+ Add to Library
+ Add to Library

C8 GEMURUH

INI BUKAN KALI PERTAMAKU naik mobil van, tapi hal yang paling kubenci dari naik van rongsok pamanku adalah; kecepatan gila yang bisa kau kerahkan hanya dengan menginjak gas.

Pamanku adalah pembalap liar, jadi hal ini tidak mengejutkan. Tapi tak ada siapa pun yang bisa mengontrol lambung mereka saat naik van berkecepatan tinggi di hari kiamat.

“Bagaimana Ayah tahu aku ada di mana?” Aku meremas perutku. Rasanya seperti ada tornado kecil di dalam. Mengaduk-aduk sisa makanan seperti blender. Beruntung aku masih bisa bicara.

Kami telah meninggalkan jalan stasiun yang rusuh, penuh api, dan penuh peluru. Sekarang van melaju di jalanan lengang, penuh sampah dan gedung-gedung yang hangus terbakar. Aku melirik jalanan lewat jendela, tak ada seorang pun di sana kecuali beberapa kucing liar dan gelandangan yang merokok. Mereka memudar seperti asap secepat cahaya.

“Ned memberitahu Ayah,” kata ayahku, matanya tidak bisa lepas dari jendela. Dia tampak lebih kacau dibanding yang pernah kulihat—kantung mata hitam, jaket kulit yang setengah terkoyak, wajah berkerut seolah bertambah tua, dan jika mataku tidak mengelabuiku, dia bisa saja punya beberapa helai uban. Dia jauh lebih mirip kakek dibanding ayahku. “Dia di jalan sendirian, menggenggam pistol listrik. Dia memberitahu Ayah tentangmu. Ajaib bocah dua belas tahun bisa bertahan di situ sendirian.”

“Dia nggak mau ikut?”

“Ayah menawarinya, tapi dia berkeras menolak. Dia bilang ingin menemui ayahnya. Jadi Ayah meminjamkannya beberapa barang. Untuk berjaga-jaga,” ujar ayahku, dengan suara letih dan panjang.

Aku menoleh ke bagian belakang van. Di salah satu kursi penumpang, ibuku terkulai dengan selimut menutupi setengah tubuhnya. Lemah dan pucat. Aku berpikir apakah Ned akan kembali dengan keadaan seperti ibuku, atau lebih buruk.

Sesuatu menghantam jendela di sebelahku, memantul menjauh. Retakan memanjang muncul di kaca. Aku berjengit. “Apa itu?”

Ayahku tampak waspada. “Kita sudah dekat,” katanya. “Pegangan erat-erat.”

Awalnya aku tidak tahu apa yang ayahku bicarakan, tetapi setelah melewati beberapa gedung-gedung tinggi hangus dan lampu jalan yang rusak, aku tahu apa maksudnya. Kami akan pergi ke pusat kota. Tempat paling berbahaya di Amerika saat ini. Warna merah menyala di depan mulai mendekat.

“Leon,” ujar ayahku, menatapku lurus-lurus di mata. “Ambil alih kemudinya.”

“Apa?” Aku mengerjap. “Untuk apa? Aku bahkan nggak tahu cara menyetir!”

“Kita tak punya pilihan. Kau dan Ayah harus bertukar tempat,” ayahku berkata sambil mencondongkan tubuhnya ke tempat dudukku, seolah bersiap untuk melompat.

“Aku masih di bawah umur! Aku nggak punya SIM!” protesku panik. “Aku bakal membuat kita tabrakan parah dan tewas!”

“Cepat, Leon.” Ayahku tidak melepaskan pandangannya dari jendela. Mobil melaju semakin dekat. Suara tembakan kembali terdengar. “Dalam hitungan, tiga—”

“Apa?”

“Dua—”

“Ayah, ini nggak akan—”

“Satu—”

Aku melompat.

Tanganku berusaha menggenggam setir, dan kakiku yang masih belum bertumbuh tinggi berusaha menginjak pedal gas hingga merosot. Posisiku sekarang kurang lebih mirip kadal yang berselonjor di kursi pantai di bawah sinar matahari.

“Apa selanjutnya?” tanyaku dengan bibir gemetar. Ini pertama kalinya aku pernah mencoba memegang setir. Aku melihat tulisan rumit di persneling dan mendadak perutku melilit.

“Jalan terus,” kata ayahku, duduk di kursi sebelah, mencondongkan tubuhnya di dekat jendela. Dia tampak memegang sesuatu yang padat di bawah dasbor.

Jalan terus. Baiklah. Aku menggenggam setir lebih erat, berharap tidak menginjak pedal gas terlalu keras tanpa sengaja. Mobil van ini telah dimodifikasi hingga tak ada batas kecepatannya, dan sekalinya kau menginjak pedal gas hingga ujungnya, dalam sedetik kau bakal menembus tiga dinding rumah sekaligus.

Mobil terus melaju, perlahan-lahan mendekati cahaya kemerahan di depan. Telapak tanganku berkeringat, membasahi setir. Aku bisa melihat ayahku semakin lama semakin mengeratkan genggaman benda padat itu di tangannya.

Aku berdeham. “Jadi, bagaimana bisa kekacauan seperti ini terjadi cepat sekali?” kataku, seolah topik ini bisa mencairkan suasana.

Ayahku menjawab tanpa berbalik. “Bencana itu terjadi lagi. Di Chicago dan Los Angeles secara bersamaan.”

“Apa?” Aku membelalak. “Di Chicago dan Los Angeles sekaligus? Bagaimana bisa?”

Aku tahu ayahku tidak punya jawabannya, tapi aku tetap bertanya—hingga mendadak, aku tersadar bahwa akulah satu-satunya orang yang mengetahuinya. Aku teringat akan Vooir, bagaimana dia menceritakan soal Esmerides yang merencanakan kepunahan penduduk Lima Dunia. Aku berpikir, bagaimana jika para Esmerides yang menyebabkan kekacauan ini? Kalau memang mereka yang menyebabkan tornado Brooklyn, maka mereka juga dalang di balik bencana kali ini.

Tiba-tiba aku teringat akan takdirku. Bocah dua belas tahun sebagai penyelamat dunia. Aku menggigit bibir. Jika kesimpulanku benar, maka bencana ini juga tanggung jawabku. Tapi yang bisa kulakukan, lagi-lagi, adalah menyetir mobil bersama Ayah Tersayang yang melindungiku. Pada akhirnya, aku hanya bisa terdiam. Mengabaikan segalanya.

Aku bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Ayah jika mengetahui yang sebenarnya tentang diriku. Mungkin dia bakal mengira aku gila dan perlu dirawat seperti ibuku, atau dia akan menempatkanku di tengah-tengah kekacauan dan menyemangatiku. Ayahku bukan tipe orang yang lari dari tanggung jawabnya.

“Omong-omong, memangnya kita mau ke mana?“ tanyaku.

“Ke tempat yang aman. Di mana saja.”

Jadi kami tak punya rencana, batinku.

Tanpa kusadari, kami mulai memasuki pusat kota. Warna api yang berkobar berkilat di depan. Jeritan dan lolongan mengerikan menggema. Peluru yang ditembakkan memekakkan telinga. Bahkan sebelum kami benar-benar berada di sana, melihat domba sedetik saja bakal membuatku bahagia.

Untuk sesaat, aku merasa lega karena tidak mengacaukan aksi mengemudiku yang perdana, tapi di lain sisi, aku tidak tahu apa yang akan kami hadapi di luar sana. Mungkin sebelum aku bisa berkedip, van kami bakal terbelah dua.

Akhirnya kami memasuki pusat kota. Bertengger di kanan-kiri kami, tedapat barisan padat kendaraan yang bertabrakan. Kuduga ada kecelakaan besar terjadi di sini. Mobil-mobil hangus terbakar, dan semua jendela mereka pecah berantakan. Aku mengalihkan pandanganku, berhati-hati agar tidak melihat mayat atau semacamnya dari sela-sela jendela. Tapi aku masih bisa melihat jelas sosok-sosok penjarah yang berkumpul, mengais entah apa di dalam mobil-mobil itu. Jauh di seberang, gedung-gedung tinggi terbakar.

Aku lega karena tidak menyaksikan pembunuhan atau baku tembak-menembak. Tapi aku tahu kalau ini hanya awalnya. Jauh di sana, ada pemandangan yang jauh lebih mengerikan, kejam, dan tidak bermoral—suara lolongan di depan memberitahuku. Aku menginjak pedal gas lebih keras. “Apa selanjutnya?” tanyaku pada Ayah.

Ayahku tidak menjawab. Dia terus memandangi jendela di sampingnya, memicingkan matanya hingga segaris, dan menggenggam benda padat itu di bawah dasbor dengan mencekam. Aku merasa dia bakal menghajar wajah seseorang.

Aku terus melaju ke depan, berusaha tidak menarik perhatian. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Para penjarah yang berkumpul mulai menyadari kehadiran kami, dan mereka mulai berpaling dari mobil-mobil hangus mereka. Sinyal darurat bergaung di kepalaku seperti sirine ambulans. Untuk pertama kalinya, aku mulai mempertimbangkan menginjak pedal gas hingga ke ujungnya.

“A-ayah ....” gumamku panik. “Bagaimana ini?”

“Injak pedalnya,” kata ayahku, mulai menurunkan jendela. Aku menyadari kalau benda padat itu adalah pipa saluran air besi yang berkarat. Kali ini aku mulai berpikir ayahku benar-benar ingin menghajar wajah seseorang.

“Oke,” gumamku, mengembuskan napas. “Injak pedalnya.”

Aku menginjak pedal gas, tepat setelah bunyi klang keras terdengar di seberang. Kedengarannya seperti seseorang menabrak tiang bendera. Tapi aku terlalu terfokus pada mengemudikan van balap berkecepatan tinggi, hingga tak sanggup menoleh. Bunyi klang lagi.

“Ayah!” aku berteriak, mengatasi derum mesin van. Kini lebih banyak bunyi klang terdengar. “Ada apa di sana? Ayah baik-baik saja?”

Tidak ada jawaban. Satu-satunya bunyi yang bisa kudengar adalah klang, di balik bunyi tembakan dan lolongan jauh di depan. Mungkin seseorang memiliki banyak masalah dengan tiang bendera. Penasaran, aku menoleh. Dan pemandangan yang kulihat membuatku tak sanggup menahan diri untuk menganga.

Ayah menghajar para penjarah dengan pipanya lewat jendela, memukul wajah mereka dengan gerakan-gerakan gila bak aktor film laga. Penjarah-penjarah berdatangan seperti zombi, mengincar van kami bagai daging segar. Meski banyak penjarah setidaknya memiliki satu buah senapan genggam, ayahku entah bagaimana berhasil mencegah mereka menembakkan pelurunya. Satu per satu, para penjarah terkapar di tanah aspal, berguling ke belakang seperti boneka yang terbawa angin. Aku terus menginjakkan pedal tanpa henti.

Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, tapi dalam kecepatan seperti ini, aku yakin bakal menanggalkan setidaknya satu buah gigi. Maka aku semakin meninggikan kecepatan, dan menggenggam setir sekuat tenaga. Berharap kami bakal keluar tanpa jadi tulang belulang.

Aku melihat ayahku menghantam kepala salah satu penjarah ala pemain bisbol, dan satu lagi penjarah terkapar dan berguling ke belakang di tanah aspal. Jika ini permainan bisbol sungguhan, aku yakin dia bakal mencetak homerun. Aku merasa seperti terlempar ke salah satu adegan balap-balapan gila di Fast and Furious.

Sesuatu menabrak van kami, terpental ke belakang. Aku terbelalak. Apa itu tadi? Tapi aku tetap melaju ke depan. Barangkali manusia. Aku tidak ingin terlalu memikirkannya.

Kami terus melaju, hingga suara-suara mengerikan semakin menggelegar—semakin nyata. Bulu kudukku merinding. Kami tengah memasuki pusat kota yang sebenarnya. Bunyi klang makin sedikit, dan barisan padat mobil-mobil mulai berkurang. Saat bunyi klang lain tidak terdengar lagi, aku memberhentikan mobil.

“Ayah,” kataku, terengah-engah. Kejadian tadi telah menguras energiku. “Kenapa Ayah tidak tinggal di stasiun saja? Di sana jauh lebih aman.”

Aku tahu menanyakan ini bakal mengikis harga diriku. Berada di stasiun hanya akan menyiksaku. Peranku sebagai penyelamat dunia terus bergaung, dan kata-kata Vooir menghantuiku setengah mati. Tapi bagaimanapun, aku hanya berusaha agar kami tidak perlu memasuki pusat kota. Aku tidak sanggup membayangkan apa yang akan kami hadapi di sana.

Ayahku terdiam. Dengan kelopak mata yang menghitam dan penampilan acak-acakan, dia kelihatan depresi.

“Mereka mungkin menduga soal pemrotes bersenjata, tapi tidak dengan bahaya yang lain,” katanya akhirnya.

“Yang lain?” tanyaku. “Apa maksud Ayah?”

Ayah tidak menjawab pertanyaanku, tapi malah mengatakan, “Gunakan kecepatan tertinggi.”

“Tapi aku nggak punya SIM!” protesku.

Ayahku berteriak. “GUNAKAN KECEPATAN TERTINGGI, LEON. SEKARANG!”

Akhirnya aku menginjak pedal gas hingga ujungnya. Aku tak pernah melihat Ayah berteriak seperti ini padaku. Tapi aku tidak membuang waktu untuk bertanya, karena walaupun aku tahu van ini telah dimodifikasi secara ekstrem, aku masih tak menduga kecepatan ini.

Van kami melaju gila-gilaan, menembus apa pun yang ada di depan. Sesuatu yang berbunyi brak, bruk, klang, krieeeeet, menabrak van kami berturut-turut. Aku tak sanggup mengunci mulutku. Cahaya berkilat-kilat cepat di semua jendela. Kami bagai secepat cahaya. Akhirnya, setelah menabrak ratusan benda entah apa dan membuat kap mobil kami penyok dan berasap, aku membuka mulutku lebar-lebar dan melolong, “AKU NGGAK PUNYA SIIIIIIIIIIIIIIIIIM!” tepat setelah kami memasuki lautan pohon pinus dan mobil mogok tiba-tiba.

Kami nyaris menabrak pohon besar di depan, tetapi dengan cepat ayahku menginjak kakiku ke pedal rem, yang cukup menyakitkan.

Van berhenti, hanya beberapa senti dari pohon itu. Kap depan mobil mengepul penuh asap. Ayahku membuka pintu mobil dan keluar, memeriksa kap sambil terbatuk-batuk.

Aku menoleh ke belakang untuk memeriksa ibuku. Dia masih tebaring lemah dengan keringat dingin membanjiri wajahnya. Aku khawatir bagaimana keadaannya—maksudku, van kami menabrak begitu banyak hal yang bahkan tak berani kupikirkan. Namun segalanya tampak baik-baik saja. Posisi tidurnya nyaris tidak berubah, wajahnya tidak sepucat biasanya, dan rambut pirangnya masih berada di tempat yang sama. Aku tidak tahu bagaimana dia masih berada di posisi itu setelah kecepatan gila tadi, tapi aku tidak terlalu memikirkannya. Toh, ini berita bagus.

Aku keluar dari van, menggigil karena udara dingin, sambil menggerakan tanganku untuk melenyapkan asap yang menyebar dari kap mobil.

Kami berada di tengah hutan pohon pinus yang kelam. Cahaya bulan dan bintang menerangi rerumputan dan lumpur di bawah kakiku. Pohon-pohon pinus yang runcing tampak seperti topi penyihir. Pohon yang nyaris kutabrak menjulang tepat di depanku, nyaris tampak melengkung.

Jauh di depan, terdapat perbukitan dan ladang-ladang. Rumah-rumah kecil menerangi langit malam, jendela-jendela jingga mereka menyerupai lentera. Aku bisa mendengar satu atau dua domba mengembik. Pemandangan itu lebih mirip miniatur dari sini, tapi melihatnya saja membuatku merasa damai.

“Ada hasil? Apa masih bisa diperbaiki?” tanyaku dengan mata menyipit.

Ayah mengerutkan alis—nyaris tak terlihat dari kepulan asap. “Bisa, tapi tidak di sini. Mesinnya telah mencapai batas. Jika dipaksa bergerak, mobil akan meledak.”

Aku sudah menduganya. Namun aku tetap merasa kecewa karena secuil harapanku sudah dienyahkan begitu saja. Aku hanya bisa memikirkan Ned dan ide-ide cerdiknya, seandainya dia di sini, kurasa dia bisa memperbaiki mobil kami dalam sekejap.

Aku khawatir dengan Ned. Apakah dia baik-baik saja di sana? Ayah bilang dia sendirian dan hanya membawa sebuah pistol listrik. Ayahku mungkin telah meminjamkannya beberapa barang untuk bertahan hidup, tapi aku masih tidak bisa membayangkan seorang bocah dua belas tahun menghadapi ratusan pemrotes bersenjata.

Ayah berjalan menghampiriku. Ia mengembuskan napas panjang, menggenggam kedua bahuku. Firasatku mengatakan bahwa saat ini adalah saat yang penting, dan itu membuatku gugup.

“Leon, dengarkan baik-baik,” ayahku memulai. “Ayah harus pergi. Bantuan tidak akan datang begitu saja. Ayah janji tidak akan lama. Setelah itu, kita akan cari tempat yang pantas untuk berlindung. Jaga baik-baik ibumu.”

Aku memandang ke atas, menatap perbukitan. Ladang-ladang berdesir, jendela-jendela rumah bersinar seperti lentera, dan embikan para domba bergaung di kejauhan. Dengan pemandangan ini, segalanya seolah tampak baik-baik saja. Tidak ada kekacauan. Tidak ada api yang membakar New York dari bawah ke atas. Kukira kami bisa terus di sini, entah berapa lama, bersama-sama.

“Ayah akan pergi?” Aku menunduk, berusaha menutupi genangan air di mataku. “Lagi?”

Ayah mengembuskan napas, lalu mengangguk. “Ya. Tak ada cara lain yang bisa Ayah lakukan,” katanya tegas. “Jangan khawatir. Ayah yakin penduduk desa di sana cukup ramah. Kuharap mereka punya beberapa kunci inggris dan bensin. Dan—oh, tunggu sebentar ....”

Dia merogoh saku jaket kulitnya, mengeluarkan sesuatu yang berkilau. Ia menyodorkannya kepadaku. Di telapak tangannya, tergeletak sebuah lempengan logam yang berkilat. Awalnya kukira itu pisau bedah karena gelapnya malam. Lalu kusadari bahwa itu adalah benda yang jauh lebih berbahaya. Sebuah pisau lipat, dengan bilah runcing mencekam, berkilat-kilat di bawah cahaya bulan.

“Jaga ibumu. Benda ini dapat melindungi kalian,” ayahku berkata dengan suara serak.

“I-ini ....” gagapku, mengambil pisau itu. “Ayah yakin aku bisa menggunakan benda ... ini?”

“Ayah yakin kau bisa,” kata ayahku. “Situasi sekarang tak terkendali. Bahkan anak dua belas tahun sepertimu pun perlu persenjataan jika ingin bertahan hidup. Ayah tahu ini tidak akan cukup, jadi ....”

Dia berbalik, mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Mungkin cuma imajinasiku, tapi dia kelihatan gemetar saat menyodorkannya padaku. Di genggamannya, sebuah pistol berkilat. Aku terbelalak.

“Ini—”

“Jika tak ada pilihan lain,” sela ayahku, nyaris kedengaran getir. “Pakai baik-baik—dengan bijak.”

Dia kedengaran seolah melarangku menggunakannya. Kupikir itu yang terbaik. Aku tak perlu membunuh seseorang untuk mempertahankan diriku. Aku mengambil benda itu, nyaris menjatuhkannya ke tanah—tak sesuai dugaanku, benda ini cukup berat. Di film-film, para aktor dengan mudahnya mencabut pistol dari saku mereka. Satu lagi kesalahan Hollywood, batinku.

Di tangan kiriku, aku menggenggam pisau, dan di kanan, aku menggenggam pistol. Kugenggam kedua benda itu erat-erat. Aku bisa merasakan air mata mulai menggenang lagi di pelupuk mataku. Sebentar lagi, Ayah akan pergi.

Ayah memegang bahuku dan tersenyum. Dengan senyuman itu, Ayah seolah kembali ke masa mudanya. Dan saat itu juga, kusadari dia jarang tersenyum semenjak Ibu sakit. Barangkali ini senyum pertamanya setelah dua tahun.

Dia berbalik, melepaskan genggamannya. Aku terus memandangi punggungnya sementara ia menjauh—memasuki lautan pohon pinus, dan terus mengecil. Hingga akhirnya, sosoknya benar-benar hilang di kegelapan. Aku menyesal tidak sempat mengucapkan selamat tinggal.

Aku merosot, bersandar pada van. Kuletakkan pistol itu di tanah, dan kugenggam pisau erat-erat. Bilahnya tajam dan runcing, berkilat dengan cahaya bulan. Aku menatap pisau itu, meyakinkan diriku.

Ayahku memberikan tanggung jawab ini padaku, batinku. Jika aku belum bisa memenuhi tanggung jawab takdirku, setidaknya, aku bisa memenuhi tanggung jawab yang diberikan ayahku. Bahkan jika aku berhadapan dengan Esmerides, segalanya akan baik-baik saja. Kepercayaan Ayah akan terus bersamaku di benda ini.

Aku tahu melakukan hal ini tidak ada artinya. Tapi di situasi ini, segala hal terasa jauh lebih berarti. Mungkin ini pertama kalinya aku benar-benar khawatir akan ibuku. Aku akan melindunginya dengan pisauku.

Jangkrik-jangkrik berderik lebih keras dari biasanya. Burung-burung berterbangan di cakrawala. Tubuhku menggigil. Hutan ini tampaknya turun suhu beberapa derajat. Satu atau dua domba mengembik. Angin berdesir, membawa beberapa helai rerumputan dan dedaunan yang kering.

Tiba-tiba perutku melilit. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang salah di sini. Tapi aku tidak tahu apa itu, atau mengapa aku merasa begini. Barangkali perutku berulah lagi semenjak balap-balapan gila tadi, atau sandwich yang kumakan tadi siang ternyata kadaluarsa—atau keduanya.

Rupanya bukan sandwich.

Semilir angin itu—membawa rerumputan dan daun-daun—memilin dan berputar di sepenjuru hutan dengan tidak biasa. Tidak setiap harinya kau bisa melihat angin meliuk-liuk seperti ular kobra di hadapanmu. Dan tentu saja, walau aku nyaris jadi santapan monster-monster sehari yang lalu, aku juga tidak pernah melihat yang begini.

Angin itu terus berputar, lalu aku melihat sesuatu yang berkilat. Debu-debu merah mulai mengikuti langkah angin itu, membentuk topan kecil berwarna kemerahan dan menarik lebih banyak rerumputan. Jantungku berdetak-detak keras seperti genderang perang. Aku tahu apa ini—Esmerides. Esmerides ada di hadapanku. Tanpa sadar, aku telah mengacungkan pisauku.

Dalam beberapa detik, angin itu membuyar. Debu-debu merah bertebaran. Aku menyipitkan mata. Di baliknya, terdapat sesosok ... manusia? Aku tidak tahu bagaimana menyebutnya. Secara fisik, dia mirip manusia, tetapi tak ada manusia yang sebesar dan setinggi itu. Tingginya sekitar sepuluh meter, dengan kulit kelabu menjijikan dan tubuh raksasa. Aku teringat sesuatu dari film-film yang ditunjukkan Ned. Sesosok makhluk yang mirip. Apa namanya, troll? Tepat. Troll. Dia mirip troll dengan sedikit modifikas.

Dibandingkan troll di film Ned, Troll-Esmerides ini punya taring yang menjulang hingga dagunya, dan dia punya kuku-kuku hitam panjang setajam silet. Kepalanya tanpa rambut, dan dia mengenakan sesuatu yang mirip kulit kerbau dari pinggang ke lutut. Selapis baja melekat di dadanya. Dan yang paling menarik perhatianku; rantai-rantai menjulur dari logam yang melingkari lehernya, nyaris menyentuh tanah. Jika dia seukuran anjing cihuahua dan sama sekali tidak mirip manusia, aku bakal mengira dia hewan peliharaan yang kabur dari majikannya.

Tapi aku tidak punya waktu untuk mencerna itu semua, atau memikirkan tentang betapa konyolnya celana kerbau berjumbai-jumbai itu.

Aku berjengit, menabrak van, nyaris terjerembap di tanah. Tanganku yang menggenggam pisau gemetaran. Esmerides ada di hadapanku, batinku. Ini bukan pertama kalinya aku berhadapan dengan mereka, tetapi ukuran dan aura dari Esmerides ini terasa berbeda. Rasanya seakan aku menghadapi bos final video game di dunia nyata. Lubang hidung Troll-Esmerides itu mengembuskan asap, menatapku dengan matanya yang kemerahan. Mungkin cuma imajinasiku, tapi rasanya aku bisa melihat kobaran api di mata itu. Embikan domba terdengar di kejauhan.

Beberapa detik kemudian, si Troll-Esmerides meraung ke cakrawala. Aku menjatuhkan pisauku, menutup kedua telingaku kuat-kuat. Jika tidak kulakukan ini lebih awal, mungkin gendang telingaku bakal meledak. Burung-burung berterbangan dari pepohonan. Lalu dua desir angin meliuk-liuk menuju kakinya yang berkuku busuk dan besar. Debu merah yang mengikuti angin itu membuyar, menampakkan dua sosok kurus bertudung.

Aku terkesiap. Mereka Esmerides yang sama dari serangan kemarin. Entah mereka bangkit dari kubur atau tidak benar-benar mati, aku tidak begitu memikirkannya. Bunga-bunga api memercik dari topeng jeruji mereka, dan mereka mulai mengeluarkan dua pedang pendek hitam yang sama. Aku menyadari mereka semua memiliki rantai di salah satu bagian tubuh mereka. Mungkin mereka satu tim atau apalah. Aku mengambil pisauku dari tanah, mengacungkannya kembali. Aku ragu apakah sebilah kecil besi dapat menembus daging-daging tebal si Troll-Esmerides, tapi ini bukanlah waktu yang tepat untuk memikirkan itu.

Si Troll-Esmerides meraung lagi, kali ini mencabut sebuah pohon pinus dari akarnya. Dia melemparkan pohon itu ke arah mobil van, tapi meleset dan menabrak bebatuan di samping. Sirine otomatis van bergaung. Kedua sosok kurus kering itu mendesis-desis, seolah terkikik-kikik. Aku berbalik, kini mencengkeram pisauku lebih erat ke langit. Mereka seolah berkata kepadaku; Hei, Bocah. Lihat nih, kami bisa menghancurkan mobilmu hingga berkeping-keping. Kau bisa apa melawan kami?

Walau kesal, aku tidak bisa mengendalikan tubuhku. Kakiku gemetaran hebat, dan embikan domba-domba seolah-olah menggema di alam bawah sadarku. Aku bisa merasakan ketakutan menjalari benakku, perlahan-lahan menguasai tubuhku. Tapi aku tetap berusaha mempertahankan kakiku di tanah. Aku mengacungkan pisau itu sekuat tenaga, dan perlahan-lahan mendekati Esmerides-Esmerides itu. Aku mengingat tentang Ayah, tentang Ned, tentang takdirku, dan tentang Ibu ....

Tiba-tiba, tangan dingin menyentuh bahuku. Aku menoleh. Vooir berada di sampingku, mencengkeram bahuku sekuat tenaga. Keringat membanjiri wajah pucatnya, seolah-olah dia habis lari maraton dua benua. Dia mengenakan jaket hitam bertudungnya, kali ini tampak dipakai tergesa-gesa. Mata birunya berkilat. Aku sudah mengetahui apa niatnya sebelum dia bicara.

“Leon Redwine,” katanya, menatapku lurus-lurus di mata. Suaranya bergetar. “Hentikan apa pun yang ingin kau lakukan. Serahkan ini padaku. Jika tidak, kau hanya akan—”

“Nggak!” kataku, bersikukuh. Ini sudah takdirku, seharusnya Vooir tahu itu. Dengan kesempatan inilah aku bisa memenuhi tanggung jawabku. Takdirku dan ayahku. “Aku salah satu yang terpilih, bukan? Aku salah satu orang yang bisa menyelamatkan orang-orang. Menghadapi mereka seharusnya sudah takdirku! Kau tahu itu.”

Vooir mengembuskan napas. “Mereka Esmerides,” katanya. “Mungkin kau tidak menyadarinya, tapi mereka jauh lebih kuat daripada yang kauduga. Kau masih butuh banyak latihan, Redwine. Menghadapi mereka sendirian adalah ide yang buruk.”

“Tapi kau bisa,” aku berkeras. “Kau bisa menghadapi mereka waktu itu. Kau menyelamatkanku. Jika kau bisa, seharusnya aku juga.”

Vooir menunduk, menatap ke tanah. Ia melepaskan cengkeramannya. “Mungkin ada baiknya,” dia menarik napas, “mungkin ada baiknya jika aku melihat kemampuanmu secara langsung.”

Aku mengangguk. “Terima kasih, Vooir. Aku nggak akan mengecewakanmu,” kataku, meski aku ragu akan hal itu.

Sejujurnya, aku tidak tahu harus melakukan apa, tapi aku tetap berjalan menjauhi sosoknya. Langkah demi langkah, aku mendekati si Troll-Esmerides dan komplotannya.

Troll-Esmerides itu mencabut satu lagi pohon pinus, melemparnya kembali ke arah van. Namun berbeda dari sebelumnya, kini pohon pinus itu menyentuh atap van, melenyapkan bendera Amerika setengah hangus di atasnya. Nyaris membuat van terbalik ke belakang.

Sebelum aku bisa berbuat apa-apa, cahaya jingga memancar di jendela-jendela mobil. Jantungku nyaris berhenti berdegup. Ibuku. Ia melolong-lolong memanggil nama ayahku, bayangan sosoknya di kejauhan terlihat seperti meraba-raba isi van. Mencari sesuatu—seseorang. Ayahku.

Amarah membakar darahku. Pembuluh darah di seluruh tubuhku berdenyut-denyut. Aku tak mungkin membiarkannya. Monster-monster ini telah menginjak-injak keluargaku, mempermainkan mereka seperti boneka di kubangan lumpur. Gejolak energi menguasaiku, amarah megendalikanku.

Tepat ketika aku nyaris melakukan tindakan emosional yang tolol, ketiga Esmerides itu melaju ke arahku. Si Troll-Esmerides tengah mengangkat gundukan batu raksasa, dan tepat saat itu, aku melihat rantai-rantai bergemerincing si troll. Aku menyimpan pisauku di saku. Darah mendesir di kepalaku. Itu dia, batinku. Kesempatanku.

Aku melesat ke bawah si troll, menghindari tikaman kedua Esmerides bertudung, menjatuhkan diri ke tanah dan meluncur di lumpur ala pemain bisbol. Tanpa membuka mataku, dan tanpa melihat apa pun di balik celana kerbau berumbainya, aku meraih salah satu rantai dan menariknya ke belakang. Sebelum dia bisa menyadari apa yang aku lakukan, aku telah berdiri berlumuran lumpur sambil menggenggam salah satu rantainya.

“Hei, Jelek!” seruku. “Kau suka koboi?”

Aku menarik rantai di genggamanku sekuat tenaga. Si troll langsung menjatuhkan gundukan batunya, melolong kesakitan dan meronta-ronta. Entah bagaimana, tarikanku berhasil membuatnya tertarik ke belakang, mencekik lehernya yang besar dan berkalung logam. Beberapa burung-burung berterbangan menjauh di cakrawala. Aku tidak tahu bagaimana caranya aku bisa menarik makhluk seberat entah berapa ton ini, tapi aku tidak punya waktu memikirkannya.

“Maaf, Sob,” kataku. Entah bagaimana aku masih bisa bicara di situasi ini. “Aku harus menyeretmu menghadapi sherrif.”

Aku menarik rantai hingga pembuluh darahku menonjol, menghantamkan kepala kelabu si Troll-Esmerides ke segala benda. Kepalanya telah menghantam ratusan batang pohon pinus, hingga akhirnya kepalanya tersangkut ranting-ranting salah satu pohon yang besar. Kayu-kayu runcing menancap pada bagian belakang kepalanya. Aku menyipitkan mata. Tak adanya darah yang keluar dari tubuhnya justru membuat pemandangan ini kian menjijikan. Tepat ketika dua sosok kurus Esmerides bertudung melesat untuk menikam perutku, aku menggenggam rantai dan memanjatnya seperti melakukan panjat tebing.

Ketika aku memanjat hingga punggungnya, Troll-Esmerides itu meronta. Ia berhasil terbebas dari jeratan ranting dan terhuyung-huyung. Aku mencengkeram rantai kuat-kuat supaya tidak terhempas. Aku berusaha terus memanjat. Kepalan tanganku kini terasa kaku, tapi tenagaku anehnya tidak berubah. Mungkin aku dapat kekuatan super dalam sekejap.

Namun entah dia mendapat tambahan kecerdasan karena ranting-ranting itu atau apa, si Troll-Esmerides mulai menghimpitkan punggungnya pada batang pohon dan menjepitku. Aku mengerang. Rasanya seolah-olah seluruh isi perutku akan buyar dalam sedetik. Aku bisa merasakan darah hangat mengalir di pergelangan kaki kiriku, barangkali ranting yang tajam telah menusukku. Aku menahan rasa sakitku, berusaha mencabut pergelangan kakiku. Mungkin ini tindakan bodoh, karena aku sama sekali tidak punya barang medis apa pun untuk mencabut salah satu bagian tubuhku tanpa masalah, tapi kakiku sangat dibutuhkan dalam panjat-memanjat.

Setelah kakiku terbebas, si troll mulai terhuyung-huyung lagi. Barangkali karena rasa pusingnya belum usai sehabis kepalanya dihantam beruntun di segala benda. Tapi ini kesempatan bagus buatku. Dengan dia terhuyung-huyung, ada ruang untukku agar bisa memanjat.

Saat aku mencapai bagian belakang lehernya, aku berayun dan meletakkan kedua kakiku di bahu si Troll-Esmerides, menggunakannya sebagai papan loncatan. Pergelangan kaki kiriku rasanya sangat menyakitkan, tapi aku berusaha menahannya. Aku meloncat ke atas, terjatuh di atas kepala botak kelabunya. Rasanya pergelangan kakiku habis disetrum. Aku berusaha menjaga keseimbanganku, berlutut di atas kepala makhluk itu. Dengan cepat aku mengeluarkan pisauku. Bilahnya berkilat seolah menyambutku. Aku menggenggamnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara. Semoga berhasil, batinku.

Mendadak, kepalaku terasa berkunang-kunang. Segalanya mengabur seperti asap warna-warni yang tak berhenti bergerak. Aku merasakan pisau di tanganku memberat, seolah ada yang menaruh beberapa tumpuk batu di atasnya. Dan tepat ketika tanganku terjatuh ke bawah, segalanya berubah menjadi kilatan cahaya.

Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Hal terakhir yang kuingat adalah terbaring di sesuatu yang empuk dan bisa berjalan. Dinginnya bilah pisau menyentuh telapak tanganku. Aku bisa mendengar suara Vooir di kejauhan, “Dia jelek waktu tidur, ya?”

KAMI NYARIS MENABRAK pohon besar di depan, tetapi dengan cepat ayahku menginjak kakiku ke pedal rem, yang cukup menyakitkan.

Van berhenti, hanya beberapa senti dari pohon itu. Kap depan mobil mengepul penuh asap. Ayahku membuka pintu mobil dan keluar, memeriksa kap sambil terbatuk-batuk.

Aku menoleh ke belakang untuk memeriksa ibuku. Dia masih tebaring lemah dengan keringat dingin membanjiri wajahnya. Aku khawatir bagaimana keadaannya—maksudku, van kami menabrak begitu banyak hal yang bahkan tak berani kupikirkan. Namun segalanya tampak baik-baik saja. Posisi tidurnya nyaris tidak berubah, wajahnya tidak sepucat biasanya, dan rambut pirangnya masih berada di tempat yang sama. Aku tidak tahu bagaimana dia masih berada di posisi itu setelah kecepatan gila tadi, tapi aku tidak terlalu memikirkannya. Toh, ini berita bagus.

Aku keluar dari van, menggigil karena udara dingin, sambil menggerakan tanganku untuk melenyapkan asap yang menyebar dari kap mobil.

Kami berada di tengah hutan pohon pinus yang kelam. Cahaya bulan dan bintang menerangi rerumputan dan lumpur di bawah kakiku. Pohon-pohon pinus yang runcing tampak seperti topi penyihir. Pohon yang nyaris kutabrak menjulang tepat di depanku, nyaris tampak melengkung.

Jauh di depan, terdapat perbukitan dan ladang-ladang. Rumah-rumah kecil menerangi langit malam, jendela-jendela jingga mereka menyerupai lentera. Aku bisa mendengar satu atau dua domba mengembik. Pemandangan itu lebih mirip miniatur dari sini, tapi melihatnya saja membuatku merasa damai.

“Ada hasil? Apa masih bisa diperbaiki?” tanyaku dengan mata menyipit.

Ayah mengerutkan alis—nyaris tak terlihat dari kepulan asap. “Bisa, tapi tidak di sini. Mesinnya telah mencapai batas. Jika dipaksa bergerak, mobil akan meledak.”

Aku sudah menduganya. Namun aku tetap merasa kecewa karena secuil harapanku sudah dienyahkan begitu saja. Aku hanya bisa memikirkan Ned dan ide-ide cerdiknya, seandainya dia di sini, kurasa dia bisa memperbaiki mobil kami dalam sekejap.

Aku khawatir dengan Ned. Apakah dia baik-baik saja di sana? Ayah bilang dia sendirian dan hanya membawa sebuah pistol listrik. Ayahku mungkin telah meminjamkannya beberapa barang untuk bertahan hidup, tapi aku masih tidak bisa membayangkan seorang bocah dua belas tahun menghadapi ratusan pemrotes bersenjata.

Ayah berjalan menghampiriku. Ia mengembuskan napas panjang, menggenggam kedua bahuku. Firasatku mengatakan bahwa saat ini adalah saat yang penting, dan itu membuatku gugup.

“Leon, dengarkan baik-baik,” ayahku memulai. “Ayah harus pergi. Bantuan tidak akan datang begitu saja. Ayah janji tidak akan lama. Setelah itu, kita akan cari tempat yang pantas untuk berlindung. Jaga baik-baik ibumu.”

Aku memandang ke atas, menatap perbukitan. Ladang-ladang berdesir, jendela-jendela rumah bersinar seperti lentera, dan embikan para domba bergaung di kejauhan. Dengan pemandangan ini, segalanya seolah tampak baik-baik saja. Tidak ada kekacauan. Tidak ada api yang membakar New York dari bawah ke atas. Kukira kami bisa terus di sini, entah berapa lama, bersama-sama.

“Ayah akan pergi?” Aku menunduk, berusaha menutupi genangan air di mataku. “Lagi?”

Ayah mengembuskan napas, lalu mengangguk. “Ya. Tak ada cara lain yang bisa Ayah lakukan,” katanya tegas. “Jangan khawatir. Ayah yakin penduduk desa di sana cukup ramah. Kuharap mereka punya beberapa kunci inggris dan bensin. Dan—oh, tunggu sebentar ....”

Dia merogoh saku jaket kulitnya, mengeluarkan sesuatu yang berkilau. Ia menyodorkannya kepadaku. Di telapak tangannya, tergeletak sebuah lempengan logam yang berkilat. Awalnya kukira itu pisau bedah karena gelapnya malam. Lalu kusadari bahwa itu adalah benda yang jauh lebih berbahaya. Sebuah pisau lipat, dengan bilah runcing mencekam, berkilat-kilat di bawah cahaya bulan.

“Jaga ibumu. Benda ini dapat melindungi kalian,” ayahku berkata dengan suara serak.

“I-ini ....” gagapku, mengambil pisau itu. “Ayah yakin aku bisa menggunakan benda ... ini?”

“Ayah yakin kau bisa,” kata ayahku. “Situasi sekarang tak terkendali. Bahkan anak dua belas tahun sepertimu pun perlu persenjataan jika ingin bertahan hidup. Ayah tahu ini tidak akan cukup, jadi ....”

Dia berbalik, mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Mungkin cuma imajinasiku, tapi dia kelihatan gemetar saat menyodorkannya padaku. Di genggamannya, sebuah pistol berkilat. Aku terbelalak.

“Ini—”

“Jika tak ada pilihan lain,” sela ayahku, nyaris kedengaran getir. “Pakai baik-baik—dengan bijak.”

Dia kedengaran seolah melarangku menggunakannya. Kupikir itu yang terbaik. Aku tak perlu membunuh seseorang untuk mempertahankan diriku. Aku mengambil benda itu, nyaris menjatuhkannya ke tanah—tak sesuai dugaanku, benda ini cukup berat. Di film-film, para aktor dengan mudahnya mencabut pistol dari saku mereka. Satu lagi kesalahan Hollywood, batinku.

Di tangan kiriku, aku menggenggam pisau, dan di kanan, aku menggenggam pistol. Kugenggam kedua benda itu erat-erat. Aku bisa merasakan air mata mulai menggenang lagi di pelupuk mataku. Sebentar lagi, Ayah akan pergi.

Ayah memegang bahuku dan tersenyum. Dengan senyuman itu, Ayah seolah kembali ke masa mudanya. Dan saat itu juga, kusadari dia jarang tersenyum semenjak Ibu sakit. Barangkali ini senyum pertamanya setelah dua tahun.

Dia berbalik, melepaskan genggamannya. Aku terus memandangi punggungnya sementara ia menjauh—memasuki lautan pohon pinus, dan terus mengecil. Hingga akhirnya, sosoknya benar-benar hilang di kegelapan. Aku menyesal tidak sempat mengucapkan selamat tinggal.

Aku merosot, bersandar pada van. Kuletakkan pistol itu di tanah, dan kugenggam pisau erat-erat. Bilahnya tajam dan runcing, berkilat dengan cahaya bulan. Aku menatap pisau itu, meyakinkan diriku.

Ayahku memberikan tanggung jawab ini padaku, batinku. Jika aku belum bisa memenuhi tanggung jawab takdirku, setidaknya, aku bisa memenuhi tanggung jawab yang diberikan ayahku. Bahkan jika aku berhadapan dengan Esmerides, segalanya akan baik-baik saja. Kepercayaan Ayah akan terus bersamaku di benda ini.

Aku tahu melakukan hal ini tidak ada artinya. Tapi di situasi ini, segala hal terasa jauh lebih berarti. Mungkin ini pertama kalinya aku benar-benar khawatir akan ibuku. Aku akan melindunginya dengan pisauku.

Jangkrik-jangkrik berderik lebih keras dari biasanya. Burung-burung berterbangan di cakrawala. Tubuhku menggigil. Hutan ini tampaknya turun suhu beberapa derajat. Satu atau dua domba mengembik. Angin berdesir, membawa beberapa helai rerumputan dan dedaunan yang kering.

Tiba-tiba perutku melilit. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang salah di sini. Tapi aku tidak tahu apa itu, atau mengapa aku merasa begini. Barangkali perutku berulah lagi semenjak balap-balapan gila tadi, atau sandwich yang kumakan tadi siang ternyata kadaluarsa—atau keduanya.

Rupanya bukan sandwich.

Semilir angin itu—membawa rerumputan dan daun-daun—memilin dan berputar di sepenjuru hutan dengan tidak biasa. Tidak setiap harinya kau bisa melihat angin meliuk-liuk seperti ular kobra di hadapanmu. Dan tentu saja, walau aku nyaris jadi santapan monster-monster sehari yang lalu, aku juga tidak pernah melihat yang begini.

Angin itu terus berputar, lalu aku melihat sesuatu yang berkilat. Debu-debu merah mulai mengikuti langkah angin itu, membentuk topan kecil berwarna kemerahan dan menarik lebih banyak rerumputan. Jantungku berdetak-detak keras seperti genderang perang. Aku tahu apa ini—Esmerides. Esmerides ada di hadapanku. Tanpa sadar, aku telah mengacungkan pisauku.

Dalam beberapa detik, angin itu membuyar. Debu-debu merah bertebaran. Aku menyipitkan mata. Di baliknya, terdapat sesosok ... manusia? Aku tidak tahu bagaimana menyebutnya. Secara fisik, dia mirip manusia, tetapi tak ada manusia yang sebesar dan setinggi itu. Tingginya sekitar sepuluh meter, dengan kulit kelabu menjijikan dan tubuh raksasa. Aku teringat sesuatu dari film-film yang ditunjukkan Ned. Sesosok makhluk yang mirip. Apa namanya, troll? Tepat. Troll. Dia mirip troll dengan sedikit modifikas.

Dibandingkan troll di film Ned, Troll-Esmerides ini punya taring yang menjulang hingga dagunya, dan dia punya kuku-kuku hitam panjang setajam silet. Kepalanya tanpa rambut, dan dia mengenakan sesuatu yang mirip kulit kerbau dari pinggang ke lutut. Selapis baja melekat di dadanya. Dan yang paling menarik perhatianku; rantai-rantai menjulur dari logam yang melingkari lehernya, nyaris menyentuh tanah. Jika dia seukuran anjing cihuahua dan sama sekali tidak mirip manusia, aku bakal mengira dia hewan peliharaan yang kabur dari majikannya.

Tapi aku tidak punya waktu untuk mencerna itu semua, atau memikirkan tentang betapa konyolnya celana kerbau berjumbai-jumbai itu.

Aku berjengit, menabrak van, nyaris terjerembap di tanah. Tanganku yang menggenggam pisau gemetaran. Esmerides ada di hadapanku, batinku. Ini bukan pertama kalinya aku berhadapan dengan mereka, tetapi ukuran dan aura dari Esmerides ini terasa berbeda. Rasanya seakan aku menghadapi bos final video game di dunia nyata. Lubang hidung Troll-Esmerides itu mengembuskan asap, menatapku dengan matanya yang kemerahan. Mungkin cuma imajinasiku, tapi rasanya aku bisa melihat kobaran api di mata itu. Embikan domba terdengar di kejauhan.

Beberapa detik kemudian, si Troll-Esmerides meraung ke cakrawala. Aku menjatuhkan pisauku, menutup kedua telingaku kuat-kuat. Jika tidak kulakukan ini lebih awal, mungkin gendang telingaku bakal meledak. Burung-burung berterbangan dari pepohonan. Lalu dua desir angin meliuk-liuk menuju kakinya yang berkuku busuk dan besar. Debu merah yang mengikuti angin itu membuyar, menampakkan dua sosok kurus bertudung.

Aku terkesiap. Mereka Esmerides yang sama dari serangan kemarin. Entah mereka bangkit dari kubur atau tidak benar-benar mati, aku tidak begitu memikirkannya. Bunga-bunga api memercik dari topeng jeruji mereka, dan mereka mulai mengeluarkan dua pedang pendek hitam yang sama. Aku menyadari mereka semua memiliki rantai di salah satu bagian tubuh mereka. Mungkin mereka satu tim atau apalah. Aku mengambil pisauku dari tanah, mengacungkannya kembali. Aku ragu apakah sebilah kecil besi dapat menembus daging-daging tebal si Troll-Esmerides, tapi ini bukanlah waktu yang tepat untuk memikirkan itu.

Si Troll-Esmerides meraung lagi, kali ini mencabut sebuah pohon pinus dari akarnya. Dia melemparkan pohon itu ke arah mobil van, tapi meleset dan menabrak bebatuan di samping. Sirine otomatis van bergaung. Kedua sosok kurus kering itu mendesis-desis, seolah terkikik-kikik. Aku berbalik, kini mencengkeram pisauku lebih erat ke langit. Mereka seolah berkata kepadaku; Hei, Bocah. Lihat nih, kami bisa menghancurkan mobilmu hingga berkeping-keping. Kau bisa apa melawan kami?

Walau kesal, aku tidak bisa mengendalikan tubuhku. Kakiku gemetaran hebat, dan embikan domba-domba seolah-olah menggema di alam bawah sadarku. Aku bisa merasakan ketakutan menjalari benakku, perlahan-lahan menguasai tubuhku. Tapi aku tetap berusaha mempertahankan kakiku di tanah. Aku mengacungkan pisau itu sekuat tenaga, dan perlahan-lahan mendekati Esmerides-Esmerides itu. Aku mengingat tentang Ayah, tentang Ned, tentang takdirku, dan tentang Ibu ....

Tiba-tiba, tangan dingin menyentuh bahuku. Aku menoleh. Vooir berada di sampingku, mencengkeram bahuku sekuat tenaga. Keringat membanjiri wajah pucatnya, seolah-olah dia habis lari maraton dua benua. Dia mengenakan jaket hitam bertudungnya, kali ini tampak dipakai tergesa-gesa. Mata birunya berkilat. Aku sudah mengetahui apa niatnya sebelum dia bicara.

“Leon Redwine,” katanya, menatapku lurus-lurus di mata. Suaranya bergetar. “Hentikan apa pun yang ingin kau lakukan. Serahkan ini padaku. Jika tidak, kau hanya akan—”

“Nggak!” kataku, bersikukuh. Ini sudah takdirku, seharusnya Vooir tahu itu. Dengan kesempatan inilah aku bisa memenuhi tanggung jawabku. Takdirku dan ayahku. “Aku salah satu yang terpilih, bukan? Aku salah satu orang yang bisa menyelamatkan orang-orang. Menghadapi mereka seharusnya sudah takdirku! Kau tahu itu.”

Vooir mengembuskan napas. “Mereka Esmerides,” katanya. “Mungkin kau tidak menyadarinya, tapi mereka jauh lebih kuat daripada yang kauduga. Kau masih butuh banyak latihan, Redwine. Menghadapi mereka sendirian adalah ide yang buruk.”

“Tapi kau bisa,” aku berkeras. “Kau bisa menghadapi mereka waktu itu. Kau menyelamatkanku. Jika kau bisa, seharusnya aku juga.”

Vooir menunduk, menatap ke tanah. Ia melepaskan cengkeramannya. “Mungkin ada baiknya,” dia menarik napas, “mungkin ada baiknya jika aku melihat kemampuanmu secara langsung.”

Aku mengangguk. “Terima kasih, Vooir. Aku nggak akan mengecewakanmu,” kataku, meski aku ragu akan hal itu.

Sejujurnya, aku tidak tahu harus melakukan apa, tapi aku tetap berjalan menjauhi sosoknya. Langkah demi langkah, aku mendekati si Troll-Esmerides dan komplotannya.

Troll-Esmerides itu mencabut satu lagi pohon pinus, melemparnya kembali ke arah van. Namun berbeda dari sebelumnya, kini pohon pinus itu menyentuh atap van, melenyapkan bendera Amerika setengah hangus di atasnya. Nyaris membuat van terbalik ke belakang.

Sebelum aku bisa berbuat apa-apa, cahaya jingga memancar di jendela-jendela mobil. Jantungku nyaris berhenti berdegup. Ibuku. Ia melolong-lolong memanggil nama ayahku, bayangan sosoknya di kejauhan terlihat seperti meraba-raba isi van. Mencari sesuatu—seseorang. Ayahku.

Amarah membakar darahku. Pembuluh darah di seluruh tubuhku berdenyut-denyut. Aku tak mungkin membiarkannya. Monster-monster ini telah menginjak-injak keluargaku, mempermainkan mereka seperti boneka di kubangan lumpur. Gejolak energi menguasaiku, amarah megendalikanku.

Tepat ketika aku nyaris melakukan tindakan emosional yang tolol, ketiga Esmerides itu melaju ke arahku. Si Troll-Esmerides tengah mengangkat gundukan batu raksasa, dan tepat saat itu, aku melihat rantai-rantai bergemerincing si troll. Aku menyimpan pisauku di saku. Darah mendesir di kepalaku. Itu dia, batinku. Kesempatanku.

Aku melesat ke bawah si troll, menghindari tikaman kedua Esmerides bertudung, menjatuhkan diri ke tanah dan meluncur di lumpur ala pemain bisbol. Tanpa membuka mataku, dan tanpa melihat apa pun di balik celana kerbau berumbainya, aku meraih salah satu rantai dan menariknya ke belakang. Sebelum dia bisa menyadari apa yang aku lakukan, aku telah berdiri berlumuran lumpur sambil menggenggam salah satu rantainya.

“Hei, Jelek!” seruku. “Kau suka koboi?”

Aku menarik rantai di genggamanku sekuat tenaga. Si troll langsung menjatuhkan gundukan batunya, melolong kesakitan dan meronta-ronta. Entah bagaimana, tarikanku berhasil membuatnya tertarik ke belakang, mencekik lehernya yang besar dan berkalung logam. Beberapa burung-burung berterbangan menjauh di cakrawala. Aku tidak tahu bagaimana caranya aku bisa menarik makhluk seberat entah berapa ton ini, tapi aku tidak punya waktu memikirkannya.

“Maaf, Sob,” kataku. Entah bagaimana aku masih bisa bicara di situasi ini. “Aku harus menyeretmu menghadapi sherrif.”

Aku menarik rantai hingga pembuluh darahku menonjol, menghantamkan kepala kelabu si Troll-Esmerides ke segala benda. Kepalanya telah menghantam ratusan batang pohon pinus, hingga akhirnya kepalanya tersangkut ranting-ranting salah satu pohon yang besar. Kayu-kayu runcing menancap pada bagian belakang kepalanya. Aku menyipitkan mata. Tak adanya darah yang keluar dari tubuhnya justru membuat pemandangan ini kian menjijikan. Tepat ketika dua sosok kurus Esmerides bertudung melesat untuk menikam perutku, aku menggenggam rantai dan memanjatnya seperti melakukan panjat tebing.

Ketika aku memanjat hingga punggungnya, Troll-Esmerides itu meronta. Ia berhasil terbebas dari jeratan ranting dan terhuyung-huyung. Aku mencengkeram rantai kuat-kuat supaya tidak terhempas. Aku berusaha terus memanjat. Kepalan tanganku kini terasa kaku, tapi tenagaku anehnya tidak berubah. Mungkin aku dapat kekuatan super dalam sekejap.

Namun entah dia mendapat tambahan kecerdasan karena ranting-ranting itu atau apa, si Troll-Esmerides mulai menghimpitkan punggungnya pada batang pohon dan menjepitku. Aku mengerang. Rasanya seolah-olah seluruh isi perutku akan buyar dalam sedetik. Aku bisa merasakan darah hangat mengalir di pergelangan kaki kiriku, barangkali ranting yang tajam telah menusukku. Aku menahan rasa sakitku, berusaha mencabut pergelangan kakiku. Mungkin ini tindakan bodoh, karena aku sama sekali tidak punya barang medis apa pun untuk mencabut salah satu bagian tubuhku tanpa masalah, tapi kakiku sangat dibutuhkan dalam panjat-memanjat.

Setelah kakiku terbebas, si troll mulai terhuyung-huyung lagi. Barangkali karena rasa pusingnya belum usai sehabis kepalanya dihantam beruntun di segala benda. Tapi ini kesempatan bagus buatku. Dengan dia terhuyung-huyung, ada ruang untukku agar bisa memanjat.

Saat aku mencapai bagian belakang lehernya, aku berayun dan meletakkan kedua kakiku di bahu si Troll-Esmerides, menggunakannya sebagai papan loncatan. Pergelangan kaki kiriku rasanya sangat menyakitkan, tapi aku berusaha menahannya. Aku meloncat ke atas, terjatuh di atas kepala botak kelabunya. Rasanya pergelangan kakiku habis disetrum. Aku berusaha menjaga keseimbanganku, berlutut di atas kepala makhluk itu. Dengan cepat aku mengeluarkan pisauku. Bilahnya berkilat seolah menyambutku. Aku menggenggamnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara. Semoga berhasil, batinku.

Mendadak, kepalaku terasa berkunang-kunang. Segalanya mengabur seperti asap warna-warni yang tak berhenti bergerak. Aku merasakan pisau di tanganku memberat, seolah ada yang menaruh beberapa tumpuk batu di atasnya. Dan tepat ketika tanganku terjatuh ke bawah, segalanya berubah menjadi kilatan cahaya.

Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Hal terakhir yang kuingat adalah terbaring di sesuatu yang empuk dan bisa berjalan. Dinginnya bilah pisau menyentuh telapak tanganku. Aku bisa mendengar suara Vooir di kejauhan, “Dia jelek waktu tidur, ya?”

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height