L'Automne Du Coeur/C10 L'Automne Du Coeur/ IX
+ Add to Library
L'Automne Du Coeur/C10 L'Automne Du Coeur/ IX
+ Add to Library

C10 L'Automne Du Coeur/ IX

Back to Normal POV

– Mira POV-

“Karena kecelakaan itu?” Aku gatal ingin menyela dari tadi. Well, dia memang meninggal dalam kecelakaan pesawat itu setahuku.

“Non, jauh sebelum itu. Saat akhirnya dia bertunangan dengan Duke of Luxemburg, Abraham Villich.” Jawabnya pelan.

Arlaine sudah bertunangan? Wah, aku tidak bisa membayangkan betapa hancur hati Richard mendengar kabar pertunangannya.

Well, sepertinya kisah cinta bertepuk sebelah tangan. Tapi melihat wajahnya yang mengeras menahan guratan pedih itu, aku hanya terdiam untuk menghormatinya.

“Ng… Richard?” Dia menggumam, masih memandangi lidah api yang membakar habis balok kayu di sekelilingnya. “Kenapa kau bercerita kepadaku?”

“Bukankah kau tadi bertanya?”

Iya sih. Tapi… “Aku tidak mengharapkan cerita detail seperti ini juga.” Aku menggumam pelan. Tidak tahu harus merasa sebal, bersimpati atau yah, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana.

“Well, Mademoiselle. Sudah saatnya anda tidur. Saya akan menemani anda ke kamar.” Nadanya kembali kaku dan tegas seperti biasanya. Tanpa peringatan sebelumnya, dia langsung menarikku bangun, mengembalikan album foto lawas tersebut ke tempatnya dan menyeretku, ya dia memang menyeretku, ke kamar.

“Hei wait! Richard you hurt me!” Protesku karena beberapa kali aku tersandung karpet saat mengikuti langkah kakinya yang panjang.

“Akan lebih baik kalau anda melupakan percakapan kita barusan, Mademoiselle.” Tandasnya sebelum menutup pintu kamarku dengan keras.

What? Aku menggeram sebal. Yah, kali ini aku benar - benar sebal! Siapa juga yang menyuruhnya bercerita sedetail itu tentang mereka berdua? Aku ingin cerita tentang Arlaine! Bukan tentang kisah cintanya yang kandas di tengah jalan. Kenapa dia jadi menyebalkan lagi? Padahal tadi sikapnya sudah lebih manusiawi. Dasar Manusia gunung tanpa hati!

***

Setelah malam itu, hari - hari kulalui dengan Richard seperti biasanya. Yang artinya, dia mengetuk pintu kamarku di pagi hari, menungguiku sarapan, mengantar dan menjemputku ke ARBA tanpa SEPATAH KATA pun. Ya, semuanya dia lakukan dalam diam. Dan aku? Hell, demi langit bumi dan seisinya, kalau dia tidak ingin berbicara kepadaku, maka aku juga tidak akan berbicara padanya.

Aku melihat Corrine yang bersantai di ruang tengah sambil menonton film lawas saat pulang tadi. Maka setelah membersihkan diri dan berganti baju, aku memutuskan untuk bergabung dengannya sebelum makan malam.

“Hai.” Sapaku. Dia menoleh dan tersenyum sambil menepuk tempat kosong di sebelahnya. “Tidak kemana – mana hari ini?”

“Oh, ini hari libur pertamaku sejak tiga bulan yang lalu. Aku bersantai dan beristirahat di rumah.”

“Bukannya faire de course, massage dan party?” Dia tertawa sambil menatapku bingung. “Itu yang biasanya ditulis di novel atau diceritakan di film-film. Para gadis selalu melakukan hal itu di saat santai mereka.” Aku membela diri sementara Corrine tertawa.

“Well, kau terlalu banyak menonton telenovela dan novel picisan.” Yah, dia benar. “Shopping, massage, mempercantik diri adalah pekerjaanku sehari - hari. Pekerjaan kami para ambassador. Jadi kenapa waktu luang seperti ini harus digunakan untuk bekerja juga?” Aku mengangguk – angguk mendengar penjelasannya. “Bagaimana perasaanmu sekarang? Sudah lebih baik?”

“Eh?”

“Apakah kau sudah mulai betah di sini? Atau semakin merindukan kehidupan lamamu?”

Aku terdiam. Selama ini, tidak ada yang bertanya padaku mengenai perasaanku. Apa yang kuinginkan, apa yang ingin kucapai, apa yang paling kusesalkan saat berada di sini. Hanya memikirkannya saja, membuat dadaku sesak karena terlalu banyak yang ingin aku ungkapkan, tetapi aku tak tahu pada siapa. Ada begitu banyak perasaan terbaur di dadaku, hingga tak ada kata yang bisa mewakilinya.

“Kenapa kau bertanya?”

Corrine meraih tanganku dan meremasnya pelan. “Aku memperhatikanmu. Saat pertama kali melihatmu, kau nampak kesepian. Sikapmu yang defensive terhadap kami semua. Ya, aku tahu. Kau sengaja melindungi dirimu karena kau takut disakiti. Tapi percayalah, tak ada yang akan menyakitimu di sini.”

Aku tersenyum meremehkan. “Bagaimana kau tahu?”

“Karena kami semua sebenarnya sudah lama mengharapkan kehadiranmu.” Aku menggeleng tak mengerti. “Apakah selama ini ibumu pernah menceritakan tentang Uncle?”

“Not a word.”

“Tentang kenapa dia tidak mencari ayah untukmu?”

“Not really. She used to told me before that no one can’t replace Daddy’s. Tapi aku berhenti bertanya karena Mama selalu menangis saat topic tersebut keluar.”

“Hah, Tante Eva! Same as always!”

“Kau kenal Mamaku?” Yah, aku tahu dia tahu tentang Mama. Tapi kenal dan tahu itu berbeda kan?

“From heart to heart. Karena bukan seperti yang kau kira selama ini, kau adalah anak sah Ayah dan Ibumu. Bukan anak haram seperti yang selama ini kau pikirkan.”

Oke, I don’t get it. Mungkin aku terlalu bodoh untuk mengerti. Tapi setahuku, itu adalah sebutan negatif untuk anak yang belum jelas status hukumnya apabila dia terlahir dari hubungan seorang laki-laki dan perempuan yang belum menikah. N’est-ce pas? Iya, kan?

“Ayah dan Ibumu menikah. Hanya saja mereka tidak boleh mengakuinya di depan public. Hingga baru – baru ini.”

Shoot me now!

***

Semacam kebiasaan, kurasa. Mereka membuka diri, memberitahuku satu hal yang membuatku tertarik, kemudian melupakannya seperti tidak pernah berkata apa - apa. Aku? Tentu saja masih penasaran setengah mati! Bertanya? Yang benar saja! Setiap kali mendekat ke topik tersebut, selalu saja langsung dialihkan. Pertama Richard dengan kisah kasih tak sampainya dengan Arly, lalu Corrine yang sambil lalu menceritakan status Mama dan Daddy. Keduanya bukan orang yang mudah dibujuk. Walaupun kuakui, aku juga tidak terlalu pandai membujuk. track record ku berinteraksi dengan sesama manusia amat buruk.

Malam ini, tiba - tiba Corrine mengajakku makan di luar. Mencari suasana baru katanya. Setelah pamit dan berpesan agar Brigitte tidak usah menyiapkan makan malam untuk kami, segera saja kami berangkat dengan Richard. Oh, aku sama sekali tidak menaruh curiga. Jujur saja, capek selalu berprasangka pada semua yang ada di sekitarmu. Jadi malam ini aku memutuskan libur dulu.

“Kau ingin makan apa?” Tanya Corrine.

“You really ask me that question?” tanyaku. Corrine menoleh dan mengangguk tanpa tahu apa yang menunggunya. “Makanan Indonesia; nasi, sambal, rendang… may i?”

Corrine menepuk dahinya pelan sementara Richard mendengus pelan di depan. Hei, tu m'as posé une bonne question, alors je te donne une bonne réponse. Aku selalu memberikan jawaban bagus saat ditanya tentang makanan. Dan aku selalu jujur tentang itu. Sejak disini, aku harus menyesuaikan diri dengan masakan Brigitte (baca: masakan Belgia) yang menurutku agak hambar dan rasanya kurang kuat. Karbohidrat yang kuperoleh hanya dari kentang, yang mana di negaraku tercinta itu hanya sayuran, dan roti yang di negaraku juga hanya dianggap sebagai camilan. Literary, I’m deathly starve!

“Bagaimana dengan pasta?” Richard menawarkan saat melewati restaurant Italia. “Ada risotto dan macaroni juga.”

“Ah, itu hanya mie instan bagiku. Tidak adakah makanan sungguhan?”

“Kenapa anda cerewet sekali hari ini, Mademoiselle?”

“Hei, Corry yang menawariku! Kenapa kau protes?” Aku menyahut garang membuat Corrine terbahak.

“Sudahlah. Berhenti kalian Tom and Jerry!” What?? “Richard, Berhenti di Bld Lemonnier 165. Mira harus mencoba Moules dan Pate.”

Dahiku mengernyit mencoba mengingat - ingat dan mencocokkan nama makanan dengan memoriku. Moules adalah makanan tradisional Belgia. Biasanya masakan ini disajikan mulai September hingga Februari. Makanan ini dibuat dari kerang yang disajikan dengan kentang goreng. Moules disajikan dengan berbagai cara, mulai dari cara alami, menggunakan bawang putih, anggur putih, bawang merah, atau dengan peterseli serta mentega. Sedangkan Pate adalah pasta yang dibuat dari daging giling dan lemak. Daging yang sering digunakan untuk Pate adalah daging bebek dan babi. Biasanya masakan ini akan disajikan dengan roti panggang atau dimasak dalam adonan seperti pai.

“Hei, aku tidak makan Babi dan tidak mengkonsumsi alkohol.”

“We know it.” Richard dan Corrine menyahut segera. Lalu tergelak bersama.

Aku heran, apa yang membuat mereka begitu kompak dan ceria malam ini? Dan Makanan yang mereka tawarkan? Aku ragu aku bisa memakannya.

“Tenang saja, Le Nil hanya satu di antara banyak restoran halal di Brussels.” Corrine menjelaskan. Hembusan nafas penuh kelegaan yang sedari tadi kutahan akhirnya keluar juga. Selama disini, tentu saja aku tidak pernah makan di luar. Kantin Arba hanya kudatangi saat haus dan hanya membeli air mineral saja. Yap, aku tidak menggunakan kupon makanku. sepertinya Daddy tau itu karena memang aku tidak pernah diberikan kupon makan seperti yang lain disini

Saat kami turun, aku terheran dengan bangunan ala mesir dengan dentuman musik timur tengahnya, yang kalau di Indonesia orang menyebutnya nasyid. Di sebelahku, Richard menjelaskan bahwa Le Nil adalah restaurant Mesir yang juga menyediakan makanan khas Belgia versi halal.

“And the happy thing is, you can find rice.” Wajahku bebinar seketika seperti telah menemukan surga dunia.

“Serius?”

“Aku yang traktir.” Corrine menimpali perkataan Richard dengan senyum lebarnya.

Waaah, makan besar!!!!

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height