+ Add to Library
+ Add to Library

C4 Bagian 4

Vestele menelan ludahnya ketika ia menyadari bahwa ia sedang berada di kamar penginapan. Vestele melirik Nevarth yang masih tertidur dan menghela napasnya. Dia melakukan itu untuk pertama kalinya selama dia hidup di dunia ini.

Vestele terlonjak ketika mendengar suara Marlie dan Theo yang sedang mencarinya. Dengan cepat Vestele memakai bajunya dan berjalan tanpa suara. Vestele kemudian bisa melihat Marlie dan Theo yang terbang.

“Hei! Aku di sini! Jam berapa sekarang?” tanya Vestele sambil mendekati mereka berdua. Ia berusaha keras menyembunyikan kegugupannya dan mencari alasan agar mereka percaya apa yang Vestele katakan.

Marlie mendesah pelan. “Sekarang sudah jam lima pagi. Apakah kau sudah menemukan kalungmu? Maafkan kami berdua! Aku tahu jika kau kebingungan mencari kami karena kami pergi untuk memainkan permainan di festival ini!”

“Benar. Kami benar-benar lupa jika kau ikut bersama kami. Sepertinya kau tidur di penginapan karena tidak dapat menemukan kami. Apakah kau sudah membayar penginapan itu?” tanya Theo.

Vestele mengangguk dengan kencang. Jangan sampai teman-temannya tahu bahwa dia menghabiskan malam dengan laki-laki. “Tentu saja sudah! Aku selalu membawa uang jika aku pergi ke pemukiman manusia.”

“Baiklah jika begitu. Bagaimana jika kita pulang sekarang? Kepalaku masih terasa pusing karena kami berdua terlalu banyak meminum alkohol,” ucap Marlie sambil memegang kepalanya dan Vestele mengangguk.

Mereka bertiga segera terbang dengan kecepatan penuh. Vestele menoleh ke arah penginapan itu dan mendesah. Sepertinya dia harus berpura-pura bahwa tidak ada apa pun yang terjadi. Lagi pula laki-laki itu hanya manusia biasa.

Namun entah mengapa hati Vestele berdenyut ketika ia memikirkan hal itu. Seolah ada sesuatu di laki-laki itu yang membuatnya tidak bisa melupakan Nevarth. Dia benar-benar mengingatkan Vestele dengan seseorang.

Vestele menahan pilu di hatinya dan mempercepat sayapnya. Dia tidak akan sanggup melupakan laki-laki itu. Dia adalah cinta pertama Vestele. Seseorang yang mengajari Vestele tentang cinta.

Vestele mendesah pelan ketika ia sampai di rumahnya. Ia melambaikan tangan kepada Marlie dan Theo yang juga masuk ke dalam rumah mereka masing-masing. Vestele menatap kalung yang ia gunakan dan memejamkan matanya.

Sebuah kenangan yang ia rindukan berkumpul di dalam ingatannya. Kenangan saat ia masih bersama dengan laki-laki itu. Vestele tersenyum kecil dan membiarkan dirinya mengingat semua kenangan itu.

***

Vina mendengkus pelan ketika ia masuk ke dalam sekolah. Ia baru saja lulus dari SMP dan kini ia sedang masuk ke dalam sekolah barunya. Vina memandang beberapa siswa yang tampaknya sudah mendapat teman.

Inilah hal yang paling tidak ia sukai ketika ia lulus sekolah. Vina harus mencari teman lagi dan ia tahu jika dia sangat payah dalam hal itu. Vina terkejut ketika seorang perempuan tanpa sengaja menabraknya.

“Maaf! Sepertinya ada seseorang yang mendorongku tadi!” pekiknya dengan wajah panik. Vina tahu jika perempuan itu sangat panik karena dia adalah orang asing. Vina tersenyum kecil ketika menyadari sesuatu.

“Tidak apa! Bolehkah aku tahu siapa namamu? Aku tidak memiliki teman dan ini benar-benar menyebalkan. Namaku adalah Vina dan aku berada di kelompok C,” ucap Vina sambil menyodorkan tangannya.

Perempuan itu membalas uluran tangan Vina. “Kau bisa memanggilku Nadin, Vina! Aku juga belum memiliki teman. Omong-omong, kita berada di kelompok yang sama! Bukankah ini adalah hal yang sangat bagus?”

Mata Vina berbinar ketika Nadin mengatakan hal itu. “Kau tidak tahu bagaimana senangnya aku karena kita berada di dalam kelompok yang sama, Nadin. Apakah kau tidak memiliki teman di kelompok C?”

Mereka berdua kemudian mulai berjalan ke tempat di mana para siswa baru berkumpul. Mata Vina menatap beberapa siswa yang tampaknya merupakan alumni sekolah yang sama. Sayang sekali Vina adalah satu-satunya siswa di kelasnya yang bersekolah di sini.

“Sayang sekali tidak. Namun aku memiliki sepupu di sini! Namanya adalah Narendra. Namun dia berada di kelompok yang berbeda. Lagi pula aku juga kurang akrab dengannya walaupun kami adalah sepupu,” sahut Nadin.

Vina mengangguk-angguk mendengar hal itu. Ia menatap seragam Nadin dan menyadari bahwa sepertinya gadis itu berasal dari sekolah swasta. Vina ingin menggunakan seragam sekolah swasta namun ia tidak memiliki uang untuk bersekolah di sekolah swasta.

“Hei, kenapa kau memilih bersekolah di sekolah negeri? Dari seragammu aku tahu jika sekolahmu dulu merupakan sekolah swasta ternama. Kenapa kau tidak melanjutkan sekolahmu di sana?” tanya Vina penasaran.

Nadin menundukkan kepalanya dan tersenyum kecil. “Well, aku dibully saat bersekolah di sana. Jika aku melanjutkan sekolah di sana aku akan bertemu dengan mereka lagi. Aku memutuskan untuk bersekolah di sekolah yang sama dengan Naren.”

Vina tertegun ketika mendengar hal itu. Dia tidak menyangka jika Nadin pernah dibully. Ayolah, dalam sekali lihat saja Vina tahu bahwa dia tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Nadin. Perempuan itu benar-benar cantik.

Mata Nadin bergerak dan ia kemudian melihat sepupunya. “Vina, apakah kau lihat laki-laki dengan seragam kotak-kotak itu? Dia adalah Naren. Aku bisa mengenalkannya denganmu. Mungkin saja kau bisa menjadi pacarnya.”

Vina melotot ketika Nadin mengatakan hal itu. Bisa-bisanya ia bercanda seperti itu saat pertemuan pertama mereka. Vina kemudian mencari laki-laki yang dimaksud Nadin. Saat ia menemukannya, Vina menganga.

Nadin tersenyum simpul melihat pipi Vina yang memerah. “Banyak perempuan yang menyukai Naren karena wajahnya yang sangat tampan! Namun bagiku dia terlihat biasa saja. Tidak ada yang istimewa.”

“Kau gila? Dia benar-benar tampan! Aku yakin jika dia blasteran surga!” pekik Vina tanpa melepaskan pandangannya dari Naren. Vina langsung mengalihkan pandangannya ketika Naren menatapnya.

Nadin melambaikan tangannya kepada Naren. “Jika kau menyukainya, maka aku bisa membantumu untuk mendekatinya. Tapi aku memiliki teman yang jauh lebih tampan dari Naren. Aku sarankan kau memilih temanku saja.”

Vina tertawa. “Kita bahkan belum genap sebulan bersekolah di sini dan kau sudah menawariku semua laki-laki yang kau kenal. Lebih baik kita fokus beradaptasi di sekolah ini. Aku masih gugup memikirkan kelas yang akan aku masuki.”

Nadin mengangguk dan mengenggam tangan Vina. Mereka kemudian duduk di sebuah bangku yang ada. Nadin terus mengalihkan pandangannya sementara Vina memfokuskan matanya ke Naren.

Vina tahu jika sangat tidak mungkin ia menyukai seseorang dalam pandangan pertama namun entah mengapa ada yang berbeda dengan Naren. Dia terlihat berwibawa walaupun mereka baru lulus dari sekolah menengah.

Mereka kemudian memulai acara MPLS yang bagi Vina sangatlah membosankan. Nadin tampak sangat tenang dan ia terus melihat acara yang dibawakan. Vina menguap dan melirik Naren yang sedang berbicara dengan teman-temannya.

Vina menahan dirinya sendiri untuk tidak mengeluarkan ponselnya dan memfoto Naren. Jantung Vina berdegup dengan kencang ketika ia menatap Naren tanpa henti. Nadin sepertinya tidak menyadari bahwa Vina sedang melihat sepupunya.

Naren sepertinya sudah mulai bosan dan ia mulai menatap beberapa siswa yang ada di sana. Vina menundukkan kepalanya dan berusaha terlihat bahwa dia sedang fokus ke acara yang membosankan itu.

Vina melirik Naren dan menyadari bahwa laki-laki itu sudah melihat ke arah yang lain. Vina tersenyum kecil dan terus melihat Naren. Dia bahkan tidak mempedulikan Nadin yang terus memanggilnya.

Vina terkejut ketika Naren menoleh ke arahnya dan laki-laki itu tersenyum.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height