Jika, Mungkin/C8 Dipaksa menyerah.
+ Add to Library
Jika, Mungkin/C8 Dipaksa menyerah.
+ Add to Library

C8 Dipaksa menyerah.

"Om tahu tentang honeymoon ke Barcelona yang direncanain sama ayahnya Dewa?" Mya duduk di tepi ranjang, jendela kamar sengaja ia buka meski pekat malam kian merangkak. Satu tangan memegang ponsel yang kini menempel di telinga, tangan lain memijat kening yang terasa berdenyut.

"Iya, om tahu. Kamu udah oke, kan?"

"Aku—" Mya mendengkus, tak mungkin ia mengaku tak setuju, hanya Dewa dan Mya yang tahu hubungan rumit mereka. "Ya, Mya setuju aja, Om. Tapi, kenapa harus sekarang-sekarang ini? Urusan Mya di kantor banyak, apalagi mau ada peluncuran produk baru, nggak mungkin Mya lepas tanggung jawab." Perempuan itu benar-benar ingin lepas dari rantai besi yang menjerat lehernya.

"Mya, pasti ada staf lain yang bisa urus pekerjaan kamu, nanti. Apa perlu om ke kantor dan minta izin langsung ke bos kamu?"

Refleks Mya mendelik dan berdiri. "Nggak usah, Om! Mya bisa urus semuanya kok, nggak usah ke kantor." Ia pikir berbicara dengan Herdi—adik kandung sang ayah—bisa mengurangi beban pikiran, nyatanya justru menambah beban pikiran, membuat kepala Mya terasa semakin berat saja. Jika tak ada manusia yang bisa Mya ajak bicara, apa ia harus mengatakan kegelisahannya pada tembok kamar? Atau pada deretan pot kaktus miliknya? Ia mulai gila.

"Ya udah, Om. Maaf ganggu waktunya, Mya mau istirahat sekarang." Ia akhiri panggilan itu, kembali duduk di tepi ranjang sebelum rebahkan tubuh seraya tatap langit-langit kamar. Ia tahu tak mungkin bisa mundur dari sesuatu yang harus dilakoninya esok hari, semua telah dipersiapkan tanpa sepengetahuannya serta Dewa, jika Dewa tahu—bisa jadi acara bulan madu itu diundur atau bahkan tak pernah ada, mereka tak bisa menyusun skenario penipuan untuk saat ini, mereka harus melakoni skenario yang disiapkan orangtua Dewa, lalu berpura-pura menjadi sepasang suami istri yang harmonis.

Tok-tok-tok!

Jarum jam sudah menunjuk pukul sebelas malam, tapi seseorang masih bisa mengetuk pintu kamar Mya sekarang. Perempuan itu beranjak tinggalkan ponsel di permukaan ranjang, ia buka pintu tanpa rasakan terkejut saat melihat Dewa berdiri di depan pintu, lagipula tak ada makhluk selain Dewa yang tinggal satu flat dengannya, bukan?

Mya tatap datar sang suami, mereka bertukar pandang untuk beberapa saat sebelum Dewa mendengkus alihkan pandang. "Gue yakin lo tahu apa yang gue pikirin, kan? Lo tahu masalah besar yang kita hadapi, kan?"

"Kamu berharap apa sekarang, mundur? Kalau aku bisa mundur, aku akan ada di urutan pertama, Dewa. Jadi, jangan merasa kamu yang paling sulit di sini. Posisi kita sama." Setelah itu Mya menutup pintu tanpa mengidahkan Dewa yang masih berdiri di sana, ia seperti mengusir paksa tanpa berkata.

"Argh!" Dewa menendang pintu kamar Mya sekadar menyalurkan rasa kesalnya, ia juga pusing bukan main menghadapi situasi itu. Berdua dengan Mya ke Barcelona? Jika nama Mya diganti Marisa, dengan senang hati Dewa berangkat sekarang tanpa perlu berpusing-pusing ria. Nasi sudah menjadi bubur, mereka hanya perlu menghadapi apa pun yang terjadi di Barcelona nantinya. Jika mereka mundur—sama saja mengizinkan Paramitha tinggal di apartemen, hanya ada dua kamar, jadi jika Paramitha datang—maka Dewa harus sekamar dengan Mya, bukankah lebih mengerikan lagi?

Sebuah penipuan besar memang membuat si pelaku alami ketakutan berlebih, kecemasan tak keruan. Nyatanya, Dewa yang memutuskan kekeliruan itu sejak awal, ia yang merencanakannya dan memaksa Mya setuju. Kenapa tak ada cinta? Kenapa tak bisa merajut tali kasih? Kenapa mereka harus menjadi sepasang asing yang dipertemukan tanpa tahu caranya memulai sebuah peluang.

Mya tak peduli dengan suara gaduh yang baru saja ia dengar, jika Dewa ingin membanting seluruh barang-barang di apartemen itu karena amuk yang memuncak pun Mya tak masalah, atau bila Dewa ingin meruntuhkan apartemen maka Mya hanya akan mengedik bahu.

Mya akan hadapi hari esok, jadi ia perlu lakukan packing malam ini. Mya buka lemari besar di kamarnya, menarik keluar koper yang tersimpan rapi di bagian paling bawah. Ia raih pakaian tanpa memilihnya, apa pun yang bisa dijamah tangan akan Mya masukan ke dalam koper.

Honeymoon? Buat pasangan lain pasti hal semacam itu spesial dan paling ditunggu-tunggu, sedangkan buat aku? Apa ini nightmare, bu. Mya mendesah seraya berkacak pinggang tatap koper yang tengah ia isi dengan pakaian di permukaan ranjang, satu per satu masalah menghampiri, menjerat leher hingga sesak seperti tercekik.

"Izin besok? Izin dadakan? Apa bakal dikasih? Kenapa ini rasanya enggak sopan, tapi kalau aku nggak pergi—semua lebih rumit, kenapa ini harus mendadak?" Mya luruhkan tubuh dan duduk di permadani, ia sandarkan punggung pada tepian ranjang seraya meremas rambutnya frustrasi. "Oh, astaga. Ini bahkan lebih rumit ketimbang ngurusin komplain dari pelanggan."

***

Keduanya sama-sama keluar dari kamar seraya menarik koper masing-masing, mereka beradu pandang dalam jangka beberapa detik sebelum Dewa melenggang lebih dulu menarik kopernya hampiri ruang tamu, ia sandarkan benda itu pada meja, duduk di sofa dan keluarkan ponselnya. Sebentar lagi Cokro dan Paramitha akan datang, mereka mengantar langsung pasangan pengantin baru itu ke bandara.

Sedangkan Mya memilih masuk dapur, ia tinggalkan kopernya di dekat pintu, ia bahkan tak tidur semalam saat pusing memikirkan hari ini serta hari-hari berikutnya jika mereka tiba di Barcelona. Ia duduk di balik meja makan seraya meminum segelas air yang baru diambilnya dari kulkas, lagi-lagi perempuan itu melamun, rasanya seperti dihadapkan pada tepian tebing, dihadapkan pada sekelompok penjahat yang akan menembaknya hingga mati. Mya tak punya pilihan, maju atau mundur tekanannya sama saja.

"MYA? DEWA? KALIAN UDAH SIAP, KAN?" Suara itu memecah lamunan Mya, suara yang diiringi bel rumah berulang kali. Mya beranjak tinggalkan dapur tanpa lupa meraih kopernya, ia hampiri Dewa yang sudah berdiri di balik pintu, laki-laki itu menatapnya penuh arti. Saat Mya berdiri di dekatnya, Dewa masih saja menatap seolah menginginkan sesuatu, tapi ketika Dewa menggenggam tangannya paksa—barulah Mya mengerti apa yang diinginkan sang suami, mereka harus terlihat mesra di mata semua orang. Kini pintu telah dibuka Dewa, sepasang senyum menyambut mereka.

"Untungnya kalian udah siap, kita bisa langsung berangkat sekarang, ya," ucap Paramitha penuh semangat, "ayo."

"Iya, Ma," sahut Mya dan Dewa bersamaan, mereka saling tatap sejenak—sebelum melenggang keluar dari apartemen, mengekor di belakang Cokro dan Paramitha yang terlihat begitu bersemangat saat menceritakan perihal Barcelona, perihal angan sederhana mereka untuk pasangan Mya dan Dewa.

Mya hanya diam, ia menunduk tatap genggam tangan Dewa di sela buku-buku jemarinya, terasa hangat dan nyaman, tapi Mya tahu si penipu ulung tengah mengajaknya bersandiwara. Untung saja saat SMA dan masa kuliah Mya pernah ikuti seni teater, ia tahu cara berakting dengan baik dan benar. Mereka bermain di sebuah panggung sandiwara yang mereka buat sendiri, memaksa semua penonton percaya pada hal yang tak seharusnya diyakini.

Genggam tangan itu baru terlepas saat mereka masuk ke mobil yang dikemudikan Cokro, jika pergi sendirian biasanya Cokro akan membawa supir pribadi, tapi sekarang ia yang menjadi supir pribadi. Mya dan Dewa tak melanjutkan genggam tangan mereka, sama-sama membisu saat mobil melaju tinggalkan area parkir apartemen. Seseorang di bagian depan terus saja tersenyum seraya berkisah banyak hal yang belum tentu bisa terjadi, atau mungkin mustahil. Sepasang manusia di belakang justru tak saling memedulikan meski telinga mereka mendengarkan, anggap saja angin lalu, numpang permisi.

"Mya, siapa tahu nanti pulang dari Barcelona kamu langsung hamil, kan nggak ada yang tahu," seloroh Paramitha di sela percakapannya dengan Cokro, ia menoleh pada Mya yang justru perlihatkan ekspresi berbeda. "Iya, kan? Tujuan kalian disuruh ke sana kan biar bisa menikmati waktu berdua, kalau di Jakarta kalian cuma sibuk kerja tanpa kenal waktu." Perkataan Paramitha memang benar, hanya saja ia memberi nasihat pada orang yang salah, Mya lebih suka bekerja seharian di kantor dan sibuk di balik laptop ketimbang pergi ke Barcelona dengan Dewa.

"Wa, kamu harus jaga istri kamu di Barcelona, Mya pasti baru pertama ke sana. Kalau kamu kan udah pernah ke Barcelona, ajak dia ke tempat-tempat yang papa bilang kemarin," tutur Cokro.

"Iya, Pa."

Mya terpejam sejenak, perkataan Cokro membuatnya teringat akan sesuatu, sebuah pigura di kamar Dewa yang perlihatkan foto Marisa serta suaminya itu ketika di Barcelona. Raut melankolis Mya tak bisa ia sembunyikan, awan kelabu tiba-tiba datang, tapi tak ada yang menyadari keluh kesah dalam relungnya. Batin Mya menjerit kencang, ia seperti bisu kala berteriak, siapa pun takkan mendengar.

***

"Jangan lupa kabarin mama kalau udah sampai di hotelnya, ya? Pokoknya jangan sampai lupa, kalian harus sering kabarin kami." Paramitha memeluk Mya lebih dulu sebelum beralih pada Dewa, mereka sudah berada di bandara, sekitar lima belas menit lagi pesawat akan lepas landas.

"Ingat perkataan mama kamu itu, ya, Wa. Sering-sering kabarin kami," imbuh Cokro, ia menepuk bahu sang putra. "Papa percayakan semua sama kamu, hati-hati dan semoga selamat sampai tujuan." Setelah itu Cokro dan Paramitha meninggalkan mereka, membuat rasa kecewa dalam benak Mya kian membesar, ia seperti dilempar paksa untuk tinggal di tempat asing. Menatap Dewa sama seperti menatap orang tak dikenal yang bersliweran di depan mata, ia bahkan tak miliki nyali untuk bertanya, bibir terasa kelu berucap.

Mya melangkah lebih jauh di belakang Dewa saat laki-laki itu melenggang menuju konter maskapai tempat melangsungkan check in, tak ada genggam tangan hangat yang membuat Mya terasa nyaman, tangan itu kembali kosong seperti biasanya. Dewa ada, tapi tak pernah benar-benar ada.

Mereka melangsungkan check in pada konter maskapai penerbangan yang akan mereka naiki seraya menyerahkan koper masing-masing pada petugas bandara di sana, setelah melangsungkan proses penimbangan barang tanpa lupa memberi label nomor—keduanya melenggang hampiri boarding room dan menunggu sebentar lagi. Mya duduk berjauhan dengan Dewa, sang suami begitu sibuk dengan urusan ponselnya tanpa memedulikan keadaan sekitar.

Saat mikrofon memperdengarkan pengumuman waktu keberangkatan, Mya dan Dewa lantas beranjak tanpa lupa membawa boarding pass mereka. Tiba-tiba saja Dewa menahan lengan Mya, tersenyum miring entah mengartikan apa. "Mungkin lo yang akan sendirian di sana, karena Marisa akan nyusul gue ke Barcelona."

Entah tombak dari arah mana, yang jelas menusuk Mya sedalam-dalamnya.

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height