L'Automne Du Coeur/C11 L'Automne Du Coeur/X
+ Add to Library
L'Automne Du Coeur/C11 L'Automne Du Coeur/X
+ Add to Library

C11 L'Automne Du Coeur/X

Richard’s

She surely has a big apetite! Dia makan seolah - olah ini adalah makanan pertamanya sejak dia datang ke sini! Jika tidak melihat sendiri, aku pasti tak akan percaya dia mampu menghabiskan tiga piring moules dalam sekejap.

Corrine bahkan belum menyentuh isi piringnya. Kulihat dia juga sama amaze nya denganku pada makhluk di depan kami.

Aku belum pulang dari Maison saat Corinne menemukanku merokok di patio depan rumah. Dia bercerita beberapa kekhawatirannya tentang Mira, tentang dia yang ingin sekali menceritakan semuanya tapi dia tidak bisa. Bukan dia orang yang tepat untuk menceritakannya, dan dia takut tidak bisa menghadapi reaksi Mira.

Yah, aku juga tidak lebih baik, harus kuakui. Dia mengira aku benar - benar meninggalkannya kemarin dan tidak menjemputnya tepat waktu. Dan aku tidak mencoba, tidak ingin mencoba, mengoreksinya.

“Kenapa tidak menghiburnya saja, jika tidak bisa meringankan bebannya?” Kataku sambil lalu.

Mata Corrine seketika berbinar cerah. Mata yang berwarna sama dengan mata Mira. Hanya saja mata Corrine agak lebih sayu.

Meskipun kami berdua sudah bersahabat sejak lama, perasaanku pada Corrine, hanya sebatas teman baik. Dan aku bisa yakin bahwa perasaan Corrine pun sama. Aku tau semua kisah asmara Corrine. Kadang bahkan membantunya sedikit, tapi hanya sebatas itu. Satu - satunya perempuan yang bisa membuatku jungkir balik adalah Arlaine. Sejak dulu. Dan belum berubah meskipun dia sudah pergi 7 bulan yang lalu.

Aku berdecak melihat si Nona Kecil memakan semua makananannya dengan rakus tapi menyisihkan kentang dari piring - piring moules di hadapannya.

“Hei hei, kentang itu dimaksudkan sebagai pengganti nasi.”

***

“Hei hei, kentang itu dimaksudkan sebagai pengganti nasi.” Richard lagi – lagi mengomentariku yang lagi - lagi menyingkirkan kentang dari piring moules.

Ini sudah piring ketigaku. Dan aku tidak berencana untuk berhenti setelah ini. Masih banyak menu terhidang di meja. Makanan penutup saja belum disajikan. Terlihat seperti orang kalap? Kelaparan? Udik? Je m’en foe! Tidak peduli!

“Makan hati - hati, Mira. Nasinya pedas karena dimasak dengan kuah kaldu yang dibumbui.” Benar sekali. “kalau tersedak akan sakit rasanya.” Benar lagi! But I can’t stop myself from this euphoria!

“Kalau tidak melihatnya sendiri, aku pasti tidak akan percaya. Tubuh boleh kurus, tapi butuh porsi besar untuk mengenyangkanmu.” Richard mendengus.

Aku mendelik sambil masih sibuk mengunyah, kebiasaan untuk diam saat makan memang sudah mendarah daging rupanya. Kuprotes dia dengan tatapan galakku. Dalam hati sedikit menyalahkan Corrine karena mengajak serta orang semenyebalkan ini bergabung dalam satu meja.

“Sudahlah Richard, biarkan dia menikmati makanannya. Kau juga seharusnya menghabiskan makananmu. Atau Sundae untuk dessert tidak akan pernah datang.”

Mendengar kata Sundae dan dessert dalam satu kalimat positif, membuatku semakin kalap. Aku ingin cepat - cepat menghabiskan makananku dan melahap Sundae coklat yang dijanjikan Corrine. Agak aneh memang pilihanku, di cuaca dingin seperti ini, aku malah memilih es krim untuk dessert. Tapi suasana yang nyaman dan ramai ini membuat hatiku hangat. Senang sekali rasanya bisa keluar dari rutinitas yang mengekang akhir - akhir ini. Walaupun bukan hal yang kubenci, tapi mengulang sesuatu yang sama setiap hari tetap saja membuat jenuh dan bosan. Tubuhku memang tidak kuat dingin, tapi kecintaanku akan es krim tidak akan pernah pudar!

Mungkin ini pertama kalinya kau merasa bahagia sesampainya di Belgia. Benar-benar bahagia, melebihi kebahagiaanku saat tahu akan melanjutkan study ku di ARBA. Perut kenyang, lidah termanjakan, suasana yang ramai dan hangat serta orang-orang yang ramah membuat suasana hatiku membaik seratus kali lipat. Bahkan fakta menghabiskan malam bersama Richard tidak menyurutkan euforiaku.

Aku banyak bicara dan tertawa malam ini. Setelah makan, kami masih duduk di Le Nil untuk menikmati kopi dan cokelat panas atau sari tebu hangat yang dicampur lemon – minuman khas timur tengah – dan membicarakan apa yang terjadi hari itu. Corrine dan Richard kaget saat aku bilang bahwa sampai sekarang aku belum mempunyai satu teman pun di ARBA. Ya, karena aku memang introvert, dan tidak mudah membuka diri. Aku juga bercerita tentang sahabat baikku, semoga dia masih mau kupanggil sahabat walaupun dalam kenyataannya hampir tiga bulan lamanya kami tidak pernah berkomunikasi.

“Ils te manquent beaucoup, kampung halamanmu.” Corrine mengelus telapak tanganku yang sedari tadi digenggamnya.

“Ya.” Tentu saja, ya. Aku merindukannya. Disana tempat aku tumbuh besar, kan.

“Ingin pulang ke sana?” Richard juga sudah menanggalkan atribut tugasnya. Beberapa kali dia memanggil namaku tanpa embel-embel Mademoiselle. Kesannya lebih terbuka dan lebih akrab. Nyaris seperti malam saat Corrine berulang tahun.

“Entahlah.” Aku menjawab pelan. Faktanya, aku memang ingin pulang, tetapi aku sama sekali tidak memiliki tujuan yang bisa kusebut pulang. Oma? Beliau sudah mengusirku dulu saat terakhir kami bertemu. Dia tidak ingin terbebani olehku. Memikirkan diriku yang menjadi beban orang lain membuat hatiku sakit. Shita? Dia juga masih bocah, sama sepertiku. Ingin mencoba hidup sendiri? Yang benar saja, bisa - bisa aku diciduk oleh dinas sosial dan dimasukkan ke panti rehabilitasi! “Karena aku tak punya tempat kembali di sana. Kurasa, aku masih harus disini.”

“Kau tidak suka di sini?”

Aku memandang Corrine dan Richard bergantian. Sukakah aku di sini? Berada di sini sama sekali bukan kemauanku. Beradaptasi dengan tempat asing dan orang - orang asing, yang membuatku membangun benteng perlindungan setebal dan setinggi mungkin, adalah hal yang paling sulit kuhadapi. Belum lagi dengan keluarga baru yang aku tak pernah tahu. Ironis, karena seharusnya keluarga adalah orang yang paling dekat dan mengerti kita. Tapi yang terjadi padaku adalah sebaliknya. Keluargaku adalah sekelompok orang asing dengan banyak sekali perbedaan dariku.

“Kurasa suka atau tidak suka, tidak akan banyak membawa perbedaan untukku. Yang paling ingin kutanyakan dan kutahu jawabannya adalah; adakah yang menginginkanku berada di sini?”

Yeah, it's true! Adakah yang menginginkanku di sini? Clairement, Daddy apakah kau menginginkan keberadaanku? Di sini? Sekarang? Bahkan alasan aku disini masih tidak kutahu hingga beberapa bulan aku menetap di sini.

***

Kami bertiga pulang hampir tengah malam. Dan paginya aku bangun kesiangan. Efek karena tertidur larut malam. Saat membuka pintu kamar, aku dikagetkan oleh seorang tamu laki - laki tak diundang yang langsung membuatku marah di pagi hari.

“Siapa kau?” Tanyanya. Kutaksir usianya menginjak pertengahan dua puluhan. Atau akhir tiga puluhan.

Aku mengernyitkan alis bingung. Siapa yang berkunjung ke rumah siapa dan siapa yang bertanya siapa. Ah, kalimatku membingungkan gara - gara orang ini! “Kurasa pertanyaan itu seharusnya milikku. Jadi, siapa kau?”

Dia kelihatan gusar mendengar kalimat balasanku. Alih - alih menjawab, dia malah bertanya lagi kepadaku. “Aku melihatmu keluar dari kamar orang lain. Apa yang kau lakukan di dalam?”

“Maaf, hari ini aku bangun kesiangan. Dan kalau aku tidak buru - buru, aku akan terlambat mengikuti kelas pertamaku. So, if you don’t mind,” aku mengisyaratkannya untuk minggir dengan menggoyangkan telapak tanganku ke samping, karena tubuh tegapnya menghalangi jalanku keluar dari koridor.

“Mademoiselle,” Suara Richard yang familiar menyapa pendengaranku.

“Richard! Tolong, orang ini menghalangi jalanku!”

“Berardi.” Panggilnya tanpa mengalihkan tatapannya dari wajahku. “siapa bocah ini?” What?!! Bocah?

“Duke Villich.” Kulihat Richard mengangguk hormat padanya. Duke Villich? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Dimana? Siapa? Aku menggeleng saat tak kutemukan padanan wajah dengan nama tersebut. Pasti salah orang. “Beliau adalah Mademoiselle Mira Goureille, putri ke dua Monsieur Goureille.”

“Jadi? Bisa tolong beri jalan? Je suis pressée!” Aku menekankan kembali bahwa aku terburu - buru.

Walaupun sempat membuka mulut untuk melayangkan protes ketidakpuasan, akhirnya dia menepi juga. Tidak menyiakan kesempatan, aku langsung berlari di sepanjang koridor sambil menyuruh Richard untuk bergegas.

“Huh, dasar orang aneh. Kau sepertinya mengenalnya dengan baik.” Aku mengomel sambil merapikan rambut dan mantelku di mobil. “Namanya juga tidak terdengar asing. Aku pernah mendengarnya entah dari siapa. Dia punya hubungan dekat dengan Daddy?”

“Sure.” Richard menjawab pelan. “Karena dia mantan calon menantunya.”

Gosh! Duke Abraham Villich! Tunangan Arlaine! How could I forget?

“Untuk apa dia datang lagi?” pertanyaan yang hampir meluncur dari mulutku itu tertelan lagi karena Richard sudah mengucapkannya untuk kami berdua.

Ya, untuk apa dia datang lagi?

***

Richard’s

Duke of Luxemburg, Abraham Villich. Tunangan dari Putri Tunggal Abdi Negara kesayangan Ratu yang bahkan tidak ada gelar bangsawan yang cocok di sematkan padanya; Monsieur Albert Guireille, Arlaine Guireille.

Mereka bertemu di pesta dansa kerajaan 5 tahun lalu, saat Arlain memulai debutnya sebagai abdi kerajaan. Banyak undangan dari kalangan bangsawan yang datang. Dia berdiri anggun ikut menyambut tamu bersama ibunya, tante dan sepupunya.

Malam itu Arlaine cantik sekali. Tidak heran dia mendapatkan banyak tawaran dansa. Tapi Gadis itu lebih sering berdanse dengan Abe Villich yang terang-terangan menunjukkan ketertarikannya padanya.

Dua hari berikutnya, dia datang ke Maison dan Arlaine memperkenalkannya sebagai ‘Pria yang sedang berhubungan dengannya’. Dan sejak saat itu, hingga 5 tahun kemudian, mereka menjalin hubungan asmara. Kabar pertunangannya diumumkan tahun lalu, tahun yang sama saat akhirnya Arlaine pergi untuk selamanya. Arlaine memberitahuku terlebih dulu dengan mata yang berbinar-binar penuh semangat. Dia tidak sabar untuk mempersiapkan pernikahannya tahun depan awal musim gugur.

Tapi, kecelakaan naas itu terlebih dulu merenggutnya, membuat Duke Villich menjadi lebih dingin dari biasanya dan sangat tidak bersahabat. Bukannya aku bersahabat dengannya, aku adalah orang yang selalu dihindarinya, tapi sejak kecelakaan itu, dia menatapku dengan penuh permusuhan dan perhitungan.

Dan kulihat tatapan yang sama mengarah pada Mira.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height