisa dibuat tanpa bantuan bola perusak dan bencana alam terajaib sepanjang masa? Aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana tentang kepunahan lima dunia dan aku sebagai orang terpilih. Rasanya kepalaku bagai dibelah dua memikirkannya.

Aku teringat tentang gadis itu, Vooir, bicara tentang membuat orang-orang tidak menyadari lubang sebesar ini.

Aku mencoba mempertimbangkannya, toh dia pernah membuat bilah tombak hitam ajaib dari udara kosong. Dan siapa tahu betapa canggihnya teknologi alien di luar sana? Tapi bagaimanapun, sulit membayangkan sebuah lubang raksasa tak menyebabkan berita gempar, dan aku masih meragukan gadis itu tentang segala situasi ini. Rasanya seperti dia menanggalkan beberapa detail dariku untuk sesuatu. Semestinya aku tetap menagih ganti rugi meski dia alien.

Aku berbalik dan duduk malas di sofa, sebelum aku sontak teringat; ibuku. Aku bahkan sempat menghabiskan waktu pada dinding dibanding ibuku sendiri, dan kurasakan perutku melilit-lilit.

Aku bergegas menuju kamar ibuku, yang sebenarnya tidak jauh, tetapi aku menginjak serpihan-serpihan dinding yang bertebaran dan meringis kesakitan. Rasanya lebih sakit dibanding menginjak sebalok LEGO.

Dengan hati-hati, aku membuka pintu kamar ibuku yang mengeluarkan suara berderit. Aku mengambil napas dalam-dalam untuk menghadapi skenario terburuk yang bisa terjadi, tapi aku mengembuskan napas lega saat melihat semuanya baik-baik saja.

Ibuku terbaring pada ranjangnya, sepucat mayat, dengan keringat yang sama banyaknya seperti tadi malam. Namun matanya terbuka—lebar-lebar, seolah dia melihat sesuatu yang amat sangat buruk tepat di hadapannya.

Maksudku, beberapa jam yang lalu, monster-monster menghajarku tepat di wajah, dan mati listrik serta gempa bumi terjadi sebelumnya. Tapi yang mengkhawatirkanku, apakah ibuku melihat semuanya? Itu tidak mungkin, dia tidak pernah keluar dari kamar ini. Tapi siapa tahu apa yang terjadi?

Aku perlahan mendekati ibuku, dia kelihatan kacau—lebih dari biasanya. Dengan jemari gemetar, aku mencoba menyentuh rambut pirang berminyaknya, tetapi terlonjak dengan genggaman dingin yang mendadak melingkari pergelangan tanganku.

Ibuku terduduk di tengah kasur, mencengkeram tanganku dengan tangan pucatnya dan jemarinya yang kurus. Rambutnya berantakan—menutupi setengah wajahnya, dan dia memandangku lurus-lurus di wajah. Jika dia bukan ibuku, aku pasti sudah mengira dia gila.

“Di ... mana ... Arthur?” katanya dengan suara serak dan gemetar.

Aku menelan ludah. “Ayah—”

Ia memelototiku dengan pandangan liar. “Jangan pakai itu untuk memanggilnya!”

Aku terlonjak. Keringat mulai menetes di dahiku. Ini tidak biasa, apa yang terjadi padanya? Aku mencoba untuk tetap terlihat tenang. “A-Arthur tidak di sini,” kataku, meski bisa kurasakan bibirku gemetar.

“Apa kau tahu di mana dia?”

“Tidak.”

“Kau sama sekali tidak tahu di mana dia?”

Tenggorokanku tersekat. “T-tidak.”

“Kalau begitu, pergilah dari sini.”

Aku mengerutkan dahi. “A-aku—”

“Hmmm, sudah kudengar. Enyah dari pandanganku. Sekarang juga.”

Aku tidak bisa menjawab.

Aku memutar kenop pintu dan keluar.

Sulit bagiku untuk mencerna segala hal yang terjadi barusan, tapi kuputuskan untuk menganggap penyakit ibuku memarah. Berita buruk. Jika Ayah mendengarnya, aku tidak tahu apa yang bakal dia lakukan, apalagi dengan segala kekacauan tentang lima dunia yang kualami. Lama kelamaan rasanya aku menjadi sinting.

Aku merosot di pintu, menyentuh pelipisku yang berdenyut-denyut. Aku tahu, aku tidak pernah memberitahukan ini pada siapa pun sebelumnya—dan kuharap tidak akan pernah—bahwa aku sempat menganggap ibuku sebagai beban, dan aku setengah menganggapnya begitu hingga sekarang. Kutebak aku akan dicap brengsek jika mengutarakannya, dan hal ini terus menggenang di dadaku selama sekian tahun.

Kadang aku kepikiran. Jika ibuku tidak jatuh sakit, bagaimana keadaan kami sekarang? Apakah Ayah akan lebih sering di rumah? Apa aku tidak perlu bersusah payah menghiraukan sekolah dan uang? Aku selalu menepisnya jauh-jauh, karena memikirkannya terasa salah. Namun aku tidak bisa berbohong bahwa pemikiran-pemikiran itu terkadang terbesit dan mengusikku, dan aku setengah percaya padanya.

* * *

Beruntungnya, beberapa jam kemudian, aku tidak perlu menghiraukan lubang di tembok yang menganga, atau pintu yang tergeletak rusak di lantai.

Tidak butuh waktu lama buatku untuk menyadari hal aneh pada orang-orang yang berlalu-lalang. Pertama, mereka tetap berjalan santai melewati isi kamar apartemenku yang terekspos terang-terangan ke dunia luar. Dan kedua, mereka bahkan tidak melirik saat aku mencoba mencuri perhatian mereka dari dalam. Seolah-olah lubang itu tak pernah ada.

Tidak bisa kubohongi siapa pun kalau aku merasa lega. Maksudku, seberapa banyak kau mendapat keajaiban di saat-saat tergenting dalam hidupmu?

Menurut tebakanku, Vooir melakukan sesuatu di lubang itu dengan sihirnya (atau apa pun yang dia praktikan). Aku tidak punya banyak nyali untuk mencari tahu. Aku sudah cukup banyak nonton film dengan Ned agar tahu bahwa sok mencari tahu tentang hal-hal ajaib itu konyol. Di antara kau meledak, terbelah menjadi dua, atau terjebak di distorsi antar-dimensi dan menghilang selamanya dari muka bumi. Ketiganya tidak ada yang kedengaran asyik.

Aku ingin sekali untuk menjalani hidupku dengan normal. Namun sulit melakukannya dengan monster-monster yang habis menyerangmu dan gadis alien yang memberi tahu bahwa kiamat sudah dekat. Rasanya seperti dipaksa menelan bola duri raksasa utuh-utuh. Aku tidak bisa tidur di kamarku dan aku terus mencemaskan tentang apa yang akan terjadi besok, kekacauan apa yang akan meledakkan hidupku berkeping-keping selanjutnya. Sebelum aku menyadarinya, aku sudah menggerogoti nyaris setengah kukuku dan jam menunjukan pukul setengah satu pagi.

Kejadian tadi terus membuatku berpikir. Kenapa aku yang terpilih? Kenapa bocah dua belas tahun biasa dari New York yang terpilih? Apa artinya terpilih? Aku ingat jelas; untuk menyelamatkan lima dunia. Tapi dari kata “menyelamatkan” saja, segalanya kedengaran mustahil. Aku tidak genius seperti Ned. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan nyawaku sendiri dari para monster tanpa Vooir. Diam-diam, aku berharap dia cuma membual. Aku harap semua kejadian ini cuma kerjaan acara televisi harian konyol yang isinya cuma mengerjai orang.

Aku menggerak-gerakkan jemariku. Rasa sakit tadi terasa nyata. Darahnya nyata. Monster-monster itu tampak nyata. Penyembuhan supercepat aneh ini juga nyata. Aku mendesah, berusaha melupakan semuanya, dan aku akhirnya terlelap.

* * *

Esok paginya, ayahku pulang, terkapar di sofa seperti biasa. Aku agak khawatir tentang barang-barang yang bertumpuk di sudut ruangan yang penuh debu, tapi dengan penampilan sekacau itu, aku menebak Ayah tidak akan meliriknya dua kali.

Namun ada sesuatu yang membuatku merasa aneh.

Apakah ayahku tidak menyadari segala kekacauan di dalam? Puing-puing dinding menembus lantai, dan serpihan-serpihannya menyebar di sana (aku bertanya-tanya apakah ayahku juga menginjaknya), dindingnya hancur berlubang dan pintunya berserakan di lantai, terkoyak tak berbentuk. Dan omong-omong, bagaimana caranya Ayah masuk? Dia bisa saja langsung masuk melewati lubang besar di sana, tetapi jika benar, seharusnya dia sadar bahwa pintunya telah lenyap. Namun jika Ayah menyadarinya, mestinya dia tak akan terbaring santai begini.

Aku menggelengkan kepalaku. Bukan waktunya untuk memikirkan hal ini. Kulihat jam di dinding menunjukan tinggal tiga puluh menit lagi sebelum bel sekolah berbunyi.

Saat aku menyiapkan sarapan, aku merasa agak bersalah tentang kekacauan kemarin dan akhirnya membuat sesuatu dengan tanganku sendiri—dua potong sandwich keju yang dipanaskan seadanya di microwave. Setelah menggendong tas ransel dan memakai jaket, aku berdiri ragu di depan pintu—dulunya pintu, dan sekarang berubah menjadi dinding yang tengahnya hancur berantakan.

Aku menimbang-nimbang apa yang harus kulakukan jika ingin keluar. Apa aku harus mempraktikan ritual-ritual aneh? Membaca mantra-mantra? Aku menelan ludah. Tidak banyak waktu lagi tersisa sekarang. Dengan tubuh gemetaran, aku melangkahkan kakiku ke depan, dan memejamkan mataku rapat-rapat. Aku bersiap untuk merasakan sesuatu yang sangat buruk, tetapi tak ada yang kurasakan selain semilir dingin yang sangat ... menakjubkan. Bayangkan adegan di film-film saat seseorang menembus hologram, tetapi hologram itu seutuhnya terbuat dari mint.

Masih memejamkan mata, aku telah berdiri di lorong dengan selamat.

Aku menghela napas lega dan membuka mataku. Ah, jadi ini rasanya kehidupan, batinku. Aku berbalik untuk menyusuri lorong, terlonjak kaget saat mendapati tiga orang berseragam tersenyum lebar-lebar memandangiku.

Mereka bertiga orang dewasa—dua laki-laki dan satu perempuan, mengenakan kaus polo biru seragam dan topi dengan warna sama, tersenyum sangat lebar sampai-sampai aku mengira sudut-sudut bibir mereka dikaitkan pengait. Salah satu pria mengangkat sekotak kardus bertuliskan; YAYASAN DONASI JOHNSON BLUE.

Sebelum aku bisa mengatakan apa-apa, pria dengan kotak kardus tersenyum makin lebar saat mendekatiku, “Hai, apa benar Anda Tuan Leon Redwine?”

Butuh waktu lama buatku untuk menjawab. Sebagian karena aku dipanggil “Tuan”, sebagian karena aku sama sekali tidak punya ide apa urusan mereka di sini. “Y-ya. Benar,” kataku ragu.

“Kami dengar ada kerusakan parah di kediaman Anda, apakah itu benar?” Senyum pria itu makin melebar sampai-sampai nyaris menyentuh matanya.

Jika aku benar-benar sudah berada pada ambang batas kewarasanku, aku pasti sudah meneriakkan “AAAAAHHH!” keras. Tapi mendadak aku membeku di sana. Aku menelan ludah. Bagaimana bisa orang-orang ini tahu? Sejauh yang kuperhatikan, tidak ada siapa-siapa yang menaruh perhatian pada kerusakan di apartemenku barang sedetik pun. Dan aku cukup yakin aku tidak pernah memberi tahu seorang pun tentangnya. Jika ada yang tahu, aku hanya memikirkan yang terburuk.

Aku tidak bisa menguras lebih banyak waktu. “B-begitulah,”

kataku, meski suaraku tidak semulus yang kurencanakan.

Pria itu menyodorkan kartu nama dari sakunya. Aku cepat-cepat mengambilnya. “Kami adalah yayasan donasi Johnson Blue,” jelasnya, sementara aku membaca. “Kami membantu orang-orang yang—maaf, kurang berkecukupan, dalam mendanai kerusakan pada tempat tinggal dan kendaraan mereka. Seperti Anda, tentu saja!”

Aku tidak bisa berkata apa-apa, dan hanya menelan ludah. Kupikir di kartu ini bakalan muncul tulisan mengerikan yang membuatku bergidik—tapi tidak. Dari yang kubaca, segalanya normal-normal saja. Terdapat nama yayasan mereka, alamat kantor pusat mereka di Manhattan, dan nomor telepon. Sejauh ini, justru hal-hal normal membuatku ngeri.

“B-begitu,” kataku, masih gugup. Aku menyerahkan kartu nama itu kembali. “Jadi kalian—em, berencana membantuku?”

“Ya!” jawabnya antusias, tersenyum makin lebar—yang buatku kelihatan agak mengerikan. “Tentu saja, tentu saja! Itulah alasan kami di sini.”

Ia membungkuk dan memandangku dengan mata besarnya. “Jadi, bagaimana, Tuan Redwine? Apakah Anda mau menerima jasa kami untuk membantu kesulitan Anda?”

Aku menggigit bibir. Ini sulit. Aku ingin segala kekacauan di apartemenku segera beres tanpa sisa seperti baru. Tapi di lain sisi, aku tidak bisa benar-benar percaya pada orang-orang ini. Bagiku mereka kelihatan seperti perkumpulan aneh yang menyeret orang-orang tak bersalah masuk kultus.

Aku terus memikirkannya. Ini keputusan tersulit untuk dibuat setelah memilih antara burger dan sandwich. Aku mendongak setelah membisu untuk waktu yang cukup lama. Aku ingin segala kekacauan ini selesai.

“Ya, tentu,” kataku, meski bisa kurasakan sedikit keraguan di suaraku. “Aku menerima ... jasa kalian.”

“Oooooh, bagus! Bagus! Nah, bagaimana kalau kau tanda tangani di sini? Oh, apa ayahmu sedang beristirahat? Tak apa, kami menerima siapa pun dari keluarga yang kami bantu.” Ia menyodorkan secarik kertas dan pena dan berbicara secepat senapan mesin.

Dengan jemari gemetar, aku menuliskan namaku di sana.

* * *

Secara anehnya, keberuntungan berpihak padaku akhir-akhir ini. Aku nyaris lupa tentang jadwal masuk sekolah yang diundur, serta jadwal keberangkatan kereta yang juga diundur (aku mendengar orang berbisik-bisik tentang para pemrotes bersenjata), sehingga ternyata aku termasuk salah satu anak yang datang lebih awal.

Saat aku telah mencapai stasiun, aku tiba-tiba khawatir pada Ned dan tiket keretaku. Aku masih ingat kejadian kemarin, meski secara teknis kami tidak bertengkar, aku masih merasa tak enak padanya. Seolah-olah aku telah menyakitinya secara tidak sadar. Lalu pada masalah tiket; aku tidak tahu dengan kejadian kemarin apakah Ned mau mentraktirku lagi.

Namun sesaat aku dengan resah duduk di bangku peron, aku mendapati Ned juga duduk di sana, tepat di sebelahku. Dia kelihatan senang sekaligus terkejut saat melihatku, sepertinya dia lega melihat wajahku tidak semuram kemarin. Namun di lain sisi, dia kelihatan resah seolah-olah ada tugas mendadak yang harus dia kerjakan secepatnya.

“Leon—!” panggilnya, terkesiap.

Aku nyaris menggigit lidahku. “O-oh. Hai, Ned,” sapaku canggung.

Aku bertanya-tanya apa yang diresahkannya, tetapi sebelum aku sempat bertanya, kereta sudah berhenti meluncur tepat di depan, nyaris secepat cahaya. Aku tidak sempat mengagumi kecepatan kereta STA, karena aku mendadak teringat dengan masalah tiket tadi. Aku bisa merasakan wajahku mulai kelihatan muram.

“Bukan masalah, Leon,” Ned berkata tiba-tiba, memaksakan senyuman. Ia menunjukkan dua lembar tiket dari saku jaketnya. “Aku sudah pesan satu untukmu,” dia nyengir.

“Oh!” kesiapku. “Wah, makasih, Ned. Kau benar-benar sobatku,” aku balas tersenyum.

Barangkali Ned ingin berkata lebih banyak, tapi dia tampak meragukan niatnya dan akhirnya nyengir lebar. “Kita masuk yuk, Leon? Meski kita kali ini nggak terlambat, bukan berarti kita bisa santai-santai.”

Aku mengangguk, tak ingin berdebat. Kami berdua memasuki gerbong, tapi saat itu pula aku menyadari dia masih tampak resah. Aku ingin menyinggungnya—sebagian karena aku terlalu ingin tahu, sebagian karena aku mengkhawatirkan sobatku. Namun aku merasa kalau sekarang bukan waktu yang tepat untuk menanyainya, seolah menyinggungnya bakal membuatnya terisak hebat dan meraung-raung penuh kesedihan.

Kami berdua duduk bersebelahan di kursi gerbong. Aku tidak tahan dengan situasi canggung ini dan akhirnya membuka mulut; memberitahu Ned tentang perjalanan gila ayahku dan bahwa mobilnya terjebak di Las Vegas, sekaligus tentang bagaimana dia tidak bisa kabur dari Jake Wayne di pagi hari lagi dengan mobilku.

Saat aku menyebut namanya, entah kenapa dia tiba-tiba terlonjak, seakan ada yang menyetrumnya dari belakang. Namun dengan cepat, dia kembali normal. Ned mulai mengoceh tentang Star Wars dan hal-hal yang biasa dia bicarakan. Aku tak bisa memastikan bahwa ini pertanda baik atau bukan.

* * *

Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di sekolah. Tapi aku menyadari sesuatu yang membuatku betul-betul resah. Rasanya seperti menjadi buronan yang kepalanya dihargai satu juta dolar—dan sayangnya, aku tidak bercanda.

Maksudku, aku tahu persis bahwa kemarin diriku telah menggemparkan seisi sekolah—yang sebetulnya sudah kehausan dengan asupan berita—dengan berkelahi hebat bersama Jake Wayne, dan fakta bahwa Jake adalah salah satu murid populer sama sekali tidak memperbaiki situasi ini. Jadi buronan mendadak dan bahan gosip harian harusnya wajar. Namun aku menyadari ada yang salah pada tatapan mereka waktu aku menyusuri koridor. Meski banyak siswa-siswi yang menoleh dan memandangiku tiap kali aku lewat, aku mengenali pandangan yang sama dari kilat mata mereka. Aku menyadari bahwa mereka memandangiku karena sesuatu yang baru. Sesuatu yang masih berhubungan dengan Jake Wayne.

Aku menutup loker setelah menggantungkan jaket dan barang-barangku, dan menoleh resah ke balik bahu. Orang-orang berbisik sambil melirikku seolah melihat kriminal yang kabur dari penjara. Aku juga melihat Henry Lee, yang seakan jadi kapten Klub Benci Leon ini. Dia bersama anak-anak lainnya berkumpul dalam lingkaran dan aku bisa mendengar mereka menyebut namaku beberapa kali.

Aku mendesah dan berbalik memandang Ned. “Apa yang terjadi?” desisku padanya. “Kenapa mereka memandangiku seperti orang sinting?”

Ned meringis—entah bingung atau terlalu takut untuk menjawab—sambil menggaruk-garuk rambut ikal merahnya. “Jadi kau nggak tahu?” bisiknya resah, sambil menoleh ke belakang selama dua detik. “Kau sama sekali nggak tahu?”

Aku mengerutkan dahi. “Nggak,” kataku. “Memangnya ada apa?”

“J-jadi ...” dia melirik Henry Lee, “Bagaimana aku harus mengatakannya, ya? Em, soal itu, Leon ... Jake kena—dia terinfeksi Brooklyn Tornado Disease. Dan—” Dia menoleh lagi. “Kau—pokoknya, kau ...”

Ned menelan ludah, dan kalimat selanjutnya nyaris membuatku terkapar di lantai.

“Kau dituduh menyebabkannya.”

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height