Jika, Mungkin/C5 Kaktus.
+ Add to Library
Jika, Mungkin/C5 Kaktus.
+ Add to Library

C5 Kaktus.

Saat bibir sulit bertutur kata, masih ada anggota tubuh lain yang mewakili, seperti bahasa tubuh atau mimik wajah, bahkan terkadang turun hujan. Seperti Mya yang tak ingin berbicara, bahasa tubuh serta mimik wajah memperjelas keterdiamannya, tapi tak ada mata berkaca, untungnya supir taksi tak bisa melihat kondisi hati Mya saat ini, ada beberapa retakan kecil di sana.

Sejak kembali ke kantor, Mya diam seribu bahasa, ia menanggapi obrolan orang lain seperlunya, biasanya jika terdengar sebuah lelucon maka Mya yang paling pertama tertawa, tapi siang hingga sore tiba perempuan itu tampak murung. Ocehan yang Sakti buat bahkan tak mampu menepikan risau dalam benak sahabatnya, Sakti hanya berpikir jika Mya mungkin lelah setelah acara peninjauan di pabrik.

Kali ini perempuan itu duduk di dalam taksi, melamun bersama tatapan yang mengarah keluar jendela, langit masih mengabu sejak hujan siang tadi. Sebuah kotak berisi beberapa pot kaktus kecil berada di pangkuan Mya, ia sengaja mampir ke toko tanaman lebih dulu.

Taksi menepi di sisi jalan dekat apartemen, Mya ulurkan uang lebih dulu sebelum turun seraya peluk kotak kaktusnya di dada. Perempuan itu lantas masuk tanpa semangat, lagipula semangat dalam hal apa yang bisa Mya rasakan lagi jika tiba di apartemen? Hari cerahnya bisa berganti kelabu jika sudah tiba di apartemen, harusnya seorang istri merasa senang jika tiba di rumah, ia bisa berkisah perihal keluhannya di kantor, memasak resep makanan terbaru untuk suaminya atau bahkan meminta tolong agar dipijat kepalanya saat pening mendera akibat memikirkan segudang pekerjaan.

Sayangnya, tempat Mya pulang tak ada sedikit pun keramahan dari pemilik mutlak tempat itu, setiap waktu hanya rasakan sesuatu yang asing dan sulit dipahami, mencoba mengerti pun mulai membuat Mya tersiksa, ia tak bisa membaca isi pikiran suaminya, tak tahu apa yang dibutuhkan. Jika orangtua Dewa tahu perihal hubungan mereka, apa yang bisa terjadi?

Mya menghempas pantat begitu saja di tepian ranjang kamar seraya letakan kotak kaktusnya, ia buka penutup benda itu dan raih salah satu kaktus kecil, menatapnya dalam diam, dalam pikir yang melayang-layang. "Kamu tahu kenapa aku beli kamu? Kita sama, kita pasti bisa bertahan lebih lama." Ia letakan kaktus di tempat semula, membungkuk lepaskan heels yang membuat sepasang kakinya agak pegal.

Mya membawa kotak itu ke sisi jendela, meletakannya berjejer rapi di sana-agar pemandangan di kamar sedikit hijau. Ia angkat lagi salah satu kaktus, mengajaknya berbicara. "Jadi, menurutmu aku bisa minta penjelasan atau enggak? Mau bagaimana pun aku istrinya, walaupun itu nggak akan berarti apa-apa, aku ini cuma tameng, cuma perisai di mata dia. Kita bisa tumbuh besar sama-sama, kamarku sekarang tempat tinggalmu." Ia sedikit gila, tapi rasa sepi membuatnya benar-benar resah, jika di rumah Mya bisa berbincang dengan anak rumah sebelah meski usianya lebih tua dari Mya, tapi setiap Mya butuh sebuah nasihat maka ia akan selalu mendapatkannya. Ia rindu pulang ke rumah, tempat yang benar-benar bisa disebut rumah, ada kehangatan dan rasa ceria meski hanya tinggal sendirian. Ada kebebasan mutlak.

***

Seseorang takkan bisa tidur tenang jika perutnya terus saja berdemo ria, terlebih sejak pulang kantor ia sama sekali tak makan apa pun. Sekarang waktu menunjukan pukul sebelas malam saat Mya putuskan beranjak dari lelapnya, ia masih sangat mengantuk, tapi perutnya terus saja berdemo meminta haknya segera dituntaskan. Perempuan itu mengalah, ia beranjak dari ranjang seraya kenakan sendal japitnya. Mya tekan tombol lampu kamar pada tembok di dekat pintu, ia menguap beberapa kali seraya merenggangkan otot-ototnya.

Ia keluar dari kamar, melangkah gontai hampiri tombol lampu pada tembok di dekat pintu utama, saat Mya berhasil meraihnya keadaan jadi terang-benderang. Kini bisa dilihatnya lebih jelas semua yang ada meski mata perempuan itu sedikit sipit, ia lelah untuk memikirkan banyak hal pun melakoni aktivitas fisik. Hari ini saja Mya sengaja tak memasak apa pun untuk Dewa, lagipula semua akan berakhir di tempat sampah, bukan?

Mya memasuki dapur, membuka pintu kabinet atas dan mengeluarkan sebungkus mie rebus dari sana, ia membuka kulkas sekadar mencari sebutir telur serta beberapa lembar daun sawi.

Sebuah panci kecil berisi air ia letakan di atas api kompor yang menyala, Mya mencuci sawi lebih dulu sebelum memotongnya panjang-panjang. Beberapa kali masih menguap, tapi ia takkan menyerah agar perutnya tenang saat melanjutkan tidur ronde kedua.

Mya duduk sejenak di salah satu kursi meja makan saat ia menunggu mie rebusnya matang, suara pintu terbuka membuatnya lantas menoleh, ia baru sadar jika ada satu manusia lagi yang akan tidur di apartemen, artinya Dewa juga baru pulang di jam yang sama seperti kemarin. Mya diam menunggu hingga sosok itu masuk ke dalam, langkahnya terdengar saat Mya beranjak hampiri mie rebusnya, air di panci membludak kala telur di dalamnya semakin membuat air meninggi.

Tak disangka jika Dewa juga masuk ke dapur, membuka kulkas saat Mya mematikan kompor. Tak ada sambutan untuk suami yang baru pulang, euforia keheningan tercipta semakin lekat saat kegelapan begitu pekat.

Dewa menatap permukaan meja makan, tak ada apa pun di sana selain botol kecap, saus serta tempat sendok. Istrinya bahkan hanya diam meski sang suami baru saja pulang, ia tak menawarkan mie rebusnya yang matang. Mereka seperti sepasang robot yang belum dimodifikasi untuk berbicara pada siapa pun. Jika tembok bisa berbicara, mungkin mereka akan mengatakan betapa bencinya pada sepasang manusia yang saling mendiamkan setiap harinya, tak ada kalimat sayang, tak ada senyum merekah, tak ada satu pun hal yang menyatukan mereka.

"Dari mana aja, Wa." Mya memberanikan diri berkata saat Dewa melangkah keluar dapur, suaminya lantas terhenti dan memutar tubuh tatap sang istri yang kini berdiri di dekat panel belakang seraya memegang nampan berisi semangkuk mie rebus dan segelas air.

"Nggak usah buatin gue makanan," sahut Dewa salah tanggap.

Mya tersenyum sengit, tatapannya menyiratkan kebencian. "Nggak ada yang siapin makanan buat kamu, aku juga nggak akan bangun kalau perutku nggak lapar, terus ... aku nggak akan tahu kamu pulang jam segini kalau perutku nggak maksa bangun."

"Itu bukan urusan lo, kan. Udah baca di kontrak waktu itu." Dewa mengingatkan tanpa peduli bagaimana perasaan Mya sekarang, ia begitu otoriter.

Mya cengkram erat kedua sisi nampan yang ia pegang, mati-matian menahan gejolak emosi dalam dirinya. "Iya, aku tahu kok. Tapi ada satu hal yang aku yakin nggak ada di dalam kontrak, mungkin kamu sengaja sembunyiinnya. Apa kamu bisa kasih tahu aku, Dewa?"

"Apa? Kalau nggak ada yang perlu dibahas mending udahan, lo makan mie rebusnya karena gue juga mau istirahat." Dewa memutar tubuh, tatapannya pada Mya begitu mengintimidasi, menekan tanpa harus menjelaskan.

"Jadi, sebenarnya kita tetap menikah meskipun kamu memiliki sosok yang kamu cintai selama enam tahun belakangan? Aku salut."

Prang!

Nampan jatuh begitu saja, kuah panas mie rebus sampai menciprat ke kaki Mya saat hentakan itu berlangsung, semuanya pecah berantakan, mie rebus berserakan.

Dewa tertegun melihat perbuatan Mya, kini tatapannya terpenjara dalam mata penuh benci milik istrinya. Mya terlihat mengangkat telapak tangan kanannya, menunjukan sesuatu yang kosong di sana, mata perempuan itu kembali berkaca saat ingatannya mengarah pada kejadian siang tadi, perihal sepasang kekasih di sudut kafe yang menikmati makan siangnya saat hujan turun dengan deras, dunia seperti milik berdua.

"Mirip tangan kamu, kan. Polos," tutur Mya mencoba membuat Dewa memahami kalimatnya, "kamu tenang aja, aku sekarang sangat berharap kalau pernikahan kita juga cuma kontrak, Wa. Sumpah pernikahan di depan pendeta nggak ada, aku harap ini cuma mimpi, ini cuma dunia imajinasi aku yang benar-benar konyol. Harus gimana sikapku saat tahu suaminya duduk makan siang sama perempuan yang udah enam tahun menjalin sebuah hubungan? Kalau orang lain-pasti akan memaki suaminya, melabrak si perempuan saat itu juga, tapi aku? Aku bodoh, aku tolol dan menyedihkan." Air mata Mya tak bisa dibendung lagi, Dewa hanya diam mendengarkan setiap perkataan istrinya. "Kita menipu banyak orang, orangtua kamu bahkan mendiang orangtuaku, apa mereka bisa tenang di surga sekarang? Hal terakhir yang lebih parah adalah saat aku menyadari kalau istri kamu ini benar-benar dijadikan perisai untuk menutupi hubungan sang suami bersama kekasihnya yang mungkin nggak menemukan kata akhir."

Perempuan itu melenggang lewati Dewa seraya mengusap air mata, sakit hati diperlakukan tak kasat mata tempo hari membuat keberanian Mya untuk berbicara akhirnya muncul. Mya membanting pintu kamar, menjatuhkan tubuhnya di ranjang seraya tarik bantal untuk menutupi wajah basahnya, ia menangis sejadi-jadinya.

Dewa masih membeku di tempatnya, setiap kata yang diucapkan Mya tadi seperti sengatan listrik, membuatnya mulai bisu dan kelu. Ia tatap mie rebus yang tetap berserakan di selasar, Mya bahkan melupakan alasannya terbangun malam-malam.

Dewa melangkah tinggalkan dapur, ia langsung masuk kamar dan menutup pintu. Dewa duduk di tepi ranjang seraya loloskan jas yang ia pakai, ia lepaskan satu per satu kancing kemeja dengan emosi, bahkan menarik paksa hingga seluruh kancingnya berjatuhan di selasar. Ucapan Mya tadi kini baru menimbulkan efek yang kuat, Dewa mulai merasakannya.

Ia memasok oksigen sebanyak-banyaknya, tak ada samsak untuk ditinju di kamarnya. Dewa tatap pigura berisikan fotonya serta Marisa saat berada di Barcelona setahun silam, lebih tepatnya ketika mereka merayakan tahun baru di sana. Perkataan Mya tadi mengarah pada kegiatan makan siang Dewa bersama Marisa hari ini, tapi ia tak melihat sosok Mya di mana pun. Lantas perempuan itu langsung menerka hubungannya terjalin selama enam tahun bersama Marisa, kata siapa?

Dewa letakan pigura di tempat semula, ia meraup wajah sebelum beranjak menarik selimutnya dengan kasar, melempar semua bantal hingga berserakan. "Kenapa lo tolol banget, sih, Dewa! Kenapa dia bisa tahu semua! Anjing!" Dewa tendang begitu saja laci kecil di dekatnya, persetan dengan kegaduhan yang mungkin Mya dengar, kini rasa takut mulai menghantui Dewa.

Ia pasti takkan membiarkan semua rencananya berantakan.

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height