+ Add to Library
+ Add to Library

C7 KEKACAUAN

“APA?” Adalah satu-satunya kata yang bisa kuucapkan. Pada situasi yang berbeda, mungkin aku bakal meledak-ledak. Tapi aku sudah menerima pelajaranku, marah-marah dan terbawa emosi di waktu yang salah hanya akan mendatangkan lebih banyak kabar buruk.

“Eh ... itu—” Ned merogoh-rogoh saku jinsnya. “Kurasa lebih baik kalau kau lihat sendiri,” katanya parau, menjulurkan ponselnya.

Dengan tangan gemetar, kuraih benda itu dari tangannya—aku tidak tahu bakal menduga apa, tapi mendadak kurasakan tubuhku seakan ditusuk ribuan belati es.

Di layar, terpampang ratusan pesan dari anak-anak di seluruh penjuru Clover. Sebagian besar dari mereka tidak kukenal, dan aku tahu ini berita buruk. Kabar tentangku yang berkelahi hebat dengan Jake Wayne telah menyebar luas, sampai-sampai kusadari ada anak yang nyaris tiga bulan penuh bolos juga di sana, ngobrol asik tentangku yang menonjok wajah orang. Mereka membicarakan Jake dan aku—lebih tepatnya, penyakit Jake dan hubungannya dengan aku.

Jangan-jangan saat berkelahi, Leon Redwine mengidap BTD dan Jake jadi terjangkit?

Maaf, sejak kapan Brooklyn Tornado Disease menular?

Atau mungkin karena berkelahi, Jake jadi lemah dan akhirnya terinfeksi? Ih, aku ngeri ....

Bisa saja dia punya sesuatu dari Brooklyn dan menyelipkannya ke Jake saat itu. Licik banget!

Iya, aku pernah lihat! Sumpah kok!

Sahabatnya—si Ned apalah itu, kudengar bentrok dengan Jake berkali-kali, mungkin dia berencana balas dendam padanya.

Ah, peduli amat. Mau dia dalangnya atau apa, kayaknya kita perlu jauh-jauh dari si Leon Redwine itu. Dia kelihatan ... liar.

Aku dengar ayahnya kriminal atau apalah. Yang jelas dia bukan orang baik-baik .

“I-ini ... mereka—” Aku ingin menyembur, “Mereka menuduhku dan memfitnahku!” tapi tak bisa kupaksakan diriku untuk mengatakannya. “Tapi ... kenapa—?”

“Itu maksudku!” geram Ned marah, menyilangkan kedua lengan di dadanya. “Mereka betulan nggak tahu apa yang mereka bicarakan! BTD nggak pernah menular. Kecuali ada sesuatu dari Brooklyn yang ... eh, tak sengaja tersentuh.”

“Tapi aku nggak pernah ke Brooklyn!” bantahku.

Ned mengembuskan napas. “Aku tahu kok, Sob. Makanya tuduhan mereka nggak masuk akal. Siapa yang mau pergi ke Brooklyn setelah kejadian itu? Cuma beberapa wisatawan sinting yang pada akhirnya juga bakal ditawan polisi. Dan kau juga kelihatan sehat-sehat aja, tuh. Kau nggak ....”

“Kejang-kejang dan berdarah hebat?”

“Tepat. Mereka terlalu buta hingga tak melihat fakta yang ada di depan mata.”

Setelah kupikir-pikir, Ned ada betulnya juga. Aku tak pernah merasakan tidak enak badan selama tiga bulan ini. Meski aku tahu aku tidak bersalah, dengan semua hal supranatural yang kualami terakhir ini, aku mulai meragukan diriku. Kau tak pernah tahu kapan apartemenmu diledakkan dan kau nyaris jadi santapan monster anjing berkepala dua. Tapi dibanding itu semua, aku lebih geram pada orang yang menghubung-hubungkan kejadian ini pada ayahku. Mungkin penampilannya tidak biasa, tapi dia bukan kriminal.

Aku memandang kembali ke sekeliling. Situasinya tidak baik. Mereka tak henti-hentinya menatap dan menunjuk-nunjuk padaku. Desis-desis dan tuduhan-tuduhan berdengung di seluruh penjuru. Mendadak perutku mual, seolah ada yang melemparku dengan sebalok batu bata. Rasanya seperti jadi satwa eksotis di kebun binatang. Padahal kurang dari dua hari yang lalu, mereka bahkan tak mau repot-repot mengingat namaku. Namun sekarang, situasinya terbalik seratus delapan puluh derajat. Namaku berada di bagian atas nama-nama yang patut diingat karena suatu kejahatan.

Sebuah suara dalam kepalaku berbisik: Memangnya Jake juga pernah ke Brooklyn?

Jake. Ke Brooklyn. Tepat. Bagaimana aku tidak menyadarinya? Dalam waktu satu hari, Jake telah terjangkit BTD dan absen dari sekolah. Jake mendadak berlibur ke Brooklyn setelah babak belur kedengaran ajaib. Dan nyaris semua jalur transportasi ke Brooklyn telah ditutup dan dijaga ketat.

Tanpa aba-aba, aku langsung mengatakan apa yang ada di pikiranku kepada Ned, “Apa Jake pernah ke Brooklyn?”

Ned mengerutkan kening. “Entahlah. Kayaknya nggak. Orang bodoh macam apa yang mau berlibur santai ke tempat yang mirip kuburan?”

“Lalu bagaimana dia bisa kena—kautahulah—penyakit itu?” kataku bersemangat. “Aku juga nggak. Dia juga tidak. Lalu bagaimana bisa—?”

Ned menopang dagunya. “Itu pertanyaan bagus. Jika dia maupun kau nggak pernah ke sana, maka—” wajahnya berubah pucat, “Maka teoriku salah total?”

Aku menghela napas. “Ini bukan saatnya memperdebatkan teori, Ned,” kataku. “Masalahnya adalah—”

“Nggak bisa kupercaya, Leon!” pekik seseorang dengan suara serak di sebelah.

Aku bisa mengenal suaranya dari aksen Jermannya yang kental. Dieter Beck, dengan kantong kemeja penuh batangan cokelat, berjalan mendekat dengan wajah bersemangat. Rambut pirang pasirnya berantakan, dan pipinya seolah terbakar. “Aku tahu kita jarang ngobrol, tapi nggak kusangka, orang seperti kau bisa—” Dia mengambil napas dalam-dalam, “Bisa menghajar orang separah itu!”

“Cukup, Beck,” kataku kesal. “Aku nggak mau bicara soal itu.”

“Kenapa?” tanyanya konyol. “Menurutku itu genius!”

Aku terperangah. Apanya yang genius dari dituduh masal dan jadi kambing hitam seantero sekolah?

“Maksudku, kautahu—” kata Dieter saat melihat wajahku yang terkejut, “Itu taktik balas dendam yang bagus! Menghajarnya di depan seluruh sekolah, dan membuatnya sakit parah diam-diam setelahnya—dari mana kau belajar semua itu? Aku sudah tahu dari dulu soal Jake yang mengganggu kau dan Ned terus-menerus. Dan saat aku melihat bagaimana dia mencelakaimu kemarin—wah, justru aku bakal heran kalau kau cuma diam saja sepanjang hari.”

Aku masih ternganga sementara dia menyerocos secepat peluru. Sebelum aku bisa berkata apa pun, Dieter Beck sudah menjulurkan sebatang cokelat padaku.

“Mars Bar?” tawarnya.

“Em, nggak. Tapi makasih,” kataku, nyaris tergagap. Aku berbalik pada Ned, menunggu reaksinya, tapi dia sepertinya tidak tertarik pada apa pun kecuali teorinya.

Aku ingin memberitahu Dieter bahwa tuduhan-tuduhan tentangku itu palsu, tapi kuragukan niatku. Aku yakin keputusanku benar saat dia bergumam, “Yah, kurasa orang sekeren kau nggak bakal mau makan cokelat batangan,” sebelum akhirnya melempar buku-buku pada lokernya dan berbalik menyusuri lorong.

Ned akhirnya terbangun dari lamunannya. “Kita harus berusaha menjalani hari ini senormal mungkin.” Dia bergidik, “Mungkin nonton Star Wars bakal membuatku baikan.”

* * *

Seperti dugaanmu, dan dugaan semua orang, hari ini berjalan kacau buatku. Sepanjang kelas-kelas dan jam pelajaran yang kudatangi, otakku sama sekali tak bisa berkonsentrasi. Tiap kali guru-guru di depan papan tulis menjelaskan sesuatu yang penting, ada satu-dua orang yang berbisik tentang diriku, dan ada orang yang melempar benda-benda kecil ke punggungku. Atau, seperti di pelajaran Kimia, Bu Thompson membicarakanku tepat sebelum kelas dimulai. Untuk pertama kalinya, aku ingin seseorang melemparku keluar jendela.

“Wah, Redwine,” katanya memulai, tepat setelah semua anak telah duduk di bangku masing-masing, ”kupikir kejadian kemarin telah memberikanmu sedikit pelajaran. Ternyata aku salah. Sayang sekali murid yang rajin sepertimu jadi sia-sia karena ulahmu sendiri. Kau beruntung orangtuamu belum dipanggil.”

Aku bisa merasakan selusin pasang mata memandangku dari atas ke bawah. Tidak ada yang bisa kulakukan selain berusaha menutupi wajahku dan berdoa bakal ada orang yang mau melemparku keluar ala pemain bisbol ke langit biru. Ned juga tidak punya nasihat bagus yang bisa dilontarkan, karena dia cuma melirikku sesaat dan membalik-balikkan bukunya dengan resah.

Setelah semua pelajaran yang mengerikan itu usai, aku tidak membuang waktuku lebih banyak di sekolah. Dan beberapa menit setelahnya, aku dan Ned duduk bersebelahan di gerbong STA.

Aku beruntung hari ini jadwal sekolah diundur. Tak bisa kubayangkan siksaan-siksaan macam apa yang harus kujalani jika sekolah berlangsung lebih lama lagi. Mungkin aku bakal berakhir jadi samsak pribadi seseorang jika reputasiku terus-terusan memburuk, seseorang yang bukan Jake. Dan kalau itu terjadi, ya ampun, kuharap orang itu bukan Sam Nellson. Dia bakal memecahkan kaca mobil seseorang dengan kepalaku.

“Kayaknya Dieter Beck bakal mendirikan Klub Pecinta Leon deh,” ledek Ned, nyengir lebar. “Kuharap dia nggak terlalu sering bentrok dengan Klub Benci Leon-nya Henry Lee.”

“Ned, cukup ngocehnya nggak?” semburku, menutupi kepala dengan tudung jaket dan menariknya melewati telinga. Sejak pulang sekolah, Ned teringat dengan obrolanku dengan Dieter, dan dia tampaknya tak mau berhenti mengejekku. “Aku lagi frustasi sekarang.”

Ned tergelak. “Oke deh, Sob. Nggak ada lagi soal Dieter.”

Aku tahu Ned cuma begini untuk menghiburku karena situasi di sekitarku terus memburuk. Aku tak tahu bakal seperti apa reaksinya jika dia mengetahui apa yang terjadi padaku sore kemarin, dan pikiranku juga masih belum selesai tentang masalah itu. Kata-kata Vooir terus menghantuiku, dan meski aku berusaha menyingkirkannya, aku tahu suaranya masih terdengar di kepalaku. Jauh di dalam, menolak untuk keluar.

Ned tergelak. “Oh, Leon, kau pasti nggak akan—”

Namun sebelum Ned sempat melontarkan apa pun yang dikatakannya, gerbong tiba-tiba berhenti bergerak. Di depanku, orang-orang mulai berdiri dari tempat duduk mereka dan berbisik-bisik. Satu demi satu, seisi gerbong mulai dipenuhi dengan dengung orang-orang yang mondar-mandir.

Aku ikut berdiri dari kursi. “Apa yang terjadi?”

Ned menggeleng, tampak sama bingungnya. “Nggak tahu. Tapi ini nggak masuk di jadwal keberangkatan kereta kan?”

Mendadak, kurasakan perutku melilit. Tidak masuk jadwal keberangkatan. Hanya ada satu kemungkinan—entah apa, tapi sesuatu yang betul-betul buruk. Kereta STA tidak akan berhenti melaju karena sepotong sandwich melekat pada roda-rodanya.

Beberapa saat kemudian, desis statis berkumandang di dalam gerbong. Kupikir aku bakal merasa lega karena akhirnya mendapat penjelasan, tapi aku malah merasa perutku ditonjok. Aku tahu kalau gerbong yang berhenti mendadak adalah pertanda buruk—tapi tidak seburuk ini.

“Perhatian, perhatian, para penumpang!” Suara statis ala pembawa siaran berita menggema di seluruh gerbong, tapi aku bisa merasakan sedikit kepanikan di suara itu. “Tetap tenang. Gerbong diberhentikan untuk keselamatan kalian! Kota New York tidak aman untuk sementara. Namun jangan panik, bantuan akan segera datang!”

Aku melirik layar televisi kecil pada bagian belakang kursi penumpang di depan. Layar itu menampilkan siaran berita nasional. Sesuatu tentang pemrotes bersenjata. Aku terkesiap. Itu New York—tidak diragukan lagi, berkobar-kobar penuh api dan kekacauan. Gedung-gedung terlalap oleh panas. Suara-suara tembakan menggema di mana-mana. Orang-orang behamburan dengan liar—sebagian berteriak meminta bantuan, sebagian lainnya menyerang satu sama lain dengan senapan. Seisi layar seolah dipenuhi oleh satu gambar merah raksasa.

Kepalaku berdenyut-denyut. Ini tidak mungkin nyata. New York seharusnya tidak seperti ini. Mimpi itu. Mimpi burukku dua hari yang lalu. Segalanya persis. Bagaimana bisa?

Ayah ... apa yang terjadi padanya?

Aku mengalihkan pandangan dari layar. Otakku tidak bisa menerima ini semua sebagai kenyataan. Namun di depan, orang-orang mulai menyadari apa yang tengah terjadi. Mereka memucat, mondar-mandir di gerbong dengan resah, beberapa mencoba menelepon seseorang, lainnya menangis dan terduduk dengan putus asa. Pemandangan ini seolah menarikku kembali ke kenyataan.

Aku mencoba mengatakan sesuatu pada Ned. Barangkali bertanya padanya apakah segalanya baik-baik saja, karena wajahnya pucat dan dia tampak kehilangan harapan. Namun sebelum bunyi apa pun keluar dari tenggorokanku yang mendadak kering, suara statis bergema di gerbong lagi.

“Tenang, para penumpang!” Suaranya kini terdengar terengah-engah, “Bantuan sebentar lagi akan datang! Bersabarlah!”

Tepat setelah itu, pintu gerbong bergeser terbuka. Tim SWAT lengkap berdiri di depan, mengenakan seragam serbahitam, dengan senapan tersandang di bahu mereka.

Sesaat, semua orang tiba-tiba berhenti bergerak. Tak ada yang bakal menyangka bantuan mereka adalah tim kepolisian bersenjata lengkap.

Salah satu anggota menembus masuk. Ia mengeluarkan megafon kecil. “Cepat berbaris dan segera keluar!” Suaranya membahana di seluruh gerbong. “Kami akan melindungi kalian! Stasiun ini tidak akan lama bertahan!”

Satu demi satu, orang-orang mulai berbaris keluar. Aku dengan cepat menarik lengan Ned yang masih tak sadar, berbaris mengikuti yang lain menuju peron. Tim SWAT berkumpul di kanan-kiri sambil mengawasi, menyandang senapan entah jenis apa di bahu mereka. Rasanya lebih mirip ditawan dibanding dilindungi, tapi tak ada seorang pun yang berani protes. Stasiun yang kami lewati tampaknya cukup aman, tapi semakin kami mendekat, suara-suara tembakan mulai terdengar. Aku mulai berkeringat, dan pikiranku terus menerus memikirkan Ayah. Apakah dia baik-baik saja di sana?

Akhirnya kami mencapai bagian depan stasiun. Kami diberitahu oleh tim SWAT untuk berlindung di sini untuk beberapa waktu, sementara mereka mengawasi keadaan di luar. Aku dan Ned terduduk di lantai di balik tembok luar ruang resepsionis. Warna merah menyala berkilat jauh di depan, dan suara-suara mengerikan menggema di luar sana. Di jarak seperti ini, pemandangan itu lebih mirip kotak kecil berwarna merah yang berisik. Tapi bagaimanapun, stasiun adalah tempat umum. Siapa saja bisa masuk ke sini dan melakukan apa pun seenak mereka.

“Kapan kita keluar?” tanyaku, setelah mengumpulkan keberanian untuk bicara.

Petugas SWAT itu terlihat menyeramkan dengan senapan di bahu, tapi aku bisa melihat wajahnya yang resah di balik helmnya. “Untuk saat ini, kami tidak tahu, Nak. Mungkin butuh berminggu-minggu. Jika beruntung.”

Aku sudah menduganya, tapi aku tetap merasa murung. Rasanya seperti ditampar berkali-kali dengan kejadian buruk. Tapi dibanding itu semua, aku paling mengkhawatirkan ayahku.

Tiba-tiba aku teringat dengan mimpi itu. Aku tak melihat Ayah di sana, dan jika mimpiku bukan cuma kebetulan gila, artinya sesuatu yang buruk mungkin menimpanya.

Aku segera meraih ranselku dan mengeluarkan ponsel. Tapi seberapa keras pun aku mencoba menelepon nomor ayahku, tak ada yang menjawab kecuali mesin penjawab otomatis yang mengatakan dia sedang sibuk. Ayahku memang tidak sering menjawab telepon, tapi di situasi seperti ini, aku hanya bisa memikirkan yang terburuk. Bagaimana jika dia ... ?

“Ned,” panggilku, berbalik menghadap sobat Skotlandiaku. Dia tampak pucat dan gemetar. “Aku khawatir dengan keadaan ayahku di sana. Ada ide bagaimana menghubunginya?”

Biasanya Ned punya ide-ide cemerlang di situasi genting, tapi rupanya tidak kali ini. Dia hanya terdiam dengan bibir gemetar seperti patung porselen penuh keringat, dan bintik-bintik di wajahnya nyaris tidak ada. Jika aku tidak mengenalnya, mungkin aku bakal mengira ada manekin berambut merah yang tersangkut di lantai.

Sebelum aku sempat berbalik untuk meraih ponselku lagi, akhirnya Ned berbisik, “Akan kupanggil ayahku.” Dia meraih ponselnya, tapi dalam beberapa deringan, panggilannya tidak terjawab.

Ned memandangku lurus-lurus, seolah akan mengatakan sesuatu yang sangat serius. Dan segera setelah kata-katanya terucap, aku sontak terbelalak. “Aku harus keluar dari sini. Akan kutemui ayahku, dia bakal tahu bagaimana cara menyelamatkan kita berdua.”

“Jangan gila, Ned!” sergahku. Aku tahu Ned kadang punya ide-ide sinting, tapi keluar ke New York yang hancur? Tidak. Itu terlalu berbahaya. “Kau bisa mati!”

Ned tampaknya tidak mengacuhkan peringatanku. “Aku harus keluar, Leon. Keluargaku—keluargamu, kau tidak akan pernah tahu bagaimana keadaan mereka jika tidak mencoba.”

Seberapa kerasnya aku ingin mencegah Ned mencelakai dirinya sendiri, aku tidak bisa membantah kata-katanya. Kepalaku ditusuk-tusuk oleh pikiran tentang Ayah. Dan jika kata-kata petugas SWAT itu benar, berminggu-minggu setelahnya, mungkin aku hanya bisa menemukan tulang-belulang.

Ned berbalik, menatapku lewat sudut matanya. “Jangan khawatir, Leon. Aku selalu punya rencana.” Dia menyelinap melewati anggota-anggota tim SWAT yang tengah berjaga, lalu dengan satu kedipan mata, sosoknya telah menghilang di balik kekacauan dan api yang membara.

Aku bersandar di dinding, resah dan gemetar. Tanpa sadar, aku menggigit-gigit kuku jemariku dengan cemas. Aku yakin diriku kelihatan seperti mayat sekarang.

Aku berpikir tentang para pemrotes bersenjata, pamflet-pamflet yang bertebaran, dan ayahku yang berhadapan langsung dengan mereka. Bagaimana ini bisa terjadi? Barangkali aku telah mengabaikan semua peringatan tentang mereka. Mungkin ini salahku karena tidak menyadari betapa berbahayanya para pemrotes itu dan memberitahu Ayah.

Mendadak aku teringat tentang Vooir, tentang lima dunia, tentang kepunahan, dan tentangku sebagai penyelamat mereka. Tapi bagaimana bisa seorang bocah dua belas tahun menghadapi kericuhan tingkat nasional? Pemikiran itu membuatku depresi. Aku dipilih untuk menyelamatkan dunia, tapi pada akhirnya aku hanya bisa diam. Mengabaikan semua nyawa yang terenggut. Mengabaikan takdirku. Mengabaikan segalanya dan bersandar pada dinding yang aman dan semua polisi yang melindungiku.

Namun sebelum aku mencapai puncak frustasiku, decit-decit ban mobil terdengar di depan. Aku mendongak. Sebuah mobil van rongsokan melaju liar di depan stasiun—dengan bendera Amerika di atapnya setengah terbakar—berputar-putar gila di aspal, hinga akhirnya berhenti asal-asalan dengan debuman keras.

Aku mengenal tulisan cat semprot merah di van itu: ROCK, RAUNG, DAN REDWINE. Mobil van rongsok pamanku.

Pintu depan van menjeblak terbuka, dan ayahku keluar—tampak sepuluh tahun lebih tua—dengan raungan terkeras yang pernah kudengar dalam dua belas tahun hidupku.

“LEOOOOOOOOOON!” Ia meraung, berusaha mengulurkan tangannya dengan anggota SWAT yang menghadang. Jika dia tidak menyebutkan namaku, aku bakal mengira dia singa jantan raksasa di tengah-tengah asap dan kekacauan. “Kita pergi dari sini! Tak ada waktu tersisa!” Ia berusaha berteriak dengan lebih banyak petugas membenamkan sosoknya.

Dan dengan kata-kata itu, aku berlari menembus sosok-sosok petugas berseragam lengkap, menyambar tangan ayahku, dan terlempar ke kursi depan. Aku masih bisa merasakan tangan-tangan dingin petugas SWAT menarik-narik pergelangan kakiku. Sebelum aku bisa membenarkan dudukku, pintu supir telah tertutup dan van menukik ke samping, melaju dengan kecepatan penuh menembus kekacauan dan menghilang dalam api yang menyala-nyala.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height