+ Add to Library
+ Add to Library

C7 Scene 7

C : abang bohong -_-. Yang jumpa di tempat print kampus.

J : maaf, saya memang nggak pernah ke tempat print kampus. Kamu salah orang.

C : abang nggak lucu. Jangan gini dong, nanti aku sedih. Hiks, abang jahat :'(

J : lah, saya bicara kenyataan.

Cheryl bingung, dengan jawaban ini. Dia salah orang atau si tampan itu memang tak berminat padanya sama sekali.

C : ini Juna kan?

J : iya.

C : semester 5?

J : iya.

C : abang jurusan teknik kan?

J : ya dek. Teknik itu banyak.

C : coba abang kirim foto abang.

J : entar, aku dipelet lagi.

C : kagaaaakkk..... aku cuman mau mastiin aja.

J : picture received.

Cheryl menganga lagi, demi apa ia salah orang? Udah lah, ia merendahkan harga dirinya, bawa tytyd segala dan sekarang, salah orang? Semoga Juna Kw ini tidak mengenal dirinya.

Cheryl langsung menelpon Mawar.

"Yo." Jawab Mawar malas-malasan di ujung telpon. Suara Mawar terdengar seperti baru bangun tidur.

"Demi apa, aku salah orang. Gila kan? Duh, malu Mawar. Semoga dia nggak kenal aku, aku minta kirim fotonya, bukan Juno yang kita mau."

"Hahaha, mampus! Makanya aku bilang, kenpa harus bilang-bilang tytyd."

"Kan aku mastiin." Cheryl manyun. Mawar jahat, harusnya Mawar menguatkannya, bukan menertawakannya. Dasar sahabat sinting!

"Yaudah, tanya aja namanya siapa sama si KW itu."

"Ok." Cheryl memutuskan sambungan telpon dan mengirim pesan lagi.

C : berarti abang kenal Juna yang ganteng?

J : oh, Juna itu. Itu mah, beda kelas. Dia anak TM 02.

C : ish, abang nggak bilang dari awal -_- kan malu aku. Makasih yo bang.

J : nggak papa.

C: oh iya, bolekah minta nomor Juna XD.

J : nggak punya dek. Kalau jumpa aku minta.

C : siiip, thank you. Jangan bilang orang lain, masalah tyt**.

J : iya.

C : makasih. Salam kenal.

"Sialan! Sialan!" Cheryl menelungkupkan kepalanya ke bantal. Malu!

Cheryl berdoa, semoga tak pernah berjumpa dengan Juna KW, yang membuat reputasinya buruk.

Laki-laki akan hilang respect, jika tahu dia tak malu membuka aib sialan itu. Cheryl tak bermaksud untuk mempermalukan dirinya, ia hanya ingin to the point, agar sang pujaan hati mengerti. Namun, ia salah target.

Perut Cheryl berbunyi, sekarang sudah malam. Cheryl akhirnya pergi ke meja makan, walau ia tahu, tak ada makanan di atas meja. Cheryl akhirnya membongkar mie yang berisi dalam styrofoam.

Cheryl menunggu sambil air dispenser panas dan berubah warna. Kenapa nasibnya harus sial? Kenapa begitu banyak rintangan demi seorang lelaki yang belum tentu membalas dirinya? Cheryl menelungkupkan kepalanya ke atas meja.

Cheryl melirik ke arah dispenser yang berubah warna. Dengan langkah yang berat, Cheryl mengisi air panas, membuka bumbu mie.

Cheryl pindah ke sofa depan. Sambil memikirkan, langkah apa yang akan ia ambil. Apa dia minta langsung ke orangnya, apa Juna mau memberikan nomor ponselnya pada Cheryl? Cheryl dilema. Tapi ia yakin, si tampan itu menyimpan perasaan yang sama, dan sekarang sedang menunggu Cheryl menghubunginya. Ya, Cheryl yakin begitu.

Jantung Cheryl mau copot ketika sang mami, masuk ke dalam rumah, masih dengan pakaian kantor. Cheryl diam, maminya diam.

Cheryl melirik dengan ekor matanya, sang ibu kandung yang membuka sepatunya dan masuk ke kamar. Perasaan sesak menghantam dadanya. Kapan mereka akur? Darah mereka begitu kental, tapi kenapa seperti orang musuhan? Cheryl dengan yak bernafsu memasukan mie itu dalam mulutnya.

Dalam ingatan Cheryl sedari kecil, ia tak pernah bercengkrama dan bermanja-manja dengan maminya. Bahkan, ia harus mandiri sebelum waktunya. Dan Cheryl menutupi semua luka, dengan berlagak bahagia, dan jadi manusia paling heboh di sekolah hingga ia kuliah.

Bahkan perpisahan sekolah, dan pengambilan raport, selalu saja, Cheryl menitip pada orang lain. Atau dia mengambil sendiri raportnya ketika semua orang sudah bubar. Dan semua guru sudah tahu nasib Cheryl.

Ketika Cheryl menang lomba pidato bahasa Inggris, ia menerima hadiah itu dengan wajah biasa saja. Tidak rautan bahagia, dan bangga. Karena tidak ada yang bangga melihat prestasinya. Sejak saat itu, Cheryl enggan belajar. Hingga SMA, nilainya semakin menurun, dan membiasakan dirinya jadi pemalas ketika kuliah.

Dulu, Cheryl kira dengan ia berprestasi, maminya akan bangga dan menganggap dirinya anak. Nyatanya, maminya tak pernah tahu, dia pernah juara atau tidak. Bahkan Cheryl meragukan maminya, tidak ingat kapan ia ulang tahun.

Setiap ulang tahun, Cheryl merayakannya sendiri dengan Meredith. Hanya buku diary usang itu, yang tahu semua luka Cheryl. Kecuali, Mawar orang pertama dan satu-satunya yang mengucapkan selamat dan memberi kado dari malakan Cheryl. Karena Cheryl selalu mengancam, jika tidak memberi kado, maka persahabatan mereka putus.

Tanpa sadar, air mata Cheryl mengalir. Makan bersama air mata, tidak akan membuat tubuh Cheryl gemuk. Makanan yang masuk langsung disalurkan ke hatinya. Dan membuat Cheryl makan hati setiap saat.

Maminya membuka kamar, wanita cantik yang masih muda itu berganti baju, dengan celana pendek hitam, dan baju super ketat. Cheryl harus akui, maminya jauh lebih cantik dari dirinya. Tapi, kenapa maminya tidak menikah saja? Apa ia penghalang jadi maminya tak bisa menikah? Jika begitu, Cheryl bisa keluar dari rumah ini, dan mencari kehidupan luar.

"M-mami u-udah makan?" Rasanya seperti mengangkat batu satu ton. Begitu berat, tapi Cheryl berhasil. Akhir-akhir ini, Cheryl berusaha mencairkan suasana. Tapi tampaknya maminya belum bisa menerima keadaan. Cheryl bisa memahami, jika maminya memiliki dendam pribadi di masa lalu dan Cheryl yakin, semua ada hubungannya dengan dirinya.

Maminya yang duduk di samping anaknya, mengalihkan perhatian dari ponsel dan menatap anak semata wayangnya. Hatinya masih terlalu keras untuk bisa menerima Cheryl. Jangan salahkan dirinya, ia hanya seorang wanita yang tersakiti.

"Mau makan di luar?" Kalimat itu meluncur dari bibir Delisha. Dia pikir, bisa makan bersama agar menghangatkan suasana. Bagaimana pun, Cheryl tidak bersalah. Ia tak boleh terus menghukum putrinya yang tidak tahu apa. Delisha tersiksa. Melihat Cheryl, terkadang ia ingin merengkuh tubuh putrinya yang ringkih. Tapi egonya masih terlalu besar. Entah sampai kapan, ia akan ikhlas. Padahal kejadian itu, sudah berjalan lebih dari puluhan tahun. Rasanya masih segar diingatan, dan seperti baru terjadi kemarin sore.

"I-ini lagi makan." Cheryl dengan gugup dan takut, menunjukan mie dalam kotak itu yang masih penuh, karena rasa mie itu sudah hambar.

"Kalau mau ikut ayo." Maminya berdiri. Cheryl hanya memperhatikan maminya yang berani keluar dengan pakaian seterbuka itu. Cheryl menimbang haruskah ia ikut atau tidak.

Cheryl masih ragu, dan memikirkan ikut atau tidak.

Mendengar suara mobil. Cheryl dengan cepat meletakan mie itu di meja, dan mencari sendal bututnya. Ya, ia hanya pakai piyama, Hello Kitty.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height