L'Automne Du Coeur/C14 L'Automne Du Coeur/XIII
+ Add to Library
L'Automne Du Coeur/C14 L'Automne Du Coeur/XIII
+ Add to Library

C14 L'Automne Du Coeur/XIII

Semua orang menoleh ke arahku saat aku tiba - tiba berdiri dengan kasar. Nenek sihir sialan! Mati - matian aku menahan diri hanya untuk dihina? Bahkan Mama juga?! Bahkan Ratu sekalipun tidap berhak menghina Mama!! Aku meradang marah, tanganku terkepal erat siap melempar apapun yang berada dalam jangkauanku. Rentetan kata - kata pedas saling bertabrakan memaksa untuk keluar dari mulutku. Semuanya kuhentikan dengan paksa saat kulihat wajah Madame Villich yang mendongak pongah dan puas. Ah, jadi ini hanya pancingan.

“Permisi.” Pamitku nyaris berlari keluar.

Mataku masih memerah buram karena amarah sehingga tidak kuperhatikan kemana aku melangkah.

Brugh!

Aku terhuyung mundur dengan sepasang lengan menahanku.

“Hei, ça va, toi?” Rupanya Richard yang sedang akan melapor pada Daddy yang barusan kutabrak. “Tak apa? Kenapa menangis?”

Huh? Aku memegangi pipiku yang sudah basah. Tidak sadar rupanya sudah mengangis entah sejak kapan. Dan kurasakan juga nafasku yang pendek - pendek mengkhawatirkan. Aku harus memelankan nafasku, atau dadaku akan semakin terjepit sakit.

“Pelan - pelan.” Richard menuntunku ke Patio di sebelah rumah, agak terlindung oleh pohon bougenville yang melengkung di atapnya. “Mau kuambilkan air? Bibirmu Biru!” Okay, sekarang Richard terdengar seperti panik, yang benar - benar sangat bukan Richard. Biasanya dia cuek, atau marah.

“Jangan. Disini saja.” Jawabku pelan. “Aku baik, kok.” Ya, benar. Aku baik - baik saja, kurasa. Hanya butuh waktu sebentar hingga nafasku kembali pulih.

***

Richard dan aku kompak menunduk di balik tiang patio saat melihat Corrine dan Abraham Villich berjalan keluar dari rumah.

“Aku baru tau mereka saling kenal.” Gumamku tanpa sadar.

“Mereka seumuran. Teman satu akademi juga. Setauku, dari dulu Corrine naksir Abraham.” Richard menjawab dengan suara yang mengambang. Seperti tidak sadar tengah membicarakan sesuatu. Dan aku yang melotot mendengar jawabannya.

Corrine? Dan Abraham Villich? Lalu Arlaine? Kenapa bertungannya dengan Arlaine? Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku menuntut jawaban yang aku tidak tahu harus mencari dimana.

Mereka berbicara terlalu pelan, sehingga walaupun jarak patio dengan teras rumah tidak terlalu jauh, kamu tidak bisa mendengar apapun.

“Sebenarnya, kenapa kita harus sembunyi?” tanyaku menowel bahunya.

Seperti tersadar, dia menoleh, menatapku heran, lalu binar jenaka muncul di matanya. ”Setelah dipikir lagi, benar juga. Kenapa kita sembunyi.” Dia tertawa pelan, membuatku ikut tertawa.

“Mana kutau! Aku hanya mengikutimu.” Kami duduk kembali dengan ‘normal’ kali ini di patio. Richard masih terbahak pelan. Dia terlihat santai seperti malam saat kami makan malam di Le Nil. Rambut coklat gelapnya sudah agak lebih panjang dari biasanya sehingga menutupi sedikit alis tebalnya. Richard bukan pria dengan wajah yang standard, malah kalau mau jujur, dia termasuk tampan dengan perawakannya yang tegap dan tinggi. Hanya saja muka masam dan sinisnya terlalu mendominasi. Jadi tidak tahan berlama - lama bertatap muka dengannya.

Kemi mengamati sekilas tapi kepo pasangan yang masih di teras rumah. Sepertinya percakapan mereka tidak berakhir baik. Corrine berbalik ke dalam rumah dengan menghentakkan tumitnya. Dan Abraham Villich mengusap wajahnya lelah. Lalu matanya teruju pada kami di Patio.

Langkahnya pelan tapi pasti, menghampiri kami yang terdiam beku. Tidak, bukan kami, hanya aku saja. Richard masih terlihat sesantai tadi.

“Berrardi.” Sapanya saat sampai di depan kami. Seperti biasa, aku invisible di matanya.

“Duke Villich.” Balas Richard. “Aku ingat sudah mengenalkan anda pada Mandmoiselle Mireille.”

Dia menatapku lama dengan pandangan tak terbaca.

“6 Bulan? Kukira kau akan langsung lari kembali ke ibumu tidak sampai seminggu setelah disini.” Ternyata mulutnya tidak jauh berbeda dengan ibunya.

Richard membuka mulut untuk membelaku, tapi aku menjawab lebih cepat. “Kenapa harus lari? Disini rumah saya juga.“

Abraham Villich mendengus kencang, lalu pergi meninggalkan kami.

“Apaan, sih. Dateng nggak jelas pergi masih nggak jelas.” Aku ngedumel sebal. “Richard, bukannya kau ingin bertemu Daddy?”

***

Victoria Villich dan puteranya berpamitan siang itu. Brigitte yang memberitahu karena aku masih enggan beranjak dari kamar hingga menjelang sore. Karena tidak ikut makan siang di ruang makan, aku menghampiri Brigitte di dapur. Saat itulah dia menceritakan tentang kepulangan keluarga Villich.

Aku masih menemani Brigitte disana setelah selesai makan. Dia membuat Chicon au Gratin sebagai makanan ringan saat makan malam sembari menunggu hidangan utamanya matang. Yang aku suka disini, mereka memahami kebutuhanku. Brigitte sering mengganti daging babi dengan daging sapi atau kalkun semenjak aku disini. Hanya memasak daging Babi jika Daddy atau Corrine memintanya. Aku tidak pernah keberatan dengan itu. Brigitte selalu menyediakan banyak roti di kamarku, dan itu cukup untuk mengganjal perutku.

“Brigitte, aku mencium bau Gratin. Oh, Hallo, Cherie. Granny pikir kau tidak enak badan seperti kata Corrine.”

Granny memasuki dapur dengan tatapan matanya yang agak melamun. Memang Granny Louisa sering terlihat melamun karena mata sayunya. Tapi itu pesonanya. Dia tetap cantik dan langsung diusianya yang sudah lewat jauh dari setengah abad.

“Hanya capek, Granny. Aku membantu Brigitte karena bosan di kamar.” Aku tersenyum menyambutnya. “Tapi sepertinya aku hanya mengganggu Brigitte.” Aku meringi memperhatikan Chicon au Gratin buatanku yang tak berbentuk setelah matang.

Granny tertawa merdu. “Biar kucicipi. Aku ingin mencicipinya.” Aku bersyukur karena Granny Louisa baik padaku. Maksudku benar - benar baik. Daddy dan Aunty juga baik, pada dasarnya, tapi mereka lebih sering mengabaikan keberadaanku. Dan Corrine terlalu sibuk untuk menemaniku, lalu Richard dan Brigitte, mereka punya pekerjaan yang lain. Jadi pada intinya, aku senang hari ini Granny Louisa memutuskan menginap beberapa malam lagi selama Daddy dan Corrine pergi. Ya, Corrine dan Daddy pergi sesaat setelah keluarga Villich berpamitan. Aku tahu dari Brigitte. “Rasanya masih Chocon au Gratin a la Brigitte yang selalu kurindukan.” Granny mendesah senang. “Juliette harus belajar ini kepadamu. Good Job, Dear. ”

Aku tersenyum senang. Wanita itu lalu mengambil tempat duduk di sebelahku, dan menangkup tangan kananku yang bertengger di atas meja. “Aku tahu seharusnya aku mengatakan ini sejak awal kau datang, tapi sungguh, aku berharap aku tidak perlu mengatakan apa-apa, aku tidak ingin. Dan seharusnya tidak ada yang perlu dikatakan.”

Ucapannya membuatku bingung. Jadi aku hanya diam saja tanpa membalas.

“Jangan menghindar. Kami adalah keluargamu.” Lanjut Granny masih dengan tersenyum, tapi matanya seakan menyiratkan kesedihan. “Jangan juga dengarkan kata orang lain. Saatnya ada, saat kamu sudah siap, Daddy mu akan menjelaskan semuanya. Pertanyaan-pertanyaanmu akan terjawab. Jadi jangan menghindar lagi dari kami.”

“Aku tidak menghindar, Granny.” Jawabku agak defensive.

“Maka teruskanlah, Cherie. Jangan pernah menghindar, Okay?” Aku mengangguk kaku. “Kamu bisa meminta Richard mengantar ke mansion kalau kamu kesepian disini.”

Iya, aku bersyukur karena bertemu Granny Louisa disini.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height