Heartache/C6 SAH
+ Add to Library
Heartache/C6 SAH
+ Add to Library

C6 SAH

“Ma, nikah itu bukannya akan dilakukan kalau sudah daftar di KUA, ya?”

Renjana sangat ingat pertanyaan itu pada mamanya. Namun semua sudah lewat begitu saja

Akad yang baru saja selesai diucapkan oleh Hanif dan terdengar para saksi berkata sah. Memang sederhana dan tidak memakan banyak waktu. Tapi banyak sekali yang terkejut mengenai pernikahan Renjana yang serba mendadak.

orang-orang di sekitar rumahnya juga seolah tidak percaya dan malah berpikiran bahwa Renjana kecelakaan, yang dalam arti ‘hamil di luar nikah’ sayangnya tidak sama sekali. Renjana menikah karena memang diminta oleh orangtuanya.

Saat ia bersalaman dengan suaminya, ada rasa yang bercampur aduk di dalam dirinya. Renjana yang sangat bahagia dan juga sangat sedih ketika dia berharap bahwa pernikahan ini bersama dengan Yoga. Ah lupakan, pria itu tidak punya komitmen sama sekali. Renjana berusaha untuk melupakan sosok pria itu di dalam hidupnya.

Doa yang sangat lancar sekali diucapkan oleh Hanif. Yaitu doa setelah akad. Apa ini adalah memang pilihannya dan untuk selamanya? Renjana berharap bahwa Hanif bisa memegang teguh tentang janji pernikahan itu seumur hidup.

Kalau ditanya kenapa pernikahan ini sangat cepat? Maka jawabannya akan tepat sekali berkaitan tentang papanya Hanif yang memang bekerja di KUA dan ia yang membantu mengurusnya.

Banyak sekali kerumunan di sana yang bahkan ada banyak sekali bisikan mengenai Renjana yang memang hamil di luar nikah. Tapi itu sudah biasa bagi orangtuanya karena tanggapan itu sudah pasti akan mereka pikirkan begitu melihat Renjana menikah dengan orang lain. Dan banyak yang menyayangkan Renjana menikah dengan pria lain, sedangkan bagi mereka, Yoga adalah pria yang cukup punya masa depan.

Seolah tetangganya sudah hafal bahwa Renjana pacaran dengan Yoga. Karena pria itu cukup akrab dengan warga sekitar, tidak jarang juga Yoga ikut kerja bakti kalau sedang pembersihan jalan.

Acara telah usai, orangtuanya Hanif juga sudah berpamitan sejak tadi. Sekarang hanya ada Hanif yang masih ada di sini. Katanya tidak apa-apa menginap beberapa malam di rumah ini sebelum membawa Renjana ke rumahnya.

Hanif sudah berjanji tidak akan tinggal bersama dengan orangtua, karena ia memiliki rumah pribadi. Dia memang jarang pulang ke rumah orangtuanya karena sibuk di rumahnya sendiri. Di sana ada asisten yang membantu meringankan pekerjaannya. Dan juga memasak setiap hari untuknya.

Dia baru saja mandi sore. Sementara itu, di luar ada suami dan juga keluarganya tengah berkumpul bersama. Renjana merasa ini masih seperti mimpi. Menikah, dan itu adalah orang asing baginya.

Terdengar pembicaraan mereka dari kamarnya Renjana, karena jaraknya yang memang tidak terlalu jauh dari kamarnya. Usai berpakaian rapi, ia keluar dari kamar dan melihat Hanif sedang memangku Tama. Hanif suka anak kecil? Sangat luar biasa bukan?

“Ya sudah Hanif, kamu mandi dulu! Renjana sudah selesai.”

Sedangkan pria itu menyerahkan Hanif dengan sopan pada Lisa—kakak iparnya Renjana.

Renjana bergabung bersama dengan orangtua dan juga saudaranya di ruang keluarga. “Ma.”

“Kenapa, Jana?”

“Aku kayak nggak ikhlas gitu ninggalin rumah.” Pelan ia mendaratkan bokongnya untuk duduk di sofa. Perasaan itu timbul karena dia harus mengenal Hanif sendirian, mengenal suaminya dengan baik.

Tapi mamanya malah tersenyum kepadanya. “Namanya juga pengantin baru, Jana. Tapi ingat, ya! Jangan pernah bahas masa lalu. Hanif nggak pernah pacaran lagi setelah dia putus dengan pacarnya dulu. Kamu jangan respon, Yoga. Sebesar apa pun perasaan kamu untuk dia, jangan pernah kamu ingat dia lagi. Hargai perasaan, Hanif.”

Kalau soal itu Renjana sudah tahu. Bahwa sebelum dia menikah juga pernah diingatkan oleh Hanif mengenai pernikahan ini hanya satu kali dalam seumur hidupnya. Renjana juga berharap hal yang sama. Tidak ada yang menginginkan perceraian, tidak ada yang mengharapkan patah hati dan punya keluarga yang berantakan itu jelas tidak ada yang mau.

“Hanif bilang kalian punya waktu untuk pacaran dulu. Nggak usah buru-buru dalam hal apa pun. Apalagi kamu jangan mikirin yang aneh-aneh, kamu sudah dewasa dan sudah pasti paham maksud, Mama.”

Renjana tahu bahwa ini mengarah pada ‘malam pertama’ kata Fika itu perlu dibawa santai. Jangan terlalu banyak bergerak dan juga biarkan laki-laki yang menuntun. Jelas jika membayangkan itu sudah pasti Renjana antara ngeri dan juga malu.

Janji Hanif padanya juga masih dia pegang, Hanif tidak akan menyentuhnya jika ia belum siap. Dan sekarang dia ingin melihat bukti bahwa memang suaminya tidak akan ada pemaksaan.

“Mama tau kamu lagi gugup banget, ‘kan?”

Renjana tersenyum yang benar saja kalau dia bukan hanya gugup. Ia akan sekamar, tapi lebih dari itu menjalani pernikahan dengan Hanif yang nantinya akan dia kenal sendiri seiring berjalannya waktu.

Renjana juga belum kenal secara langsung bagaimana keluarga dari suaminya. Apakah termasuk orang yang galak atau orang yang justru banyak ikut campur seperti keluarganya Yoga dulu.

Itu menjadi alasan utama Yoga selalu saja menunda pernikahan. Karena banyaknya ikut campur dari keluarganya. Sampai semua harus dimiliki terlebih dahulu sebelum menikah.

Masa depan sekarang ada pada Hanif. Ada baiknya jika Renjana memang harus fokus pada suaminya. “Jana. Mungkin besok kalian sudah pindah dari sini. Mama udah siapin sebagian barang kamu.”

“Ma kenapa nggak seminggu aja, sih?”

“Hanif yang nggak mau.”

Seketika ia cemberut mendengar kalau suaminya tidak mau lama-lama di sini. “Hanif juga kerja, Renjana.”

“Aku tahu itu, Ma. Tapi apa nggak bisa diurus sebentar saja? Aku rasa dia yang terlalu sok sibuk.”

“Jaga bicara, Jana! Nggak baik. Kalian baru nikah, ingat jaga sikap kamu juga nanti di sana. Hanif punya adik perempuan, kamu harus baik sama mereka. Bisa-bisa nanti kamu kena julid mereka.” Peringat mamanya

Ya sekarang Renjana harus bisa menjaga mulutnya untuk jauh lebih sopan karena akan berhadapan dengan keluarga besar suaminya nanti.

Ceklek

Dia langsung terdiam mendengar pintu kamarnya dibuka. “Jana, bisa bantu sesuatu?” tanya Hanif yang berdiri di depan pintu kamarnya.

Mamanya memberikan kode untuk menghampiri suaminya.

Segera ia beranjak dari ruang keluarga dan menghampiri suaminya. Ia masuk bersama dengan Hanif ke kamar. “Ada apa?”

“Nggak ada, cuman manggil aja.”

Hah? Hanif melakukan hal yang menjengkelkan hari ini. “Kenapa?”

“Emang nggak ada. Aku nggak mau duduk satu ruangan sama keluarga kamu yang ada kamu di sana.”

Renjana menatap suaminya dengan tatapan curiganya. “Kenapa?”

“Aku sudah pernah bahas kalau orangtua kamu pasti bakalan bahas anak. Dan aku nggak mau singgung kamu soal itu, paham!”

“Kok gitu sih? Siapa yang bikin gara-gara?”

“Papa kamu. Makanya aku langsung minta izin bawa kamu pulang besok. Aku nggak enak kalau ditanya soal itu. Lebih tepatnya mengarah ke kamu, aku nggak masalah sebenarnya di sini lama-lama. Tapi aku sayang kalau itu kamu yang ditanya. Gimana kalau seandainya kita lama di sini terus mereka tanya soal malam pertama? Kamu pikir aku juga udah siap?”

Pipi Renjana merah seketika dan juga Hanif mengguncang bahunya. “Napas Renjana! Renjana hey!”

Fokusnya lenyap ketika Hanif membahas tentang malam pertama. “Aku ngerti sama perasaan Mama. Karena mama kamu sering ditanya soal kapan kamu nikah, dan sekarang mama pengin kamu cepat-cepat punya anak. Dan aku nggak mau kalau kamu ditanya soal kapan hamil. Aku belum siap lakuin.”

Renjana menatap suaminya yang masih memegang kedua bahunya setelah diguncang tadi. Tiba-tiba suaminya menghadap ke arah lain dan menutup mulutnya dengan punggung tangannya. “Kita masih sama-sama orang asing, Renjana. Nggak mungkin langsung malam ini, kan?”

Ia juga pasti setuju dengan ucapan suaminya. Dia juga belum siap untuk hal satu itu.

Renjana butuh waktu mengenal Hanif. “Aku sudah pernah bilang, nikah bukan soal itu aja. Dan aku butuh waktu kenal kamu juga. Soal keturunan kita bisa sepakati bersama. Tapi untuk ini, aku rasa kita sedikit menghindar dulu. Bukan soal orangtua kamu aja yang bakalan nanya soal anak. Orangtua aku juga.”

Renjana sedang menyiapkan kata-kata yang pantas untuk ditanyakan pada suaminya. “Apa Mama kamu juga seperti Mama aku?”

“Cerewet?”

Renjana mengangguk.

“Mama aku memang cerewet, dalam arti Mama nggak bakalan izinin kamu lakuin pekerjaan rumah. Pokoknya Mama itu kayak membatasi kegiatan kamu, dan aku nggak mau tinggal sama Mama karena alasan itu. Pasti nanti bakalan tanya soal kehamilan juga, Jana. Kita udah sepakat kan harus pacaran dulu?”

Renjana pikir bahwa seorang pria tidak akan melakukan ini. Ia pikir kalau Hanif akan memaksa dia melakukan yang diinginkan oleh suaminya.

“Terima kasih, ya. Kamu udah mau ngertiin perasaan aku.”

“Sekarang aku adalah suami kamu. Kita punya banyak waktu saling mengenal, kita masih bisa kencan setiap kali aku pulang kerja. Kita bisa menikmati malam minggu berdua, kita bisa nonton.”

“Benarkah? Kamu mau melakukan itu?”

“Iya, anggap saja kita memang pacaran dulu. Kita masih bisa rayakan hari ulang tahun berdua, saling memberikan kejutan layaknya orang pacaran.”

Bukan hanya tampan, tapi suaminya juga sepertinya adalah orang yang asyik untuk diajak jalan-jalan. “Kamu suka film apa?”

“Tergantung, tapi aku lebih suka drama Korea.”

“Jadi malam minggu kita nonton bareng di rumah?”

“Itu pun kalau kamu mau.”

“Aku mau, asal kamu yang buat cemilannya.”

Mata Renjana tepat menatap ke arah bola mata suaminya, sangat indah. Dan suara indah suaminya juga dia sukai. Bibirnya yang merah terlihat tidak suka dengan rokok. “Besok kamu ikut aku, ya!”

Memulai hidup baru dengan orang yang baru, mengenal satu sama lain dari awal. Tidak ada salahnya jika memang dia harus belajar memahami suaminya. “Renjana.”

Ia tadinya bengong sekarang tangannya dipegang oleh Hanif. “A-ah iya?”

“Mulai hari ini kita resmi pacaran, kan?”

“Kita sudah resmi suami istri.” Seka Renjana.

Hanif juga sudah pasti tahu soal itu. “Maksud aku sebagai pasangan suami istri yang bakalan memulai perjalanan cintanya dengan pacaran setelah menikah. Kalau kamu nggak suka sesuatu yang aku lakukan, bilang baik-baik! Kita bakalan jalani rumah tangga berdua. Jangan pernah ngadu sama orangtua kalau kita punya masalah.”

Nah untuk kali ini sepertinya Renjana sependapat dengan Hanif. “Aku juga berpikiran seperti itu.”

“Ngajak orang komitmen itu susah, Renjana. Aku ketemu sama kamu juga atas perjodohan. Yang artinya aku bakalan bimbing kamu selamanya. Semoga kamu bukan orang yang keras kepala.”

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height