L'Automne Du Coeur/C5 L'Automne Du Cœur/IV
+ Add to Library
L'Automne Du Coeur/C5 L'Automne Du Cœur/IV
+ Add to Library

C5 L'Automne Du Cœur/IV

Ada yang aneh dengan kamar dan lemari bajuku. Aku sama sekali belum membongkar isi koperku. Tapi nyaris tak ada tempat untuk menaruh dan menata barang - barangku. Kamar ini terisi penuh! Yah, oleh barang - barang perempuan. Mulai dari baju, make - up hingga aksesoris dan tas - tas. Aku tidak yakin kalau untuk kedatanganku, Daddy rela memborong isi butik untuk dipindahkan ke kamar ini.

Tidak, tidak mungkin. Itu pikiran konyol. Ada yang aneh di sini. Kalau memang ini untukku, seharusnya Daddy tahu dari pengawal yang mengawasiku selama ini bahwa aku nyaris tidak pernah memakai rok. Dan aku jelas tidak bisa menggunakan hak tinggi apalagi menggambar wajahku dengan make up. Aku hanya mahir menggambar di atas kertas sketsa dan kanvas. And look, yang ada di lemari dan rak sepatu itu, nyaris semuanya adalah gaun, rok dan higheels.

Aku menutup pintu lemari keras - keras. Aku bingung harus memulai memikirkan ini dari mana. Biasanya otakku cukup cerdas menganalisa sesuatu, tapi entahlah, mungkin ini karena efek jetlag.

Sambil mengangkat bahu tak peduli, aku keluar menyusul Brigitte di dapur. Rumah ini sungguh - sungguh sepi. Berbeda dengan kontrakan kecil kami yang selalu ramai dengan celotehan anak - anak kecil yang memang sengaja dititipkan untuk dijaga Oma. Belum lagi remaja - remaja tanggung yang selalu main bola di lapangan samping rumah tiap sore. Jangankan suara manusia, suara langkah kaki atau gerak - gerik yang menunjukkan adanya aktivitas kehidupan di sini saja nihil.

Aku bergegas mengayunkan langkahku mencari dapur untuk menemukan Brigitte. Beberapa kali aku tersasar karena terlalu banyak ruangan yang memiliki pintu dengan ornamen yang sama. Karena ter-mindset bahwa dapur selalu berada di belakang, maka aku mencoba berjalan terus ke arah belakang hingga berakhir di gudang. Saat menuruni tangga ke bawah tanah, yang kutemukan adalah gudang penyimpanan anggur, lalu berakhir di ruang cuci hingga akhirnya aku mencium bau masakan dan memutuskan untuk mengikutinya.

Oh, my! Aku menyeka keringat saat menemukan dapur. Namun tertegun sejenak saat melihat foto keluarga terdiri dari tiga orang yang Nampak terbuang dan tidak terawat di tembok sudut dapur.

“Brigitte.”

***

“Anda pasti kesepian, Mira.” Komentar Brigitte mendengar ceritaku yang penuh perjuangan untuk menemukan dapur. “Seharusnya Richard menemani anda sampai Mademoiselle Cory datang.”

“Tidak apa. Dia kan harus menyelesaikan pekerjaannya. Aku malah lega tidak ada dia.” Tambahku pelan.

“Richard memang agak indifèrant, tetapi setalah mengenal sifat dan kepribadiannya, sebenarnya dia adalah orang yang hangat.”

“Hangat apanya!” seruku tidak terima. Masih teringat jelas kata - katanya yang merendahkanku mengenai ARBA, belum lagi sifat sok bosy dan sok benar sendiri. Hei, aku tahu definisi hangat, dan sifat - sifat yang ditunjukkan si manusia es itu sama sekali tidak masuk dan tidak sesuai dengan definisi hangat. Aku bingung, sebenarnya siapa majikan siapa pengawal di sini.

Di luar dugaan, Brigitte malah tersenyum. “Anda ternyata lebih hangat dari yang saya bayangkan“

Aku terdiam mendengarnya. Rasa marahku pada Daddy dan kekecewaanku pada Oma membuatku larut dalam kesinisan, dan kekeraskepalaan. Tapi melukis hanya mengalihkan sedikit pikiranku dari jejalan - jejalan yang mengganggu ini. Aku butuh teman untuk bicara, seperti yang Mama lakukan selalu setiap malam sepulang kerja. Karena tidak banyak waktu yang bisa beliau habiskan untuk mengontrol anaknya, maka tiap malam selalu dia sempatkan waktunya untuk mendengarkan curhatanku yang tak berarti. Membantuku memecahkan masalah dan menemukan beberapa ide brillian.

Karena tidak mungkin memulai pembicaraan dengan Richard, maka satu - satunya yang bisa terfikirkan adalah Brigitte. Sosoknya yang keibuan mengingatkanku pada Oma. Terlepas dari sikapnya yang mengusirku agar pergi ke Belgia, beliau tetap Oma yang menyayangiku. Setidaknya dulu, aku pernah merasakan kasih sayangnya. Hanya kenangan - kenangan itu yang membuatku bisa bertahan melewati semua ini.

“Maaf, aku mengganggumu di dapur. Kalau begitu aku kembali saja“

Tapi tiba - tiba Brigitte menahanku saat hendak berdiri. “Maafkan saya membuat anda tidak nyaman. Saya tahu anda kesepian dan asing dengan keadaan disini. Tawaran saya ini mungkin agak kurang pantas, tapi kalau anda merasa nyaman disini dan tidak keberatan berbincang dengan saya, silakan tinggal. Saya akan menyiapkan camilan untuk anda“ Tawarnya sambil tersenyum.

“Merci. Tapi aku tidak mau mengganggumu“

“Sama sekali tidak“

Dan, well, begitulah hari itu berlalu. Aku menemani Brigitte di dapur yang dengan semangat bercerita tentang folklor dan tradisi yang dianut oleh warga kerajaan.

***

Tok !Tok !Tok !

“Mademoiselle? Anda sudah siap? “

Arrgghhh!! Tidak bisakah dia sabar sebentar? Hari ini cuacanya -1 derajat! Dan aku sama sekali tidak memiliki pakaian yang cocok dikenakan dalam cuaca ekstrim seperti itu. Well, salahkan iklim Indonesia yang hanya punya musim panas dan musim hujan!

“Une Minutte! Tunggu sebentar!“teriakku kesal.

Ini benar - benar masalah besar! Bukan, bukan karena tidak ada baju hangat yang bisa kupakai, ehm, ralat; ada banyak baju hangat yang bisa kupakai. Tapi tak satupun dari mereka cocok dengan selera fashionku. Aku mencari sesuatu yang netral dan tidak terlalu girly dan tidak mencolok yang bisa kupakai untuk….

Ceklek!

“Mademoiselle, anda bisa terlambat“

Aku balas menatapnya datar. “Jadi “

Richard menghela nafas dalam sebelum beranjak menghampiriku di depan lemari. “Jadi mari ambil salah satu mantel ini,“ dia mengambil salah satu mantel berwarna hitam yang terlihat berat dan ribet dari lemari. “Pakai seperti ini agar anda tidak kedinginan, “ well, tentu saja dia langsung memakaikannya padaku tanpa permisi, “Dan mari kita berangkat“

Tanpa permisi dia langsung menarikku keluar dari kamar dan langsung masuk ke mobil. Dongkol? Sudah tak tertahankan lagi rasanya. Lantas kenapa aku diam? Bukan tanpa alasan aku diam. Pertama, aku terlalu kaget untuk bereaksi. Kedua, hawa dingin yang tiba - tiba menekan di rongga dadaku saat kami berada di luar membuatku harus berkonsentrasi untuk mengatur nafas agar tidak berakhir pingsan seperti tempo hari. Dan yang terakhir, aku tahu tidak akan membawa perbedaan untukku karena dia lebih keras kepala dariku.

Kami berkendara dalam diam. Heater mobil, walaupun sudah dipasah pada suhu maksimal, tetap tidak mampu menghangatkan keadaanku. Keadaan tersebut terus berlanjut hingga kami tiba di depan gerbang sekolah. Salju yang menumpuk dan lalu-lalang siswa ARBA memberi keuntungan tersendiri untukku, karena tiba-tiba sesuatu melintas di otakku dan menuntut untuk segera direalisasikan.

“Well, Richard.“ Sapaku datar. “Terimakasih karena tidak menanyakan pendapatku terlebih dahulu tentang mantel ini. Au revoir.“

“Madamoiselle! “ tak kuhiraukan seruannya dan langsung berlari melesat bersama puluhan siswa ARBA lainnya memasuki gerbang sekolah. Aku baru berhenti setelah sampai dua kali belokan koridor.

Ah, capeknya…. Dan masih harus berjuang sendiri sepanjang hari di sini ditengah cuaca yang seperti ini adalah perjuanganku selanjutnya. Ah, aku lupa bilang, semewah dan seindah papun mantel hitam yang dipilihkan oleh Richard, dingin yang kurasakan nyaris sama saat berjalan di atas salju tanpa alas kaki! Hell!

***

Richard’s

Aku terlalu banyak bergaul bersama Mira. Perempuan itu sungguh menguras emosi dan kesabaranku, sehingga membuat aku benar - benar jadi penggerutu.

Aku benar-benar merasa bersalah setelah insiden pingsannya itu. Alergi dingin, katanya. Pasti menyiksa sekali karena di sini sedang musim dingin saat ini. Meskipun salju tidak turun sebanyak tahun lalu, tapi cuaca menjadi lumayan dingin. Pantas saja dia selalu tersengal saat berada di luar ruangan.

“Minumlah, Richard. Kau datang terlalu pagi, atau kau ada urusan dengan Monsieur Guireille?” Brigitte, ibu Cedric, yang juga koki maison meletakkan kopi di depanku. Dia sudah seperti ibuku disini. Mengkhawatirkanku dan Cedric saat kami bertugas dan mengurusi kami semua.

“Sedang agak capek. Jadi aku memutuskan untuk datang lebih awal, takut tertidur. Kau berangkat jam berapa, Ced?” Cedric yang sedang sarapan di sampingku

Pria yang lebih tua beberapa tahun itu menjawab sembari melihat jam tangan di pergelangan kirinya. “Lima belas menit lagi. Tapi tidak akan lama sepertinya. Pak Tua itu ingin makan malam dengan putrinya. Pastikan kau memberitahunya hal ini.”

Ya, di antara kami, kami sering memanggil Monsieur Guireille sebagai ‘Pak Tua’. Bukan Pak Tua pemeran antagonis di dongeng anak - anak. Tapi lebih ke Pak Tua seperti santa claus. Brigitte sering sekali protes dengan panggilan itu, tapi kami berdua tetap bandel dan tidak mengindahkannya.

“Okay.” Aku mengiyakan permintaan Cedric. Berharap mood Mira dan moodku hari ini berjalan selaras beriringan.

Cedric berpamitan dengan ibunya dan menepuk bahuku pelan sebelum keluar dari dapur. Brigitte masih memaksaku memakan sesuatu, dan akhirnya kucomot satu croissant buatannya. Beberapa saat kemudian, aku sudah siap di samping mobil di halaman rumah, menunggu Nona Kecil kita keluar dan aku akan mengantarnya ke Akademi.

Cuaca lumayan dingin hari ini. Semalam hujan salju lebat, membuat beberapa pucuk pohon yang kemarin masih berjuang untuk terlihat hijau, kini memutih sempurna. Aku merapatkan mantelku dan memeriksa jam tangan. Sudah hampir waktunya, tapi Mira belum juga keluar. Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, kuputuskan untuk menyusulnya di kamar. Mungkin dia butuh diseret.

Aku mengetuk pintunya tiga kali. “Mademoiselle? Anda sudah siap? “

“Une Minutte!” Suaranya terdengar kesal Ah, pagi - pagi dan moodnya sudah jelek. Lucu sekali, bagaimana bisa mood seorang remaja tanggung ini bisa mempengaruhi moodku juga.

Karena tidak ada jawaban, aku membuka pintu kamarnya. Dia sedang berdiri di depan walk in closetnya. Memilih mantel sepertinya, yang tidak sesuai dengan ukuran dan seleranya. Karena mantel - mantel itu memang bukan untuknya. Ini kamar Arlaine, dan semua barang Arlaine masih tetap disini.

“Mademoiselle, anda bisa terlambat“

“Jadi?“

Aku mendekat padanya, meraih satu mantel hitam yang cukup tebal di sebelah kirinya dan membalik badannya menghadapku.

“Jadi mari ambil salah satu mantel ini, Pakai seperti ini agar anda tidak kedinginan,“ matanya memicing marah melihatku. “Dan mari kita berangkat“

***

“Merci.” Kataku pada Monsieur Arnold penjaga sekolahku, yang telah meminjamiku peta kota Brussells.

“Ah, Mademoiselle!” panggilnya saat aku hendak beranjak pergi. “Kalau nanti Monsieur Richard datang….”

“Jangan bilang apapun padanya, s’il vous plait.” Pintaku memelas. “Please.” Tambahku saat dia hendak membantah keberatan.

“Je le sais, Madmoiselle.” Katanya menyetujuinya

“Merci beaucoup.”

Aku bergegas pergi sebelum Richard datang menjemputku. Ya, hari ini aku tidak ingin bertemu dengannya. Well, teknisnya dia sama sekali tidak salah. Tapi dia tetap bersalah karena aku tidak suka dengan sikap kasar dan sinisnya. Terlebih padaku. Aku memang keterlaluan, kuakui itu, karena telah melimpahkan kekesalanku terhadap Daddy padanya. Tapi toh dia tidak membantu untuk menolong dirinya sendiri.

“Mon Dieu!” Nyaris saja! Aku baru saja melewati gerbang utama saat mobil Richard memasuki pekarangan ARBA. Segera saja aku berlari menjauh untuk menghindar. “Taxi!” seruku saat taxi pertama yang kulihat melintas di depanku. Aku baru bisa bernafas lega setelah beberapa blok terlewati di belakangku.

“Où allez-vous, Mademoiselle?” tanya supir taksi kemana tujuanku setelah agak lama berkendara.

“Oh? Ngg….” Aku sibuk melihat peta di pangkuanku. Well, aku memang buta arah di sini. Tapi bukan berarti aku tidak bisa membaca peta dan menemukan sesuatu yang menarik, kan? Aha! “À Notre-Dame de Bon Secours, s’ill vous plait.”

Meskipun dingin menyiksa kaki, tapi waktu yang berharga seperti ini tentu saja tidak boleh disia-siakan. Mari kita bermain, wahai tuan pengawal.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height