L'Automne Du Coeur/C8 L’Automne Du Coeur/VII
+ Add to Library
L'Automne Du Coeur/C8 L’Automne Du Coeur/VII
+ Add to Library

C8 L’Automne Du Coeur/VII

Cuaca di Belgia kian hari semakin tidak bersahabat. February sudah hampir lewat. Itu tandanya, aku sudah 6 minggu berada di sini. Tapi musim semi belum menampakkan cirinya.

Tunggu! 6 minggu? Sudah selama itu kah? Dan aku masih hidup? Itu suatu keajaiban yang patut dirayakan! Pertanyaannya, dengan siapa aku merayakannya?

Daddy? Aku nyaris tidak melihatnya di rumah ini sejak 2 minggu yang lalu. Kangen? Yang benar saja. Aku hanya tidak melihatnya, bukan berarti aku mencari - carinya di sekeliling rumah. Tapi Brigitte selalu rutin menyampaikan pesan Dadyy padaku. Dia bilang, Daddy sedang di Prancis menemani ratu melakukan kunjungan resmi Negara. Jangan capek - capek, jangan berada di luar terlalu lama, harus makan tepat waktu. Seriously, aku bukan balita. I’m good at taking care of myself!

Tante Millgueta? Tentu saja sibuk dengan urusan istana. Pergi pagi dan pulang malam nyaris seperti bukan manusia. Maksudku, apa dia tidak capek bekerja seperti itu 14 jam sehari 7 hari seminggu? Ehm, aku bukannya bersimpati padanya! Toh dia terlihat selalu bersemangat saat berangkat, walaupun saat pulang ada saja yang dikeluhkannya.

Corrine? Kukira, Miss Universe atau Miss World saja masih kalah sibuk dengan dia. Sebagai duta kerajaan yang sedang mempromosikan potensi daerah terpencil di Belgia, dia harus rutin melakukan perjalanan ke luar negeri. Dan itu membuatnya benar - benar nyaris menghilang dari ingatanku. Bahwa aku masih memiliki saudara sepupu di sini.

Brigitte? Nice listener. But I feel sorry to her everytime I disturb her. Dia kerja kan di sini. Bukan baby sitterku. Jadi aku hanya bisa berbincang dengannya di sore hari, saat dia sudah selesai melakukan pekerjaannya. Berbincang dengan Brigitte membuatku terdengar manusiawi di sini. Yah, bagaimanapun, aku tetap seorang gadis remaja yang beranjak dewasa, yang memiliki masalah khas mereka, kan?

Dan, Richard. Hei, masih banyak orang lain yang harus dibahas di sini, kenapa kita harus membahas ‘dia’? oh, well. Aku lupa, hanya Richard orang yang terdeskripsi di sini. Well, dia… aku tidak tahu apa yang sedang dia lakukan selain mengantar-jemput aku, jadi mari kita akhiri pembahasan tentang Richard hanya sampai di sini.

Oke, mungkin satu hal lagi yang membuat aku dan Richard tidak saling bunuh adalah, kami berdua, oh well, lebih tepatnya aku, sedang menghindarinya sebisa mungkin. Bukan karena aku takut atau tidak punya nyali. Aku hanya sedang sibuk menjelang praktik tengah semesterku, dan I really have no idea how to revenge him. That’s all. Got it?

“Mademoiselle?” Aku tersentak kaget. “Anda baik-baik saja? Anda dari tadi memukul - mukul daun meja sambil menggeram?” Sedetik kemudian, wajahku kurasakan memerah karena malu dan marah.

“Ce n’est pas ton problem.” Sergahku sebelum pergi. Kepo, deh!

Pergi? Ya, saat ini lebih baik menghindar dan tetap hidup untuk menyusun rencana selanjutnya daripada menghadapinya tanpa pemikiran matang. Ya, orang tersebut adalah Richard.

***

Karena ini akhir minggu, dan cuaca sedang lumayan hangat, Brigitte mengajakku ke pasar tradisional di tepi pantai untuk berbelanja ikan dan daging. Matahari memang bersinar lumayan terik, tapi seterik apapun sinarnya, cuaca di sini toh masih kurang dari 15 derajat. Yang berarti bagiku masih sangat dingin. Yah, di Indonesia, suhu 20 derajat sudah masuk kategori membeku. Tapi sudah lumayan daripada hari-hari sebelumnya yang nyaris selalu ada badai salju, hari ini cuaca tenang dan cerah. Langit bahkan terlihat sangat biru karena tidak ada awan yang menggumpal di permukaannya. Rasanya ingin mengabadikannya di atas kanvas. tapi ajakan Brigitte terdengar lebih menggiurkan, jadi lain kali saja melukis langitnya.

Kami pergi berdua saja. Tanpa Richard dan tanpa pengawal lainnya. Aku yang mengusulkan untuk pergi berdua, saat Richard tidak berada di rumah untuk mengawasiku. Dari rumah, kami menaiki taksi sampai dermaga. And you know what? Ternyata pasar tradisional itu dimanapun sama bentuknya. Ramai, penuh, sesak dan berisik. Aku dan Brigitte mendekati salah satu penjual seafood yang sedang membersihkan mejanya usai melayani pembeli.

“Wow, ada kepiting!” seruku girang. Aku suka sekali kepiting. Bukannya lobster yang selalu di sajikan Brigitte untuk makan malam bersama Daddy dan keluarga lainnya. Bukan karena masakan Brigitte kurang enak, atau rasa lobster yang aneh. Aku hanya lebih suka kepiting daripada lobster.

“Anda suka kepiting, Mira?”

“Suka sekali!” aku nyaris menjerit menjawabnya, membuat Brigitte terkekeh.

“Tolong, 10 porsi premium untuk nona ini.” Pesannya tanpa tanggung-tanggung.

“Banyak sekali! Untuk apa?”

“Hari ini Mademoiselle Corrine ulang tahun. Tidakkah anda pikir, ini sebanding sebagai perayaan untuknya karena Ayah anda dan Ibunya tidak berada di rumah?”

“Ulang tahun? Kenapa tidak ada satupun yang memberitahuku? Aku bahkan tidak membelikan kado untuknya.” Aku merajuk sambil bersungut-sungut. Hal ini sudah biasa kulakukan pada Brigitte. Aku lebih sering menunjukkan sisi diriku yang manja dan kesepian saat bersamanya. I told you that she just like my Granny, right?

“Anda bisa membelinya di sini, Mira.”

“Benarkah?” aku kembali antusias.

“Tentu saja.”

Dan aku kembali bersemangat menemani Brigitte berbelanja di sisa hari itu.

“Uh-Oh, ternyata banyak sekali.” aku cengengesan melihat hasil jarahanku di pasar seharian ini bersama Brigitte. Nyaris 5 paper bag besar berserakan di sekelilingku. Belum lagi tas jinjing berisi kadoku untuk Corrine.

Brigitte tersenyum, lalu beranjak menuju bilik telepon umum di sebelah halte tempak aku mengistirahatkan kakiku. Beberapa saat kemudian dia sudah kembali dan duduk di sampingku. Brigitte masih menggunakan telepon rumah dan telepon umum untuk berkomunikasi. Dia luar biasa. Dia bisa mengingat nomor Daddy, Richard, Cedric, Tante Milguetta dan bahkan Granny. Untung saja fasilitas telepon umum di sini masih belum punah seperti di Indonesia. Untuk hal itu, aku iri padanya. seandainya aku bisa mengingat nomor Shita dengan baik, aku pasti bisa menghubunginya. Mereka menahan ponselku. Ponsel jadul yang dibeli Mama sebagai hadiah kelulusan SMP ku. Memang bukan smartphone, tapi cukup untuk berkomunikasi sekedar telpon atau sms.

“Anda kedinginan?” tanyanya saat melihatku menggosok kedua telapak tanganku untuk mendapatkan secercah rasa hangat. Aku hanya tersenyum. “Sebentar lagi Richard akan sampai menjemput kita.

Apa? Hah, apa tidak bisa kita, maksudku hanya aku saja, melewati satu hari tanpa ada Richard? Tepat setelah pertanyaan itu terlintas di benakku, mobil Richard berhenti di depan kami. Well, mungkin jawabannya memang tidak.

“Sepertinya anda bersenang - senang seharian, Mademoiselle?”

“Tidak lagi!”

***

Aku diam nyaris sepanjang perjalanan pulang. Aku malas bergabung dengan Brigitte dan Richard yang sedang membicarakan topic politik dan kerajaan dari tadi. Karena lelah, dan jarak dari dermaga menuju rumah lumayan jauh, tanpa sadar aku jatuh tertidur, melewatkan beberapa pemandangan indah yang tadi kunikmati dalam diam, dan obrolan seru Richard dan Brigitte yang seperti tak ada habisnya.

Aku terbangun kembali saat tubuhku menyentuh bidang empuk. Perlahan aku mengerjap menyesuaikan pencahayaan sekitar. Di kamar rupanya. Dan digendong Richard. Hmh, bukan hal baru, jadi mari tidak membahas itu. Tapi kenapa dia masih berdiri di samping ranjangku dan menatapku tajam?

“Kenapa?” aku bertanya malas. Risih rasanya harus berada satu ruangan bersamanya seperti ini. Apalagi ruangan seintim kamar tidur.

“Anda berusaha terlalu keras untuk menghindari saya Mademoiselle.”

Aku terbelalak kaget.“Maksudmu?”

“Anda terlalu mudah untuk dibaca Mademoiselle,” aku mengerutkan dahi bingung sambil beranjak duduk. “Anda nyaris tidak berbicara kepada saya selama dua minggu berturut - turut.” Jelasnya.

“Lantas? Apa ada sesuatu yang harus kita bicarakan? Apakah ada urusanku yang harus kubahas denganmu ataupun sebaliknya?” dia diam. Masih memandangku dalam diam. “so? Ada yang harus kita bahas lagi? Aku ingin beristirahat.” Aku mengusirnya.

Dia terdiam agak lama, membuat suasana canggung berubah menjadi tegang sebelum akhirnya membungkuk dan pergi keluar dari kamarku.

Siapa yang dulu bersikap kekanak - kanakan dengan membalas dendam dan tidak memperlakukanku secara manusiawi? Dan sekarang siapa yang merajuk karena merasa didiamkan? Quel étrange! Aneh sekali, kan?

Senang sekali, sih membuatku merasa bersalah!

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height