L'Automne Du Coeur/C4 L'Automne Du Cœur/III
+ Add to Library
L'Automne Du Coeur/C4 L'Automne Du Cœur/III
+ Add to Library

C4 L'Automne Du Cœur/III

“Mademoiselle Mira, anda sudah bangun“ Suara Brigitte yang serak dan khawatir menyambutku saat aku membuaka mata. Hari sudah nyaris gelap. Pasti aku pingsan cukup lama. “Anda tidur selama 4 jam, Mira. Richard terlihat panik saat membawa anda pulang.”

Aku berusaha bangun, namun rasa sakit di belakang kepalaku menghentikanku. Bau amis darah juga masih terasa kental di hidungku.

“Anda harus minum obat, Mira. Dokter Giusseph sudah memberikan resep dan sudah ditebus Richard tadi siang. Saya akan menyiapkan bubur untuk mengisi perut anda.” Pamitnya sebelum menghilang di balik pintu.

Sepeninggal Brigitte, aku beranjak tertatih - tatih menuju koper besar di sudut ruangan yang belum kubongkar sejak aku datang. Hanya sebanyak itu barang yang bisa kubawa dari rumah saat berangkat ke Belgia. Sambil menahan nyeri yang semakin lama terasa menusuk di belakang kepalaku, aku membongkar kotak kecil di sudut koper. Aku hanya perlu meminum dua butir kapsul tersebut untuk merasa lebih baik saat ini.

Dengan agak tergesa, kutelan dua butir kapsul bening tersebut. Sejenak menikmati rasa lega dan ringan yg memang merupakan efek dari obat ini. Obat ini adiktif dan sangat kuat efeknya. Itulah mengapa dokter hanya memperbolehkannya diminum saat darurat seperti ini dan bukannya rutin seperti mengkonsumsi obat pada umumnya.

Aku bersandar di sudut kamar masih dengan koper yang terbuka. Masih lemas dan malas untuk kembali mengemasi koper dan beranjak dari sana. Aku bahkan masih tetap memejamkan mata dengan damai saat seseorang masuk ke dalam kamarku.

“Mademoiselle, ça va?”

Aku mengangguk menjawab pertanyaan Richard bahwa aku baik - baik saja. Tidak benar seperti itu, tapi aku bisa menjanjikan aku tak akan pingsan lagi. Tiba - tiba kurasakan tubuhku melayang dan mendarat di tempat yang empuk dan nyaman.

“Anda harus makan. Ada obat yang harus anda minum“

“Letakkan saja. Aku akan memakannya nanti, setelah merasa lebih baik.”

“Excusez-moi. Saya tidak tahu bahwa anda alergi dingin."

“Wah, mengejutkan untuk ukuran orang yang serba tahu. Kukira, sampai jumlah rambut di kepalaku saja kau tahu.” Sindirku lemah.

Richard diam menanggapi kesinisanku. Sebaliknya, dia malah menjawab dengan kata-kata tak terduga. “Monsieur, Madame dan Nonna Guireille sedang dalam perjalanan pulang ke Chateau. Sebentar lagi mereka sampai“

Apa?? “Bukannya kalian bilang mereka sedang dalam tugas kerajaan?”

“Betul. Mereka pulang segera setelah mengetahui keadaan anda.”

Sh*t!! Dengan kondisi menyedihkan dan memalukan seperti ini, aku masih harus menghadapi mereka?? Thanks God, you’re so Kind!

“Pergilah. Aku ingin istirahat lagi.”

***

Well ini dia formasi lengkap Guireille; my Daddy of course, tante tercinta adik Daddy satu-satunya Tante Millgueta, dan anak gadisnya yang usianya kira - kira lima tahun di atasku, The ambassador Mademoiselle Corrine Guireille. What a perfect family. Aku jadi mulai penasaran dengan mendiang istri dan anak Daddy yang meninggal tahun lalu di kecelakaan pesawat. Apa seperti ini juga bentuknya? Setegak tiang, sekaku bendrat dan sedingin es?

Richard masih di berdiri di sudut kamar sejak mereka datang berbasa - basi menanyakan keadaanku. Pertanyaan mereka yang aneh dan janggal kutanggapi singkat dan acuh. Hei, aku harus bersikap cuek kan di sini sebagai korban? Kalau keadaannya jadi canggung begini, jangan suruh aku mencairkannya. Bukan aku yang ngotot dan minta diseret untuk berada di rumah ini.

“Sudah kau minum obat dari dokter, Mireille?” Daddy bertanya setelah, dengan suasana janggal dan canggung yang terasa sekali, terdiam cukup lama.

“Menunggu Brigitte menyiapkan makan malam.”

“Ah, benar. Apa kau ingin makan di kamar malam ini?”

“Kalau aku bisa keluar, untuk apa aku masih di sini saja?”

“Benar. Kalau begitu, kami akan datang lagi setelah makan malam untuk melihat keadaanmu“

“Tidak usah repot - repot. Aku sudah tidur saat itu.”

“Ah,” diam kehabisan kata. “baiklah kalau begitu.”

“Kau juga boleh pergi.” Kataku pada Richard tanpa melihatnya.

Aku menghembuskan nafas kuat - kuat setelah sendirian. Entah mengapa, sesaat tadi rasanya sungguh menegangkan dan nyaris tak terkontrol. Untuk apa aku di sini? Nyaris saja kuteriakkan pertanyaan itu kepada Daddy. Alasan apa yang membuat Oma memaksaku menerima tiket ke Belgia ini tepat sebulan setelah kematian Mama. Bahkan aku tidak sempat berpamitan dengan orang-orang yang kukenal walaupun hanya seorang; Shinta. Orang yang kuakui dekat denganku, kubiarkan mengerti diriku dan dengan senang hati kuakui sebagai sahabatku. Ponselku bahkan tidak berguna di sini. Ah, email! Kenapa tak terfikirkan sebelumnya? Tapi aku tidak punya portable atau PC di kamar ini. Aku enggan kalau harus menggunakan satu yang ada di perpustakaan. Brigitte bilang itu tempat favorit Daddy, pasti akan sering di sana saat di rumah.

“Hhhh….” Lagi - lagi hanya helaan nafas dalam penuh frustasi yang kuperdengarkan.

***

Hawa dingin yang menyerbu saat aku membuka jendela kamarku membuat nafasku sesak dan terbatuk. Segera kututup kembali daun jendela dan kembali meringkuk di balik selimut karena lagi - lagi dadaku terasa sakit. Hhh, aku bisa mati kedinginan di sini. Tak peduli sehangat apa pakaian yang kupakai, efeknya pasti terasa cepat atau lambat. Dan hari ini adalah hari pertamaku di ARBA. Quelle parfait!

“Mademoiselle, waktunya anda sarapan sebelum berangkat.”

Kuraih mantel tebal yang serasi dengan topi bulu yang berhasil kutemukan di lemari pakaian dan segera keluar menemui Richard. “Berhenti mengasihaniku. Aku bukan gadis lemah seperti yang kau pikir!” sentakku saat matanya mengernyit melihat hidungku memerah menahan dingin. Cuaca sialan, kenapa semakin terasa dingin?

Sejak kejadian kemarin, kurasakan sikap Richard agak berbeda. Walaupun tetap cool dan cuek, dia tidak lagi judes dan semenyebalkan dulu, bukan berarti sekarang sudah tidak menyebalkan lagi.

“Hai, Mira. Merasa lebih baik hari ini?” Corrine menyapaku di ruang makan. Aku mengangguk, walaupun heran karena dia memanggilku dengan sapaan akrab, aku toh diam tidak bertanya. "Brigitte yang memberitahuku untuk memanggilmu Mira." Seolah mendengar gaung otakku, dia menjawab. Well, pastinya. Karena yang memanggil aku Mira hanya Brigitte. Dan Richard kalau aku nekad memasukkannya dalam hitungan, mengingat dia jarang memanggil namaku dan hanya Mademoiselle. “Mama dan Uncle sudah berangkat pagi buta tadi ke kerajaan. Semoga tidak keberatan sarapan denganku.” Ah, mencoba mengakrabkan diri rupanya.

“Santai saja. Jangan sungkan karena aku.”

Kami sarapan dalam keheningan berdua saja. Richard yang menolak dengan halus saat diajak sarapan bersama menghilang entah kemana. Brigitte pun sudah tidak muncul lagi dari dapur untuk mengantarkan sesuatu.

“Kau benar - benar mirip ibumu. Walaupun aku tidak mengingatnya dengan jelas“

“Kau… tahu tentang Mama?” tentu saja aku kaget. Mama hanyalah salah seorang wanita di kehidupan Daddy yang dulu.

“Mama selalu membawaku kemanapun beliau pergi waktu itu. Membuatku bertemu dengan banyak orang, termasuk Ibumu. Dan aku juga sering melihatnya di rumah.” Dia tertawa melihat alisku yang naik karena ketidakpercayaan dan prasangka. “Tidak semua yang kau tahu mengandung kepahitan. Kuharap, kau mau membaginya denganku suatu saat nanti. Sebagai teman, kalau tidak mau dianggap sebagai sepupu. By the way, aku harus pergi sekarang. Semoga harimu menyenangkan, Mira.”

***

Hari berlangsung lumayan. Yah, sangat not bad sekali dibandingkan dengan keadaanku yang really bad. ARBA’s really awesome! Untuk saat ini, selain fakta bahwa aku tidak punya tempat kembali di Indonesia, keluarga yang tak kukenal, lingkungan yang 180 derajat terasa asing, ARBA adalah penghiburanku. Seandainya Richard tidak muncul dan menyuruhku segera pulang untuk berustirahat, aku pasti betah berlama - lama dengan pensil dan kanvas gambarku.

Aku penasaran, kapan aku akan dibiarkan sendirian di sini. Bukannya sok tahu dan sebagainya, hanya aku tidak biasa dikawal. Sejak kecil aku terbiasa sendirian karena Mama harus banting tulang untuk kami. Dan lagi masih ada Oma yang harus kurawat dan kujaga karena usianya. Tapi sekarang, malah aku yang diperlakukan seperti balita. How bored!

“Apa pekerjaanmu sebenarnya?” Aku basa - basi membuka percakapan. Mau tak mau aku penasaran, apa benar tugasnya hanya untuk menjagaku? Sepenting itukah aku?

“Polisi khusus kerajaan.” Jawabnya pendek.

“Khusus kerajaan? Bukannya tugas mereka untuk mengawal keluarga kerajaan?”

“Benar.”

“Lantas, kenapa malah menjagaku? Aku kan bukan anggota kerajaan.”

“Mungkin anda bukan, tapi Monsieur jelas anggota dewan kehormatan. Dan saya dikirim khusus oleh Ratu untuk menjamin keselamatan anda Mira."

“Menjaga keselamatanku. Bukan menjaga agar aku tidak kabur“ Dengusku. “Tenang saja, selain rumah yang kita tuju, aku tidak memiliki tempat lain untuk pergi.” Terima kasih pada seseorang karena telah membuat Oma - ku, satu - satunya keluarga yang aku punya di Indonesia mengusirku dan menolak keberadaanku.

Mama, seumur hidupku aku tak pernah mengeluh, tak pernah merasa takut dan kesepian. Tak pernah, hingga saat ini. Je t’ai besoin, Mama.I need you, Mama.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height