Jika, Mungkin/C1 Cincin tanpa arti.
+ Add to Library
Jika, Mungkin/C1 Cincin tanpa arti.
+ Add to Library
The following content is only suitable for user over 18 years old. Please make sure your age meets the requirement.

C1 Cincin tanpa arti.

Tirai putih tulang di tepian jendela geser kamar sebuah apartemen bergerak bebas mengikuti ritme bayu yang menyapanya setelah si tamu membuka jendela setengah jam lalu, langit tampak mengabu tanpa suara guntur yang menggebu—membiarkan atmosfer kesunyian kian terasa, memeluk jiwa begitu liarnya saat semesta tahu bahwa ia sendiri entah berhak memiliki siapa. Harusnya Mya tahu, tapi ia ingin menutup kehidupannya hari ini—jika saja semua itu mudah dilakukan tanpa perlu menggantung seutas seprai pada balok di langit-langit pintu dan berakhir di sana, Mya hanya sadar dan berharap jika kehidupannya mungkin masih panjang, ia harap begitu.

Rambut hitam legam panjang dengan ujung curly yang menjadi mahkota indah perempuan 24 tahun itu rupanya sudah termakan rayuan sang bayu, ia ikut menari seperti gerakan tirai tak jauh di belakangnya, meski beberapa helai menyentuh wajah, tapi tangan-tangan kurus pemiliknya sama sekali tak menepikan, ia justru terpejam mencoba rasakan sesuatu yang terus mendobrak dalam dada, begitu membuatnya menggelepar. Mya merasa seperti kupu-kupu yang mencoba keluar dari dalam toples, sia-sia saat penutupnya begitu keras, ia tak tahu tangan siapa yang kelak membebaskannya, sekarang semua rangkai dalam pikir Mya begitu buram.

Tangan kanan perempuan itu terangkat tak jauh dari wajahnya, sepasang iris menatap lekat sesuatu yang melingkar dalam jari manisnya, begitu cantik di antara ruas jemari tengah dan kelingking. Kapan ia mendapatkannya? Kemarin, saat acara pemberkatan di gereja berlangsung, setelah beberapa orang yang tak melebihi dua puluh menjadi saksi pernikahan mereka, lantas hari ini Mya miliki alasan yang pas mengapa dua koper besarnya masih teronggok di dekat pintu kamar yang terbuka.

Kehidupan setiap orang berputar seperti roda, Mya tahu itu, tapi tentang sebuah kanvas polos yang tiba-tiba dipoles oleh rangkaian warna—ia tak tahu bagaimana, Mya mulai tak menyukai sebuah lukisan—sebut saja sejak arah angin berubah beberapa waktu lalu, kini rumit baginya, polesan-polesan warna begitu samar diartikan.

Kerongkongan tampak menelan sesuatu, anggap saja pil biru pahit yang harus Mya nikmati getirnya 24 jam dalam seminggu. Ia tersenyum kecut kali ini, tangan lainnya ikut terangkat melepas pelan lambang pernikahan yang harusnya menjadi arti besar dalam hidupnya. Ya—arti besar yang ingin Mya pahami setelahnya, tapi ia belum bisa menemukan perihal mengapa, sebab ia telah putuskan menyudahinya sebelum mengawalinya.

"Mau saya bantu beres-beres, Non?" Bak suara guntur, pertanyaan sederhana dari suara bernada pelan itu mampu pecahkan ilusi Mya kali ini. Perempuan berambut panjang itu menoleh dapati sosok wanita paro baya berdiri di ambang pintu kamar, Bi Asih sudah mengetuk pintu berulang kali, tapi ilusi Mya lebih bertahta kali ini.

"Ibu ini siapa, ya?" Mya beranjak seraya masukan cincin pernikahannya pada saku celana katun hitam yang ia pakai, langkahnya mendekat pada Bi Asih.

"Saya pembantu di rumahnya Mas Dewa, tadi Pak Cokro sendiri yang meminta saya kemari—untuk membantu Non Mya beres-beres di apartemennya Mas Dewa ini," jelas Bi Asih, karakternya terlihat lembut, belum lagi ukiran lengkung dari wajah yang tampak menua dengan sebagian uban menggantikan mahkota hitam di sana.

"Oh." Mya manggut-manggut, ia lirik koper miliknya—padahal niat hati tak ingin berbenah sama sekali. "Bibi bisa beres-beres ruang lain aja, saya bisa urus kamar saya sendiri kok."

"Lho—kok kamar sendiri, nggak satu kamar sama Mas Dewa?" Tanda tanya seperti menari-nari di kepala Bi Asih, belum lagi gerak-gerik bola mata seperti mengintimidasi Mya.

Bi Asih atau siapa pun takkan tahu perjanjian mereka, rumit dan pelik. Mya tersenyum tipis berusaha menyembunyikan kekeliruan yang ia timbulkan dalam benak wanita di hadapannya. "Iya, kamar saya sama Dewa. Bibi berbenah aja di tempat lain, saya mau istirahat sebentar."

"Mau dibuatin minum, Non?"

"Nggak usah."

"Bibi permisi dulu, ya." Ia menarik kenop pintu hingga benda persegi panjang dengan posisi vertikal itu tertutup sempurna.

Sekali lagi, Mya menatap koper-kopernya, untung saja dari mereka tak ada yang berteriak meminta mengeluarkan segala isi di sana, untung saja mereka hanya benda mati yang membuat perasaan gusar Mya sedikit lega. Ia memutar tubuh hampiri ranjang besar itu lagi, tentunya istirahat yang ingin Mya lakoni segera tanpa embel-embel kelopak bunga mawar bertaburan di permukaan ranjang atau dekorasi malam pertama untuk setiap pasangan pengantin baru. Mya hanya butuh tidur yang nyenyak serta bunga tidur untuk alam khayal agar ia bisa menarik napasnya lebih leluasa sejenak.

"Saya kok aneh, ya." Bi Asih sibuk menyedot debu dari benda-benda di sekitarnya menggunakan vacum cleaner, sedari tadi ia bermonolog sendiri sekadar mengasumsikan sesuatu lewat beberapa hal janggal yang ia lihat sendiri. Wanita setengah abad itu berdiri di dekat sofa ruang tamu saat tangannya sibuk mengarahkan vacum cleaner di sisi meja kaca dengan beberapa tumpuk majalah serta vas berisi dua tangkai lili putih di sana. "Kenapa Mas Dewa udah kerja, mereka baru nikah kemarin. Terus kenapa tadi Non Mya lepas cincin pernikahannya, mata saya nggak salah lihat kok."

Saat dering telepon rumah terdengar, Bi Asih meletakan lebih dulu vacum cleaner di sisi meja sebelum bergerak hampiri nakas di dekat pintu utama, deretan pigura yang tampilkan foto-foto Dewa masa SMA hingga sarjana berjejer, replika Menara Eiffel serta Bianglala berada di masing-masing sudut sebagai pembatas, sepertinya bunga lili menjadi sesuatu yang wajib berada di apartemen Dewa. Masih ada vas bening berisikan dua tangkai lili putih berada di antara foto-foto pemilik apartemen itu.

Bi Asih mengangkat gagang telepon, tak ada suara selama beberapa detik, hanya terdengar seperti lembar kertas yang dibuka begitu cepat dan percakapan orang lain dari sebrang.

"Hallo—" Akhirnya suara laki-laki itu terdengar juga.

"Iya, Mas. Ini Bi Asih, Non Mya—"

"Dia udah di situ?" Dewa memotongnya tanpa ragu.

"Iya, Non Mya ada di sini, tadi bilang mau istirahat."

"Ya udah." Panggilan berakhir sepihak, Bi Asih menjauhkan gagang telepon dari telinga, ia menatap bingung benda itu, satu lagi tanda tanya kembali muncul di atas kepala seperti bola lampu yang bersinar terang.

"Mas Dewa ini kok ya—" Bi Asih enggan berasumsi lagi, makin jauh ia menerka-nerka, makin pusing pula setelahnya. Wanita itu memutar tubuh perhatikan keadaan sekitar, sebenarnya apartemen Dewa sudah layak dikatakan rapi saat hanya ditinggali seorang laki-laki saja. Tak ada sampah berserakan, tak ada pakaian kotor di sudut kamar, bahkan isi kulkas begitu lengkap seperti ditinggali seorang perempuan. Jadi, mungkin tak sampai malam Bi Asih lekas pulang ke rumah Keluarga Cokro, tugasnya di apartemen Dewa hanya benar-benar membantu Mya berbenah meski perempuan itu sudah menolak halus tadi. "Non Mya benar sudah tidur belum, ya? Saya mau bilang kalau Mas Dewa baru telepon, siapa tahu dia mau siapkan makan malam buat Mas Dewa." Bi Asih melangkah hampiri kamar tempat Mya terbaring, harusnya Mya berada di kamar Dewa dan bukan berada di kamar berbeda meski mereka tinggal satu atap, terlebih Mya resmi menjadi istri Dewa. Entah rahasia kecil apa yang mereka miliki, jika saja Bi Asih bisa menebak isi hati.

Wanita itu menyentuh kenop perlahan, menariknya ke bawah hingga pintu bisa didorong pelan ke dalam, ada celah tercipta bagi Bi Asih melihat keadaan di sana. Rupanya Mya tidak bohong, ia benar-benar terlelap di ranjang tanpa membiarkan kepalanya beralaskan bantal, posisinya bahkan berada di tepi dengan posisi miring, ada sesuatu berada dalam pelukan Mya kali ini. Benda itu memicu rasa penasaran Bi Asih hingga ia mendorong lebih lebar pintu kamar, membiarkan sepasang kakinya melaju pelan dekati Mya.

Sebuah pigura besar warna putih berada dalam dekap perempuan itu, Bi Asih sampai berjongkok di sisi ranjang saat harus memastikan gambar di sana sebab rabun senja yang ia miliki. Sepasang orangtua lengkap duduk berjejeran di sebuah sofa, seorang gadis berusia sekitar tujuh tahun berada dalam pangkuan sang ibu seraya merangkul boneka besar, mereka semua tersenyum menatap sebuah alasan yang membuat foto itu tetap abadi.

Pasti foto Almarhum Bu Indah dan Almarhum Pak Basuki, kasihan Non Mya sendirian. Bi Asih beranjak, ia memperhatikan Mya selang beberapa detik sebelum keluar dari sana, kembali menutup pintu perlahan agar tak mengusik seseorang yang kini menikmati bunga tidurnya.

***

Segelas susu cokelat setidaknya mampu meredakan dingin yang menyergap dari ruangan full AC di apartemen Dewa, meski Mya sedikit menentang karena ia justru kenakan celana pendek saat bagian atas dipadukan dengan sweater oversize yang menutupi seluruh telapak tangannya. Perempuan itu menarik salah satu kursi meja makan, meletakan segelas susu cokelat panasnya di sana saat ia sudah siapkan sepotong sandwich sebelum susu cokelat singgah. Ia ingat sejak sang paman mengantarnya ke apartemen suaminya—Mya belum sempat makan apa-apa, bahkan ketika Bi Asih menawarinya untuk memasak sesuatu pun Mya menolak sebelum wanita itu benar-benar pulang.

"Kalau Non Mya mau masakan makan malam buat Mas Dewa, dia itu suka sekali sama cumi asam manis, opor tahu tempe juga doyan kok. Mas Dewa kalau makan itu nggak usah dibuatin masakan yang susah-susah, Non. Dia kalau pulang ke rumah suka minta masakan itu." Mya masih mengingat betul setiap pesan dari Bi Asih tadi.

Mya menggigit sandwich, mengunyahnya pelan seraya memikirkan banyak hal. Ia baru saja merasa seperti seorang penumpang kereta yang tiba-tiba harus turun di tempat asing karena masinis menginjak rem mendadak, menurunkannya bukan di tempat seharusnya, bukan di stasiun, tapi di tempat—yang bahkan tak pernah berada dalam pikir Mya. Ia terdampar di sebuah pulau asing, dipaksa menjadi penghuni di sana dengan segala hal baru yang wajib diterima.

Mya meniup uap susu yang masih menguar, ia meneguknya—membiarkan kerongkongan begitu hangat sejenak, saat bola mata Mya mengarah pada pintu dapur, ia terhenti untuk beberapa detik, meletakan gelasnya perlahan tanpa berani menatap mata pemilik tubuh yang kini berdiri di ambang pintu dapur.

Mya meraih piring ceper kecil berisi sisa sandwich serta gelas susu cokelatnya, ia mundurkan kursi dengan mendorongnya pelan menggunakan paha—sebelum menyingkir dari sana, hampiri ambang pintu yang masih sisakan ruang baginya lewat meski seseorang tetap berdiri di sana. Mya sama sekali tak melirik sosok itu, ia menunduk perhatikan langkahnya agar tak sampai menyenggol bagian tubuh Dewa.

Tepat saat Mya berhasil keluar dari dapur, Dewa memutar tubuh dan berucap, "Kita buat aturan buat rutinitas normal besok-besoknya."

Langkah Mya terhenti satu meter di depan Dewa, tapi ia enggan menoleh untuk menatap lawan bicaranya. Kini ia berani mengangkat wajah—memperlihatkan ekspresi datar.

"Punya alarm sendiri-sendiri, nggak usah bangungin, nggak usah buatin sarapan. Jadi diri sendiri," ucap Dewa.

Mya menarik napas panjang. "Susah jadi diri sendiri di tempat yang bahkan nggak kamu tahu ini di mana," sahut Mya sebelum lanjut melangkah, membiarkan Dewa semakin memperhatikannya hingga sang istri menghilang di balik pintu kamar—yang hanya ditinggali Mya saja tentunya.

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height