Jika, Mungkin/C9 Asing tanpa saling.
+ Add to Library
Jika, Mungkin/C9 Asing tanpa saling.
+ Add to Library

C9 Asing tanpa saling.

Seharusnya Dewa menggandeng istrinya jika ia putuskan melangkah cepat, satu langkah lebar Dewa adalah dua langkah Mya, laki-laki itu berhasil membuat istrinya pontang-panting mengekor hingga berserobok dengan beberapa pejalan kaki lainnya. Dewa justru terlihat santai seolah melangkah sendirian, ia bahkan tak menoleh sekadar mengecek keadaan istrinya. Mungkin saja Dewa bisa salto jika Mya benar-benar hilang di Barcelona.

"Argh! Sorry." Suara itu membuat Dewa menoleh, ia mendelik dapati Mya sudah terduduk di selasar meski banyak orang melangkah di sekitarnya, perempuan itu terlihat mengusap telapak tangannya yang kotor, lagi-lagi ia tak sengaja berserobok dengan pejalan kaki lain hingga jatuh.

Dewa berdecak, ia mengalah hampiri Mya sebelum ulurkan tangan di depan wajah istrinya yang masih menunduk. Begitu Mya menengadah, ia temukan telapak tangan kosong seseorang, tapi ketika Mya melihat pemiliknya—justru laki-laki itu tengah melihat ke arah lain. Mya meraih tangan Dewa sebagai bala bantuan agar ia beranjak, setelah itu erat tangan mereka terlepas lagi, tanpa bekas.

"Emang nggak bisa jalan cepat?" Dewa seperti bukan bertanya, tapi memarahi. "Lain kali hati-hati, di sini nggak kayak Jakarta. Jumlah pejalan kakinya lebih banyak ketimbang yang naik mobil, tahu kenapa?" Mya menggeleng polos saat itu. "Karena angka kecelakaan di sini lumayan tinggi, terus ...." Dewa menatap sekitar. "Di sini banyak tukang tipu sama copet, jadi tolong jangan jauh-jauh dari gue." Ia raih begitu saja tangan kanan Mya yang kosong, menyelipkan jemarinya di antara celah milik Mya hingga tercipta simpul yang erat. Dewa seperti bukan Dewa, ia menarik Mya agar melangkah di sebelahnya, begitu erat sampai Mya tak mampu berkata, hanya pijar bola mata serta senyum tipis yang menegaskan betapa senangnya ia sekarang meski hanya hal sederhana.

Mereka ada di jalanan Barcelona yang cukup padat, sejauh mata memandang akan banyak temukan manusia hilir-mudik. Mya tetap bungkam dan bersikap sebagai pendatang yang baik, ia memang takjub, tapi tangannya tak sempat meraih kamera polaroid yang sengaja ia siapkan pada sling bag miliknya. Belum lagi saat Dewa enggan melepaskan tangan sang istri, terus menggandeng ke mana pun ia melangkah. Lagipula tidak lucu jika Dewa kehilangan Mya yang notabene mereka adalah pasangan baru.

Mulut Mya sedikit terbuka saat mereka lewati sebuah tempat seperti lapangan kecil berada di sisi jalan, tapi tetap dipenuhi banyak orang. Begitu banyak merpati berkumpul di sana, mematuk makanan yang diberi seseorang, begitu seorang anak kecil berlari mengejutkan—para merpati terbang dengan rendah, setelah itu berkumpul lagi seolah tak memusingkan kekacauan yang dibuat anak kecil tadi. Mya menahan tangan Dewa saat ia putuskan berhenti menatap pemandangan merpati tak jauh dari posisinya.

"Apa?" Dewa terlihat tak senang ketika ia harus berhenti, tujuannya bukan tempat semacam itu. Namun, ia mengalah saat mengikuti arah pandang Mya. "Lo nggak mungkin bisa bawa merpati itu pulang."

"Aku nggak ada niat bawa satu pun dari mereka pulang kok," sanggah Mya, tapi baru beberapa detik ia berdiri dengan tenang, Dewa menariknya lagi tanpa rasa sabar. Lucunya, perempuan itu tak rasakan pegal saat kakinya terus dipaksa melangkah, mungkin sebab perasaannya berubah merah muda, apa pun yang ia lihat semuanya menakjubkan meski hanya sebuah gedung tua, tapi arsitektur gedung di Kota Barcelona benar-benar membuat setiap orang menggeleng kagum.

Kali ini Mya tak bisa melepas tatapannya dari para penari jalan, mereka tengah melangsungkan sebuah tarian Flamenco di tepi jalan, sebuah topi sengaja diletakan di dekat para penari—sekadar menjadi lambang bagi orang-orang agar meletakan uang di sana. Para pemain kemungkinan berasal dari komunitas gipsi Andalusia, mereka tak menari tanpa sebuah musik, mereka menyatukan tarian dengan petikan senar gitar dan kastanyet, nyanyian, gertakan jari serta tepuk tangan. Gaun yang digunakan para penari pun terlihat khas, bagian punggung dibiarkan terbuka dengan warna kostum yang mencolok agar terlihat ceria.

Senyum Mya sempat terbit saat menganggumi para penari flamenco yang ia lihat, tapi langsung sirna saat Dewa enggan membiarkannya diam barang sedetik saja. "Wa, sebenarnya kita mau ke mana?" tanya Mya di sela langkah kaki mereka, Mya merasa seperti seekor hewan ternak yang terus ditarik pengembala menuju padang rumput, tak ada jeda baginya berhenti.

"La Sagrada Familia," sahut Dewa menatap istrinya sejenak.

Mya tak lagi menyahut, jawaban itu membuat Mya teringat akan satu hal yang membuat pijar matanya semakin redup. Seketika segala keindahan Barcelona yang baru Mya lihat lantas lenyap tak berbekas, ia teringat lagi akan ucapan Dewa sebelum mereka serahkan boarding pass kemarin, saat Dewa berkata penuh percaya diri perihal Marisa yang akan menyusulnya ke Barcelona.

Mya tak senang, ia tarik begitu saja tangannya hingga terlepas dari tangan Dewa, seketika langkah mereka sama-sama terhenti, netra yang juga membalas—sebelum Dewa kembali raih tangan Mya. "Gue yang celaka kalau lo sampai hilang di sini, jadi jangan banyak tingkah." Tak bisakah Dewa mengucapkan sesuatu yang membuat Mya merasa lega sejenak saja? Tahukah Dewa jika merah muda dalam diri Mya berubah abu-abu sekarang, tak ada yang salah dari La Sagrada Familia, yang salah adalah kenangan seseorang tentang tempat itu bersama sang kekasih. Atau mungkin Dewa ingin bernostalgia dengan orang yang berbeda?

Mereka kembali lajutkan langkah, dari kejauhan bisa terlihat bangunan gereja terbesar di dunia yang pembangunannya belum juga selesai hingga hari ini, karya Antoni Gaudi itu benar-benar ciamik di mata seluruh penghuni atau wisatawan yang datang ke Barcelona, menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka. Saat itu Mya melihatnya lewat sebuah foto, hari ini ia bisa melihatnya dengan mata telanjang, bahkan bisa menyentuhnya jika Mya sudi masuk ke dalam, tapi sesuatu membuatnya semakin kehilangan mood, ia lebih senang melihat merpati yang berkumpul di dekat jalan tadi ketimbang menatap La Sagrada Familia—bangunan dengan arsitektur luar biasa.

Langkah Mya juga tak sesemangat tadi, biar saja jika Dewa menarik terus tangannya hingga putus, mungkin lebih baik begitu. "Kenapa harus tempat ini?" Mya bertanya, membuat langkah mereka kembali terhenti.

"Kita ambil gambar di sini sesuai keinginan mama, papa. Apa ada masalah?" Dewa bisa bicara begitu mudahnya.

"Kalau aku nggak mau, apa itu juga masalah?" Mya terdengar menantang, ia loloskan lagi tangannya dari genggam Dewa. "Kalau kamu mau ambil gambar, silakan sendiri aja. Aku menolak, itu hak aku."

"Kasih tahu alasan kenapa elo nggak mau?" Dewa berkacak pinggang.

"Karena aku nggak mau, aku nggak nyaman."

"Tapi ini buat kepentingan kita juga, buat kasih alasan ke mama, papa kalau hubungan kita itu harmonis. Lo nggak ngerti apa emang sengaja?"

"Harmonis? Sampai kapan kamu mau menipu orang, Dewa? Yang pantas foto sama kamu di sana itu Marisa! Bukan aku!" Perempuan itu sudah tak ragu lagi untuk memaki, ia menunjuk bangunan gereja tinggi yang harusnya menjadi latar belakang foto sepasang pengantin baru. "Di sana, aku tahu apa yang ada di sana. Kalau kamu bilang Marisa bakal ke sini buat nyusul kamu, itu lebih baik, Wa. Aku mau balik ke hotel!" tandas Mya sebelum berlari tak tentu arah meninggalkan Dewa yang kini mengejarnya.

"Mya! Mya!" Persetan dengan suara Dewa yang terus meneriaki nama sang istri, perempuan itu terus saja berlari tak tentu arah, menerobos kerumunan orang-orang tanpa sudi menoleh ke belakang, ia hanya ingin jauh sejauh-jauhnya dari Dewa sekarang. Mya tak peduli pada wajah-wajah asing di sekitarnya, ia terus saja berlari—sebelum menemukan tempat persembunyian yang cocok, yakni sebuah sudut gedung tua yang berjejer rapi seperti di sebuah gang kecil.

"Mya! Mya!" Suara Dewa masih jelas terdengar, sang istri berjongkok di balik sebuah tempat sampah seraya memeluk lutut dan benamkan kepalanya di sana, ia harap Dewa tak bisa menemukannya. "Bangsat! Ke mana itu cewek!" umpat Dewa seraya menendang sebuah tiang listrik di dekatnya, padahal posisi mereka sudah sangat dekat, Mya bersembunyi sekitar satu meter di belakang posisi Dewa sekarang. "Bisa nggak sih dia diajak kerjasama!"

Apa yang kamu pikirin cuma itu, Wa. Cuma tentang gimana kita terlihat baik di mata orang-orang, kita terlihat harmonis di luar sana, sedangkan kenyataan? Kamu bisa lihat sendiri, kamu nggak bisa memahami perasaan orang lain.

Sayangnya, Dewa tak kehabisan akal, untuk pertama kalinya ia hubungi nomor Mya sejak terakhir kali mereka pernah terhubung lewat ponsel sebelum pernikahan berlangsung. Sialnya, dering ponsel Mya terdengar begitu jelas dari posisi Dewa sekarang, ia lantas menoleh—mengernyit temukan seseorang memeluk lutut seraya tenggelamkan wajah di balik tempat sampah, Mya biarkan ponselnya terus saja berdering, percuma jika ia sudah ketahuan sekarang.

Tanpa mematikan panggilan itu, Dewa melangkah pelan hampiri Mya, terhenti di depannya sebelum akhiri panggilan itu. "Lo ngapain di sini?" Dewa terdengar lunak.

Mya memberanikan diri mengangkat wajahnya, memperlihatkan bola mata yang berkaca. Dewa ulurkan tangan seraya berkata, "Mau pulang ke hotel, kan? Ayo gue antar."

Mya membalas uluran tangan Dewa, ia beranjak setelah ditarik pelan. Mereka saling berhadapan, Mya ingin tahu—apa yang membuat Dewa langsung lunak, ia pikir Dewa akan marah besar setelah kabur tadi, ia pikir Dewa akan memakinya jika tak mengikuti perintah. "Ayo, pulang," ajak Dewa tanpa melepas genggamannya pada sang istri, rencana berfoto dengan latar belakang La Sagrada Familia terpaksa gagal, atau mungkin ditunda. Mya merasa Marisa lebih pantas menggantikannya, Mya tak ingin memaksakan diri melakoni hal yang tak diinginkannya lagi, pernikahan itu sudah terlalu banyak mengubah keteguhan hati serta pemikirannya.

Andai, Wa. Andai aja kamu bisa ubah pola pikir kamu dan mikirin perasaan pasangan kamu yang sebenarnya, aku yakin honeymoon kita lebih berkesan, aku nggak berharap lebih, tapi jadikan Barcelona sebagai tempat yang bisa aku kenang.

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height