+ Add to Library
+ Add to Library

C3 Scene 3

Si tampan itu, tidak menghiraukan ocehan Cheryl yang mengada-ngada. Teori dari mana, tangan udah nggak perawan hanya salah pegang? Entah dimana pembagian otak anak ini?

"Siapa nama abang? Aku harus tahu alamat rumah, dan nomor handphone." Diam-diam, Cheryl tersenyum. Modus boleh bukan?

Si tampan hanya geleng-geleng, dia memang nggak tahu malu.

"Harusnya yang lapor gitu aku cantik."

Blush!

Dasarnya kurang belaian dan kasih sayang, Cheryl merasa dunianya begitu berwarna sekarang.

Ah, halalin dedek bang!

"Yaudah, biar sama-sama impas, aku Cheryl. Siapa nama abang?" Cheryl mengulurkan tangannya. Padahal, mereka sudah berkenalan tadi.

"Ehem." Mawar berdiri di samping Cheryl. Si tampan itu, tidak menyambut uluran tangan Cheryl. Dan menatap Mawar. Mawar hanya diam, menatap si cowok yang merebut makanannya beberapa kali.

Tanpa sadar, si tampan itu tersenyum simpul pada Mawar, namun Mawar tak bergeming. Ia mundur, mundur teratur. Mawar menyayangi Cheryl lebih dari segalanya. Cheryl bukan sekedar sahabat, tapi keluarga. Bahkan, berkorban apapun akan Mawar lakukan karena Mawar tahu, Cheryl kurang kasih sayang.

"Ish, abang. Nih, cium tangan aku." Cheryl tanpa malu menyodorkan tangannya, pada si tampan. Lelaki tampan itu mengambil tangan Cheryl dan mengecupnya sambil menatap Mawar yang sengaja membuang muka.

"Yes! Calon suami." Cheryl tersenyum begitu lebar. Ia mengklaim bahwa si tampan ini harus menjadi suaminya.

"Impas kan cantik?" Lelaki tampan tersenyum, membuat tubuh Cheryl lembek seketika seperti jelly. Cheryl langsung tak berkutik, irama jantungnya dipompa lebih kuat. Kulitnya nyaris keluar dari dagingnya, ini pengelaman pertama disentuh lelaki. Wajahnya memanas, Cheryl baru tahu, jatuh cinta seindah ini.

"Alamak! Lupa siapa namanya." Pekik Cheryl kuat.

"Mawar, besok kita kesini lagi. Aku harus tahu namanya." Cheryl merangkul pundak sahabatnya. Mawar hanya diam, entah kenapa ia merasa ada sesuatu yang sesak di dadanya. Namun ia tahu, ia sadar. Soal paras, Cheryl lebih cantik dari dirinya. Lagian, siapa yang mau dengan dirinya yang tukang makan. Bisa-bisa bangkrut pasangannya, jika setiap kencan mereka selalu makan.

"Lihat tangan aku." Cheryl menunjuk telapak tangannya yang dicium tadi. Si tampan harus jadi miliknya, walau seluruh dunia menantang, Cheryl akan berusah segala cara untun lelaki itu menjadi miliknya.

"Ah... aku senang bangat Mawar." Cheryl berjingkrak-jingkrak layaknya cacing kepanasan tersiram minyak kayu putih.

"Aku janji, kalau aku jadian, aku akan traktir Mawar." Cheryl mencubit pipi bulat sahabatnya yang berbentuk seperti bakpau.

Mawar menrenggut kesal. Janji ampas! Karena setiap saat, dirinya terus yang belanja. Cheryl layaknya lintah darat yang terus mengerus makanan dan barang-barang miliknya. Tapi, Mawar menyanyangi Cheryl, persabahatan mereka sudah sampai tahap keluarga.

Kedua sahabat itu saling merangkul dan menuju parkiran.

***

Saking mengebu cinta pada sang pujaan hati, ditambah wajah Cheryl yang terus saja terasa panas. Berkali-kali Cheryl menepuk pipinya, tetap saja rasa panas itu tak kunjung pergi.

Cheryl akhirnya menulis diary. Diary berwarna pink itu, sering kali ia tulis kala hatinya sedang resah, diary yang Cheryl namakan Meredith. Hanya Meredith yang tahu lubuk terdalam Cheryl yang merasa kesepian karena tidak ada orang di sekelilingnya.

Hai, Meredith.

Aku datang, dengan berita bahagia kali ini. Tenang saja, aku sedang tidak ingin terluka sekarang. Kita simpan dulu bagian yang itu.

Kamu tahu Meredith, wajahnya bagaikan purnama, begitu bersinar, senyumnya layaknya madu ditambah pemanis buatan yang ekstra manis. Senyum manisnya mengalahkan cup cake bahkan, lollipop.

Ku harap kamu juga bahagia Meredith mendengar ceritaku kali ini. Awalnya, aku tidak sengaja memegang tet----, aku malu bangat Meredith. Tapi begitu melihat wajahnya, aku tertegun. Bagaimana bisa, ada malaikat berwujud manusia. Dia begitu tampan Meredith. Bolekah aku berkhayal dia suamiku?

Bahkan, dia berani mencium tanganku. Tangan hangat dan lembut itu, membuatku ingin terus berada dalam gengamannya. Aku ingin selalu berada di sisinya. Aku ingin, tangan kecil ini yang digenggamnya terus.

Tapi :"( aku belum tahu namanya siapa, besok kalau sudah tahu namanya, Meredith yang aku kasih tahu pertama.

Meredith, kapan sih aku bahagia?

Cheryl melihat, kertas itu basah karena air matanya.

Maaf Meredith, tadi udah janji. Biar nggak nangis. Tapi aku nggak bisa. Kapan aku dianggap anak? Kapan aku akan tahu siapa ayahku? Orang yang telah memberi sperma itu?

Bahkan sudah 19 tahun nyaris 20 tahun, aku hidup dalam tanda tanya besar. Aku sadar Meredith, mamiku yang cantik menyesal telah melahirkan aku ke dunia. Sepertinya aku hanya pembawa sial bagi hidup mami, bahkan mami tidak sudi seatap bersamaku. Aku janji Meredith, setelah aku kerja, aku tidak akan pernah menyusahkan mami, agar mami bisa menemukan keluarga bahagia untuknya.

Aku sayang bangat sama mami Meredith. Apa mami menyadari itu? Bahkan, mami tidak pernah berada di rumah. Mami risih, berada di sekelilingku.

Aku hanya anak haram yang tidak diharapkan!

Cheryl meremas kertas itu hampir menggoyaknya. Sadar akan perbuatannya, Cheryl mencium diary itu.

"Maaf Meredith. Hanya kamu teman setia aku. Sama Mawar, tapi Mawar tidak mengerti apa yang aku rasakan."

AYAH, DIMANAKAH KAMU? BOLEHKAH AKU TAHU SOSOKMU? BOLEHKAH SUATU HARI AKU MEMELUKMU?

Cheryl mengakhiri curhatannya dengan emot hati yang hancur, seperti asal-usulnya. Selama hidupnya, keluarga yang Cheryl kenal hanya Delisha--Mami dan Mawar bersama keluarganya.

Cheryl naik ke atas ranjang, dan melanjutkan kesedihannya. Di luar tampak seperti manusia tanpa beban, layaknya manusia tanpa tulang, diluar semua orang melihat Cheryl sebagai anak yang begitu disayang keluarga. Jika di dalam kamar kita akan melihat seperti sosok Cheryl sebenarnya. Hanya Meredith yang menyimpan semua keluh kesah Cheryl.

"Semoga kehadirannya, bisa mengobati luka ini." Gadis berpiyama pink menyeka air matanya. Kamar Cheryl begitu gelap, pengap, lembap. Karena ia tak pernah mengurus kamarnya, apalagi Cheryl sendiri di rumahnya, membiarkan gadis itu memelihara sifat malasnya.

Bosan di kamar, Cheryl iseng keluar. Biasa di rumah, Cheryl akan mengunci dirinya di kamar, ia keluar hanya untuk makan. Hanya makan, makanan instan seperti mie dan telur.

Melihat ruang tamu yang lenggang, Cheryl duduk di sofa berwarna hijau tersebut. Biasanya, Cheryl mengintip melihat maminya bermain ponsel di sofa. Cheryl menduduki kursi kebesaran itu, dan mengkhayal ia duduk bersama maminya, bercengkrama seperti seorang ibu dan anak.

Ingin sekali, Cheryl diperlakukan layaknya anak. Cheryl ingin dimanja, Cheryl ingin diperhatikan. Cheryl ingin menjadi ponsel yang diperhatikan setiap saat.

Cheryl ingin sang mami bertanya, berapa IPK, apa sudah punya pacar, atau pernah kissing. Bahkan, Cheryl ingat, pertama kalinya ia mendapat tamu bulanan saat SMP, ingin sekali maminya orang pertama yang tahu, kalau ia sudah remaja. Saat itu, Cheryl hanya menangis, mengira dirinya sudah tak suci, diperkosa atau semacamanya. Namun, karena sering mendengar curhatan dari Mawar, akhirnya Cheryl sadar, dirinya sudah dewasa, menjadi seorang perempuan seutuhnya.

Saat itu, Cheryl malu-malu membeli pembalut di kedai yang jauh dari rumahnya karena malu, naasnya karena pertama kali, Cheryl memakai pembalut itu terbalik. Bukan karena kecerobohannya yang membuat Cheryl sedih, tapi dimana letak dan peran orang tua apalagi seroang ibu?

Cheryl sudah terbiasa dari kecil diabaikan. Bahkan, maminya terkadang tidak pulang ke rumah. Walau ada pun, mereka tidak pernah berinteraksi layaknya manusia normal.

Cheryl mendesah kasar, ia mengalihkan perhatian ke figura-figura cantik berisi foto sang mami, bahkan foto Cheryl tidak dipasang disana. Hal-hal sekecil ini, membuat Cheryl semakin berkecil hati, dan membuat dirinya menyesal dilahirkan. Apa ia salah, menyesal? Sungguh, Cheryl tidak ingin dilahirkan, jika tahu hidupnya akan membuat hidup maminya terpuruk, dan membuat maminya membenci dirinya.

Sederhana sekali, Cheryl ingin maminya menyuruh dirinya, mengomeli dirinya. Cheryl ingin ia dan maminya bercengkrama dan makan malam bersama. Cheryl tahu, maminya sering makan di luar, meninggalkan dirinya yang makan dengan hati yang sakit.

Coba saja, Cheryl punya kekasih ia mungkin tidak terlalu semenyedihkan ini. Ingin sekali, ia dan maminya kompak. Seperti memakai baju dengan model yang sama, sendal model yang sama, atau mungkin gaya rambut. Khayalan sederhana ini, nyatanya tidak pernah terjadi. Mereka layaknya dua orang asing. Sampai pada tahap jahat, Cheryl terkadang ingin nekat tes DNA. Apa benar, dirinya anak kandung atau anak pungut.

"Ah sudalah." Cheryl membuang napas berat.

Cheryl menghidupkan TV, tanpa memperhatikan apa yang ada di layar depan. Pikiran Cheryl menerawang. Semuanya bertentangan, sosok sang mami dan si tampan.

"Besok aku harus tahu namanya, sekalian tahu nomor HP-nya."

***

Seorang pemuda sedang duduk di gazebo rumahnya, sambil menatap bulan yang begitu terang. Tanpa sadar, ia tersenyum.

"Dia berbeda. Tatapannya begitu polos." Ujar pemuda itu. Pemuda itu bukan jatuh cinta, tapi sosok itu seperti mengambil alih seluruh dunianya.

"Anying lah, udah kayak cewek aja gue." Pemuda itu beranjak dari gazebo sambil membawa gitarnya. Ia sempat bernyanyi, sambil membayangkan wajah polos itu. Begitu mengemaskan.

"Kamu harus jadi milikku!"

***

Floren--Mawar, sedang berkumpul bersama keluarganya. Keluarga Mawar begitu ramai, mereka yang terdiri dari 4 bersaudara, ditambah pembantu di rumah itu, semuanya terasa ramai.

Mawar memeluk bantal sofa, dengan pikiran yang menerawang. Bagaiamana mungkin, ia harus menyukai lelaki yang kurang ajar tersebut. Apalagi, Mawar tahu sahabatnya kurang kasih sayang.

"Ikhlas aja Flo, pasti bisa dapat yang lebih bagus. Mana mungkin, kamu tega sama Cheryl yang kurang kasih sayang. Dia juga butuh sosok penghibur." Sebenarnya Mawar sangat tahu, Cheryl tidak pernah dianggap di keluarganya. Namun, Mawar tidak bisa berbuat banyak, kecuali menjadi sebaik-baik sahabat untuk Cheryl dan selalu membantu Cheryl.

Mawar tahu, sangat kontras sekali kehidupannya dengan Cheryl, rumahnya yang selalu ramai seperti pasar malam, berbeda dengan Cheryl yang begitu sepi seperti dalam gua.

"Demi sahabatku, aku merelakan perasaan ini. Aku tahu, dia lebih membutuhkanku dari pada aku." Mawar Tersenyum. Ia bersumpah, akan membantu Cheryl untuk mendapatkan pangeran dari negri antah berantah itu.

***

Tiba-tiba, Cheryl merasakan sekelilingnya terang. Cheryl bangun, dan bisa mencium aroma parfum maminya.

"Mami pulang." Bisik Cheryl pada diri sendiri. Cheryl menegakan tubuhnya, dan melihat layar itu masih menyala.

Sekitar 15 menit, Delisha keluar dari kamar, dan memakai baju rumahan yang begitu pendek. Cheryl hanya mengintip lewat ekor matanya. Maminya membuka kulkas. Masak? Ingin sekali, Cheryl ditanya sudah makan, atau pertanyaan basa-basi.

Cheryl melihat maminya, mengambil air dari dispenser dan membuat minuman.

Hampirin! Tanya! Akrabkan diri!

Otak dan batin Cheryl berperang. Mulutnya ingin bertanya, nyatanya suara itu tak bisa keluar. Mawar meremas bajunya sendiri, karena gemas.

"M-mami." Ucap Cheryl gugup dan begitu pelan. Tentu saja, Delisha yang sedang mengaduk minuman tidak mendengar.

"Bodoh!" Maki Cheryl kuat. Ia melirik ke arah maminya yang melihatnya sekilas.

"M-mami buat apa?" Ini kalimat panjang, yang pernah Cheryl lontarkan pada sang mami. Wanita dewasa di depannya, mengalihkan pandangannya ke arah anak gadisnya yang sudah dewasa, dan sangat mirip dirinya.

"Buat ini." Hanya sebatas itu. Mendengar jawaban ala-kadar sang mami, Cheryl langsung berlari ke kamarnya. Ketika ia berusaha membuka diri dan mengakrabkan dirinya dengan ibu kandung sendiri, tapi susahnya seperti membelah lautan.

"Aku benci diriku, aku anak pembawa sial! Aku menyesal lahir ke dunia. Mami membenci diriku. Sampai Kapan mami akan menerimaku?" Cheryl menelungkupkan kepalanya ke dalam bantal, dan menangis sebisanya.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height