Hello Wife The Tyran Ceo/C14 Aku tak meminta bantuanmu
+ Add to Library
Hello Wife The Tyran Ceo/C14 Aku tak meminta bantuanmu
+ Add to Library

C14 Aku tak meminta bantuanmu

Typo belum di perbaiki.

Happy reading.

***

Ellina menikmati sarapan paginya dengan tenang. Saat waktu mulai beranjak, ia melangkah ke ruangan tengah. Duduk di sebuah bangku dengan menyilangkan satu kakinya. Tangan mungilnya menarik sebuah koran, membacanya pelan dan meremas ujung koran di lain sisi.

Di dalam koran tersebut, jelas wajah Lexsi tengah tersenyum. Berdampingan dengan Kenzie yang masih terlihat angkuh dan dingin. Hal-hal yang di tulis di dalam koran membuat Ellina meringis. Ketawa di dalam hati dengan kutukan kematian.

"Nikmati waktumu, karena saat aku kembali, semua hal yang menjadi milikku, akan kuambil kembali."

Seorang pelayan datang dan menyajikan sebuah teh. Ellina terlihat tak terganggu dan masih terpaku pada koran di tangannya. Ia tak tahu, bahwa saat ini seluruh pelayan tengah memperhatikannya. Caranya tersenyum, bergerak, bahkan duduk. Semua hal yang ia lakukan terlihat istimewa di mata mereka.

"Bukankah Nona sangat cantik?"

"Tuan Muda benar-benar memiliki mata yang bagus,"

"Apakah dia benar-benar calon Nona kita?"

"Apa maksudmu? Bukankah Tuan terlalu memperhatikannya, itu sudah pasti. Bahwa dia adalah calon Nona masa depan kita."

Gumaman-gumanan para pelayan itu saling melempar kata. Mereka semua jelas sangat tertarik dengan hubungan Tuannya. Di mata mereka, Gadis di depan sana sudah sangat jelas cocok untuk tuan muda mereka. Ekor mata mereka berpindah saat sosok tinggi yang tampan itu melangkah masuk setelah seorang pelayan membuka pintu rumah untuknya. Pandangan lurus yang tenang membuat semua mata memanas karena tersipu. Di belakangnya, pria tampan lainnya yang terlihat serius tampak segar pagi ini. Lalu para pelayan mulai berkumpul dengan keriangan. Mereka semua bersembunyi dan menyiapkan telinga mereka dengan sangat baik.

"Hei," sapa Ernest saat matanya menatap sosok berambut panjang yang tengah duduk membelakanginya.

Ellina menoleh. Matanya bertemu dengan mata Ernest cukup lama. Meneliti setiap lekuk wajah Ernest dengan pikiran yang dalam. Lalu, gumaman pelan lolos dari bibir tipisnya. "Benar-benar sebuah keburukan."

Mata Ernest terbelalak lebar. Kecantikan di depan matanya mengatakan sesuatu yang tak pernah ia dengar selama hidupnya. Wanita di depannya ini benar-benar mengatakan bahwa dirinya adalah sebuah keburukan yang tercipta. Wajahnya yang sumrigah perlahan menekuk. Aura kegembiraan yang tercipta perlahan menghilang. Ernest dengan cepat duduk di bangku yang tak jauh dari Ellina. Menatap wajah Ellina dengan tajam.

Gadis ini! Berani mengatakan aku sebuah keburukan? Dari sisi mana aku terlihat buruk? Aku sangat yakin bahwa aku masuk dalam deretan pria tampan di negeri ini dengan masa depan menjajikan. Tapi dia ....

Zacheo yang mendengar gumaman Ellina mengerutkan alisnya. Ini pertama kalinya ia mendengar bahwa ada orang yang mengatakan bahwa tuan mudanya buruk. Ia menatap wajah tuannya yang tengah duduk. Meneliti pakaian dan semua yang di kenakan tuannya. Ujung pikirannya selalu mencoba mengartikan secara harfiah yang coba Ellina katakan.

Tak ada yang salah. Tuanku hari ini seperti biasanya. Terlihat sempurna. Tapi kenapa Nona mengatakan bahwa ini sebuah keburukan? Apakah dia bercanda? Seberapa tinggi level pandangannya terhadap seorang pria?

Di tempat yang tersembunyi. Para pelayan mulai meremas tangan mereka sendiri. Melihat ekspresi Ellina, tuan mudanya dan Zacheo yang berubah membuat mereka tak nyaman.

"Apakah akan ada perang sebentar lagi? "

"Apa yang salah? Apakah Nona tak tertarik pada Tuan muda kita?"

"Apakah ini cinta sepihak?"

"Tidak, yang lebih buruk adalah ekspresi Tuan muda kita sekarang. Apakah ini sebuah penolakan?"

"Ya Tuhan, kuharap kita masih bisa melihat Nona kecantikan esok hari,"

Ucapan pelan itu cukup mengusik. Namun suasana yang dingin dalam ruangan yang hangat itu tak membuat semua kian membaik. Ellina meletakkan koran di meja secara pelan. Ernest memindahkan pandangannya dan melihat berita di koran itu sesaat. Lalu mereka kembali saling bertatapan.

"Kau tak ingin mengucapkan sesuatu untukku?" tanya Ernest langsung. Pandangannya berpindah pada gaun yang di kenakan Ellina. Itu adalah gaun yang ia pesan dengan model sama dengan yang Ellina kenakan saat itu namun kualitasnya jauh berbeda.

Satu sudut bibir Ellina tertarik keatas sedikit. Membuat wajah putihnya terlihat cantik dengan tatapan tajam yang tenang. "Oh, apa yang harus aku katakan?"

Zacheo membuka mulutnya tak percaya pada kata-kata Ellina yang terlontar. Ia sungguh tak menyangka bahwa Ellina bisa mengatakan itu semua.

"Wah, kau benar-benar," ungkap Ernest dengan senyum tipis. Kini perasaan Zacheo buruk saat melihat senyum itu. "Tidak kah kau harus berterimakasih padaku?"

Ekspresi Ellina tak berubah. Menatap wajah Ernest dengan tajam. "Kenapa aku harus?"

Ernest yang mendengar itu mengalihkan pandangannya ke samping. Menepuk pahanya pelan yang lebih mirip seperti pukulan. Gadis di depannya ini benar-benar berbeda dari yang ia pikirkan selama ini. "Kenapa? Karena aku menyelamatkanmu dan merawatmu selama ini. Bukankah kau sedikit keterlaluan?"

Mata Ellina menyipit. Ia sangat tahu semua hal yang pria di depannya lakukan. Tapi saat ini, ia tak bisa mempercayai siapapun. "Apakah aku memintamu untuk menyelamatkan aku?"

Kini udara di sekitar rasanya kian menurun. Kata-kata tajam yang sama dinginnya terlontar ke udara cukup membuat semua orang yang mendengar menahan napas berat. Berharap menit berikutnya tak ada pertengkaran cinta yang tercipta.

"Oh, kau benar-benar tak tahu terimakasih. Kau bisa saja mati di sana! Atau haruskah aku membuatmu mati di sana!"

Ellina terdiam. Ia sangat tahu kata-kata dingin itu jelas membuat pria di hadapannya menekan emosi yang tersulut hingga tertutupi dengan baik. Tapi ia tak ingin mengalah. Ia tak bisa kalah dari siapapun kali ini. "Aku tak lagi takut mati. Jadi kenapa tak kau biarkan saja aku mati saat itu?"

Wajah Ernest menggelap. Tekanan kata-kata dingin itu merambat ke ulu hatinya. Gadis di depannya ini benar-benar tak takut dengan ancamannya. Namun dari kata-kata yang ia dengar, itu cukup membuatnya tak mengerti. Tak lagi takut mati. Itu terdengar seperti dia pernah mati sebelumnya.

"Jadi kau ingin kematian?" tanya Ernest dengan tersenyum. Membuat wajahnya kian tampan dengan senyum manis yang di tunjukkan. "Itu bukan suatu hal yang sulit. Aku bisa membuatmu mati sekarang."

Zacheo tak lagi tenang. Ia segera menyela dan membuat suasana sedikit lebih nyaman. "Tuan," hanya kata itu yang bisa ia ucapkan. Saat tangan satu tangan Ernest terangkat dan membuatnya bungkam.

Ellina tersenyum kecil. Ia sempat menoleh ke belakang, pada pria yang mencoba melerai semuanya. Namun pria di hadapannya jauh lebih menarik di matanya. "Lalu tunggu apa lagi? Lakukan sekarang!"

Kata-kata itu baru saja terdengar di udara. Namun tangan kokoh Ernest lebih cepat dari yang Ellina pikirkan. Tangan itu menarik tangannya cepat. Membuat tubuh mungilnya berdiri refleks mengikuti tarikan pada tangannya. Tubuh mereka saling berbenturan. Teramat dekat dan terlihat sangat serasi. Namun di mata mereka berdua, ada kedinginan yang membuat orang menatapnya seakan membeku lebih cepat. Itu bukanlah suasana yang bagus meski terlihat indah di pandang.

Mata mereka sekali lagi bertemu. Saling bertatapan dengan sangat lama. Melukiskan hal-hal yang tengah mereka pikirkan dengan sangat jelas. Tubuh mereka tak bergerak. Tetap sangat dekat dengan aroma napas yang saling bertukar. Tak ada satupun kata yang terucap. Dalam suasana yang hangat hal itu membuat Zacheo sangat khawatir. Namun ia tak dapat melakukan apa-apa kecuali berharap bahwa semua dapat terkendalikan dan baik-baik saja.

Sedangkan para pelayan yang bersembunyi, mereka menjerit di dalam hati. Itu adalah pandangan yang langka. Terlihat sangat romantis meski mereka tahu keadaan tak seperti yang di duga. Tapi melihat reaksi tuan mudanya yang begitu mereka dambakan, membuat mereka berpikir lain. Lalu kata-kata 'E.V. Couple' tercetus begitu saja.

Ellina menatap wajah pria di hadapannya. Ia sangat tahu, pria itu jelas lebih berbahaya dari yang ia kira. Namun ia juga sadar, ketampanan pria itu dapat membuat semua gadis di luar sana rela mengantri hanya untuk sekedar makan malam dengannya. Mata coklat yang menghanyutkan dengan tatapan tajam yang tenang. Dia yakin, itu dapat menenangkan suasana hati yang buruk. Lalu hidung yang menjulang tinggi dengan garis bibir tipis yang sempurna. Itu bisa membuat wanita di luar sana menjerit saat sudut bibir itu tersenyum manis.

Pria di hadapannya itu jelas sangat tampan. Terlihat sangat bersahabat namun ia sadar, semua tak semudah yang ia pikirkan. Ia telah hidup dia kali. Dan begitu terbiasa hidup di antara ketampanan yang membuat mata iri. Jadi di depan matanya, pria tampan ini tak berarti apa-apa. Tatapan itu tak dapat membuatnya takut atau bertekuk lutut. Ia tak akan tunduk pada siapapun dalam kehidupan ini. Tak peduli jika ia harus mati di tangan pria ini, ia tetap tak akan kalah dan mengalah lagi.

Ernest menatap wajah cantik di depannya. Tubuh mungil itu terlihat lebih rapuh dari yang ia kira. Ia menunduk karena gadis itu jelas lebih pendek darinya. Tapi ia tak menyangka bahwa akan melihat itu semua. Tatapan berapi-api dengan bulu mata lentik yang membingkai mata yang berkelap-kelip layaknya bintang yang di tengah malam. Kulit putih pucat itu seperti batu giok dengan kecantikan yang alami. Ia sangat yakin, tak ada make up sedikit pun di wajah mungil itu. Namun dua alis yang rapi dengan hidung mungil yang mancung. Lalu bibir tipis dengan rona merah muda yang menggoda. Sungguh, ia sangat yakin, kecantikan di depannya ini bisa menundukkan siapa saja yang melihatnya.

Ia bahkan bisa merasakan kehangatan tubuh gadis di depannya. Dengan aroma napas yang menggoda indera penciumannya. Keharuman yang menyapa hidungnya membuat pikirannya jauh lebih rileks. Itu seperti aroma bunga mawar yang lembut dengan pohon pinus yang membuatnya sangat nyaman. Tapi tatapan tak kenal takut itu mengusik ketenangannya. Hal yang ia sadari, gadis di depannya adalah lawan yang tangguh. Dan akan sangat berbahaya jika ia memiliki semua untuk mendukungnya. Dan entah kenapa, ia merasa, bahwa gadis di depannya ini sangat mirip dengan kepribadiannya.

Zacheo bahkan harus menahan napasnya. Saat melihat tatapan yang sama dinginnya itu menghujam seakan membekukan ruangan. Ia sangat ingin lari dari sana. Menghindar dari situasi yang sangat tidak nyaman. Di depannya, itu memang terlihat seperti sepasang kekasih yang romantis. Tapi siapa yang menyangka, bahwa keduanya tengah bertengkar sengit.

"Oh," ucap Zacheo tertahan. Ia menutup mulutnya lalu segera undur diri saat telepon di sakunya berdering.

Segera menjauh, ia merasa sangat lega dengan udara di sekitarnya. Jika boleh memilih, ia ingin di ruangan ini saja dari pada harus melihat suasana di ruangan tengah. Namun telepon dari kantor itu membuatnya menyeret langkah kembali ke ruangan tengah.

Dengan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia sangat sulit memecahkan suasana dingin saat ini. "Anu, Tuan. Ini dari kantor. Ada masalah mengenai pemberantasan keluarga --"

Ernest mengalihkan pandangannya sesaat. Memutuskan pandangannya dengan Ellina meski tangannya masih mengenggam erat lengan gadis itu. Sama sekali tak terusik dengan warna merah kebiruan akibat genggaman tangannya yang kuat. Tanpa harus mendengar laporan sekretarisnya hingga selesai, ia sangat tahu hal apa yang terjadi. "Kecoak itu lagi? Apa yang dia inginkan? Jika ia tanya mengapa aku menghancurkan keluarganya, jawab saja. Alasanku mengancurkan keluarganya adalah karena aku ingin menghancurkannya! Tak ada alasan lain,"

Selalu ada senyum yang terukir meski kata-kata dingin itu meluncur. Zacheo bahkan merasa merinding mendengar alasan itu.

Bukankah ini sudah sangat keterlaluan? Ia memperlakukan keluarga lain layaknya mainan! Apakah dunia ini miliknya? Kenapa ia selalu tersenyum saat orang lain menderita?

Ellina yang mendengar kata-kata Ernest cukup terkejut. Menghancurkan satu keluarga. Bukankah itu sudah sedikit keterlaluan. Ia merasa matanya memanas. Merasa buruk dan lebih buruk lagi saat Ernest kembali menatapnya.

"Benar-benar sebuah keburukan," tekan Ellina dingin. Entah kenapa wajah Kenzie terbayang kemudian. Kilasan kehidupannya tujuh tahun yang lalu terbayang.

Apakah dunia ini mainan untuk kalian? Kenapa mempermainkan takdir seseorang hanya karena kebosanan! Di tangan seperti kalianlah. Ketampanan benar-benar menjadi sebuah keburukan!

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height