+ Add to Library
+ Add to Library

C6 Bagian 6

Keesokan harinya Vestele segera pergi ke rumah orang tuanya. Ia tidak bisa berhenti memegang perutnya dan terus membayangkan anaknya kelak. Vestele merasa dia harus memberitahu Elisen dan Arel secepatnya.

Vestele tiba di depan rumah orang tuanya dan segera mengetuknya. Arel membuka pintu dan melihat wajah Vestele yang tersenyum. Arel menaikkan satu alisnya ketika melihat pemandangan itu.

“Kenapa kau datang pagi-pagi sekali? Lalu kenapa wajahmu sangat bahagia?” tanya Arel bingung. Dia kemudian segera mempersilahkan Vestele masuk ke dalam rumah. Elisen segera duduk di hadapan Vestele.

Vestele tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Ia memandang perutnya dan tersenyum lebar. “Aku hamil!” pekiknya girang. Arel langsung menganga mendengar hal itu sedangkan Elisen hampir tersedak.

“Apa? Siapa ayahnya? Aku tidak pernah mendengar kau dekat dengan laki-laki. Apakah kau menyembunyikan keberadaannya? Dengar, aku tahu kau sangat senang karena ini adalah impianmu sejak dulu. Namun aku harus bertemu dengan ayah bayi itu,” ucap Arel.

Vestele menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sejujurnya dia tidak peduli dengan Nevarth. Dia bahkan tidak berpikir akan meminta pertanggungjawaban Nevarth. “Dia adalah laki-laki yang aku temui di festival. Namanya adalah Nevarth Caizana.”

“Aku yakin sekali jika dia bukan kaum peri. Apakah dia adalah kaum naga? Aku dengar perkawinan antar kaum sangat berbahaya bagi sang ibu. Apakah kau tidak memikirkan hal itu lebih jauh?” tanya Elisen khawatir.

Vestele menggeleng. “Nevarth bukan peri dan juga naga. Aku benar-benar tidak bisa merasakan auranya. Namun dengan keberadaan anak ini, aku yakin sekali dia memang bukan manusia. Hanya saja aku tidak tahu dia berasal dari kaum apa.”

“Vestele, kau harus memikirkan ini dengan baik. Ada banyak sekali peri yang meninggal karena perkawinan beda kaum. Mereka tidak sanggup menahan kekuatan kaum lain di dalam diri mereka. Apakah kau yakin akan melanjutkan kehamilan ini?” tanya Arel.

“Aku tidak peduli apakah aku akan mati ketika melahirkan anak ini. Aku mohon, ayah, ibu. Kalian tahu aku benar-benar menginginkan seorang anak. Kini aku sudah diberi kesempatan dan aku tidak ingin menyia-nyiakannya,” pinta Vestele.

Arel dan Elisen mendesah pelan mendengar hal itu. Mereka tahu bagaimana penderitaan Vestele di masa lalu. Mereka juga tidak bisa menyalahkan pilihan Vestele. Perempuan itu sangat senang karena impiannya akhirnya terwujud.

Elisen menghembuskan napasnya. “Baiklah. Kau akan tinggal bersama kami sebelum kau bertemu dengan sang ayah. Kau harus memastikan kaumnya agar kehamilanmu bisa berjalan dengan lancar, Vestele.”

Vestele mengangguk senang dan segera memeluk kedua orang tuanya dengan erat. Air matanya kembali jatuh. Entah mengapa kini Vestele merasa dia berada di surga. Impiannya di masa lalu akhirnya terwujud.

“Sayang sekali di dunia ini belum ada teknologi USG. Para makhluk supernatural masih berusaha mengembangkan alat-alat kesehatan dari dunia yang berbeda. Entah kapan mereka akan menyelesaikan alat-alat itu,” keluh Arel.

“Tidak apa. Dengan kekuatan peri, para dokter sudah bisa melihat bagaimana keadaan janin di dalam kandungan. Vestele akan baik-baik saja. Kau harusnya bersyukur karena kita akan memiliki cucu,” sahut Elisen.

Vestele tertawa pelan. Wajah Arel dan Elisen yang tidak menua membuat mereka terlihat tidak cocok untuk memiliki cucu. Pertumbuhan fisik para peri berhenti saat mereka berusia dua puluh lima tahun.

“Kalian sama sekali tidak cocok untuk menjadi kakek dan nenek. Kenapa kalian tidak membuatkanku adik saja? Aku menjadi anak tunggal di dua kehidupan dan itu benar-benar menyebalkan,” ucap Vestele.

Elisen memutar matanya. “Memiliki saudara itu menyebalkan dan juga menyenangkan. Kehamilan peri memang mudah namun bukan berarti para peri akan senang berkembang biak. Kami lebih menyukai kebebasan.”

Vestele mengangguk-angguk mendengar itu. Dia melihat beberapa buah di dapur dan segera mengambilnya. Dengan tenang dia memakan buah itu sambil mengelus perutnya. Mengingat bahwa ada satu nyawa yang sedang tumbuh di dalam dirinya.

“Tunggu, sejak kapan kau suka memakan makanan nyata seperti itu? Bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa kau lebih suka mengambil energi tanaman karena tidak memerlukan proses pencernaan?” tanya Arel bingung.

“Itu benar, namun bayiku membutuhkan makanan karena dia bukanlah peri. Aku adalah ibu yang baik, jadi aku akan memberi anakku gizi yang seimbang. Aku juga harus pergi ke wilayah manusia untuk membeli makanan,” jawab Vestele.

Elisen dengan segera memasakkan beberapa makanan untuk Vestele dan menghidangkannya. Vestele menatap ibunya dan tersenyum riang. Ia kemudian segera menghabiskan makanan itu.

“Berarti kita harus membeli daging dan sayur untuk memenuhi kebutuhan cucu kita. Apakah kau memiliki nama panggilan untuknya? Atau bahkan kau sudah menyiapkan nama untuknya?” tanya Arel semangat.

Vestele berpikir sejenak. Ia kembali mengingat kenangannya dengan Naren. Mereka berdua pernah menyiapkan nama untuk anak mereka. Bahkan Naren juga menyiapkan nama panggilan untuk sang janin yang tidak pernah ada.

“Biru. Aku akan memanggilnya Biru selama ia belum lahir,” jawab Vestele.

***

“Vina, aku dengar perempuan yang terkena PCOS tetap bisa hamil. Namun kenapa kau tidak bisa hamil setelah lima tahun pernikahan kalian? Kau pasti tahu jika kami berdua benar-benar menginginkan cucu,” ucap Ibu Naren.

Vina menundukkan kepalanya. “Aku juga sudah melakukan segala cara, bu. Aku sudah mengatur pola makan dan aktivitasku. Aku sudah rajin berolahraga dan melakukan segala cara. Mungkin saja masih belum waktunya.”

“Aku jadi ragu jika kau memang benar terkena PCOS itu. Apakah kau menyembunyikan kemandulanmu dengan penyakit itu? Aku tahu jika tidak ada masalah dengan Naren dan masalah itu pasti terletak pada dirimu,” ujar Ayah Naren tajam.

“Ayah, jangan memojokkan Vina. Vina sudah berusaha sangat keras untuk mengabulkan keinginan kalian berdua. Vinalah yang akan mengandung dan melahirkan, bukan kalian. Jangan menganggap bahwa kalian bisa mengatur tubuh Vina seenaknya,” sahut Naren sinis.

Naren segera menarik tubuh Vina dan keluar dari rumah orang tua Naren. Mereka berdua terdiam selama perjalanan pulang. Naren terus menghembuskan napasnya. Ia tidak mengerti kenapa ia memiliki orang tua yang menyebalkan seperti itu.

Saat mereka tiba di rumah, Naren segera memeluk Vina dengan erat. “Jangan pikirkan kata-kata mereka, Vina. Mereka berdua bukanlah orang tua yang baik. Jika kau stres karena memikirkan mereka, maka akan sulit bagimu untuk hamil. Aku hanya ingin membantumu untuk mewujudkan keinginanmu.”

Vina mengangguk. Dia tahu. Dia sangat tahu tentang hal itu. Namun Naren tidak mengetahui jika ayah dan ibunya terus meneror Vina untuk menceraikan Naren jika dia tidak dapat hamil.

Setelah berpikir selama beberapa lama, Vina akhirnya menguatkan hatinya. Dia tidak sanggup hidup dalam tekanan kedua orang tua Naren. Ia berkonsultasi dengan pengacara dan kini ia sedang memegang surat cerai di tangannya.

Vina menatap Naren yang masih membaca buku. Ia mendesah pelan dan berjalan mendekati Naren. Naren menyadari Vina dan segera menatapnya. Vina dengan enggan segera menyodorkan surat cerai itu.

Naren menerimanya dan segera membaca surat itu. Mata Naren membulat ketika melihat isi surat itu. Ia menatap Vina dengan tatapan tidak percaya. Vina tersenyum tipis melihat reaksi Naren. “Naren, mari kita bercerai.”

“Apa maksudmu, Vina? Bukankah sudah aku bilang jika kau tidak perlu memedulikan kata-kata orang tuaku? Aku bahkan tidak peduli jika kita tidak memiliki anak!” pekik Naren.

Vina mendesah pelan. “Aku tahu, namun kau pantas mendapatkan perempuan yang lebih baik dariku. Perempuan yang dapat memberikanmu keturunan dan memenuhi keinginan orang tuamu. Aku sudah tidak tahan, Naren. Karena itu mari kita bercerai.”

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height