LITTLE MOMMY/C11 Chapter 11
+ Add to Library
LITTLE MOMMY/C11 Chapter 11
+ Add to Library

C11 Chapter 11

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berani bersuara. Aku harus berontak, karena aku tak bisa dibiarkan terus tersiksa seperti ini.

"Kenapa Lisha nggak pernah disayang, Ma? Apa Lisha anak haram?" tanyaku dengan lirih, berharap hati orang tuaku luluh. Kalau aku anak mereka, karena keiginan mereka aku dilahirkan ke dunia. Aku tak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia, jika tahu hidupku hanya akan membuat orang di sekitarku benci dan selalu pembawa sial.

"Nggak usah banyak tanya! Jangan panggil aku mama!" teriakan Mama semakin membuatku hancur. Aku sempat melirik ke arah Papa yang memalingkan wajahnya. Tubuhku semakin bergetar, jika memang kehadiranku tak bisa diharapkan siapa pun, lebih baik aku tidak hidup di dunia ini. Aku mengepalkan tanganku, rasa untuk bunuh diri begitu besar.

Jika orang beranggapan bahwa orang bunuh diri adalah orang pengecut, kalian salah besar. Orang yang bunuh diri adalah pemberani yang mengambil keputusan saat ia memutuskan nyawanya sendiri, bagaimana saat ia terjun dari gedung tertinggi, saat ia meloncat dari jembatan tertinggi. Seseorang yang bunuh diri adalah orang yang pemberani. Yang bilang pengecut, mereka yang sesungguhnya pengecut, mereka tak tahu beban seperti apa yang mereka pikul. Ya, bagi agama bunuh diri tidak dibenarkan tapi kita harus menarik benang dari akar permasalahan semua ini.

"Tapi, Mama nggak pernah jahat sama Meisha. Kenapa harus Lisha? Kenapa, Ma?" Aku mendesak Mama untuk menjawab. Tapi aku kembali mendapat tamparan di pipiku.

Bahkan, Mama langsung menarik kepalaku ke tembok dan membantingnya berkali-kali membuatku meringis sakit. Aku tidak tahu, ada iblis berwujud orang tua di depanku.

"A-ampun, Ma."

"Mati kau anak sial!" kata Mama setelah membanting kepalaku dengan keras. Mama menganggap kepalaku adalah bola dan berharap kali ini, kepalaku langsung pecah. Ya Tuhan, bagaimana mungkin Kau beri orang tua seperti ini padaku?

Aku menahan tangisku. Seorang Lisha tak boleh terlihat lemah di hadapan para iblis ini. Mulai detik ini, aku menganggap mereka iblis. Mereka bukan orang tuaku lagi.

Aku menutup mataku, memikirkan harus melakukan apa setelah ini. Bunuh diri? Kabur? Jika bunuh diri, maka semuanya selesai. Apa bisa dikata seperti itu? Jika aku mati, semua orang akan bersenang dengan kepergianku, karena nyatanya aku pembawa sial dalam hidup semua orang. Jika kabur, aku harus kabur ke mana? Terkadang sudah kondisi seperti ini, tapi bodohnya aku sempat memikirkan bagaimana sekolahku. Walau aku bukan siswa yang berprestasi tapi aku suka sekolah, aku ingin menjadi seorang yang terpelajar.

Aku menarik napas panjang, terlalu banyak berpikir.

Aku langsung berlari ke kamarku. Dan masih mendengar orang tuaku bertengkar.

"Mama harusnya jangan terlalu keras. Jangan bersikap keras. Lisha masih terlalu kecil."

"Papa jangan menyalahkan Mama. Semua gara-gara Papa, kalau bukan Papa semua nggak akan kayak gini!" Aku langsung mengunci pintu. Jika di novel-novel anak yang dibenci karena mereka membunuh saudara mereka, maka aku bukan seorang kriminal yang membunuh orang. Aku bukan psikopat berdarah dingin yang siap menghabiskan nyawa orang. Aku hanya anak kecil yang haus perhatian, dan kasih sayang.

Aku langsung mengganti baju, dan ingin berbuat sesuatu yang menyenangkan malam ini.

Kubuka laci nakas yang memang sengaja menyimpan beling di sana, dan juga ada pisau lipat yang lumayan keras, dan jika menusuk tepat di ulu hati maka aku bisa merenggangkan nyawa sekarang. Begitu mudahnya nyawa hilang?

Sebelum membuat hal yang menyenangkan, aku meneguk obat tidur dengan banyak kali. Karena setelah ini, aku ingin tidur sampai tak sadarkan diri. Aku ingin mati!

Aku mengunyah obat itu seperti mengunyah permen dan mengaca, aku hanya memakai dalaman sekarang. Bra berwarna coklat dan panties berwarna hitam. Tubuh kurusku terlihat di depan kaca semakin menyedihkan.

Aku tersenyum culas, orang yang disakiti banyak kali, maka ia akan tumbuh menjadi orang yang kejam, tanpa hati, dan tidak berperasaan sama sekali. Apa aku bisa begitu? Masa depan aku akan menjadi orang yang kejam? Walau aku sendiri meragukan nyawaku panjang, karena memikirkan menghabiskan nyawa sendiri semacam ada sesuatu yang menjanjikan di sana.

Tuhan benci orang bunuh diri, harusnya Tuhan bisa mencegah orang-orang yang depresi. Jika manusia hanya bisa bicara tanpa tahu masalah dan beban mental seperti apa yang kamu pikul, cukup ambil tisu yang berbalut luka yang bernanah dan sumpal mulut mereka. Karena banyak orang bisa bicara, tanpa mau tahu cerita aslinya. Setelah dipikir hidup begitu kejam, dan tak adil sama sekali. Siapa bilang hidup itu adil? Satu-satunya yang bisa kita bisa hadapi dengan ketikadailan dunia adalah menerima semuanya.

Berkali-kali aku bisa menerima diriku dibenci semua orang. Tapi terkadang aku hanya anak kecil yang bisa mengeluh, kenapa? Apa artinya aku kurang bersyukur?

Aku memungut, dua bahan yang bikin senang dan terduduk di atas ranjang.

Aku memeriksa lenganku yang banyak bekas garis-garis. Jika kalian depresi cobalah untuk melakukan hal ini rasanya sangat menyenangkan. Aku mulai mencoret dari bagian kiri menyayat hingga kanan dan melihat darah segar langsung keluar. Aku tersenyum. Kalian penasaran rasanya sakit? Tidak! Rasanya gatal, membuatku ingin menancapkan lebih dalam dan mengahasilkan luka yang lebih dalam dan darah yang banyak. Kalau boleh, darahku sampai satu liter keluar malam ini, aku bisa kehabisan darah dan mati sekarang.

"Ah, enak sekali." gumanku. Ponsel sialan berbunyi. Aku lupa, kalau ponselku belum kuperiksa saat terkena hujan tadi. Dengan sisa kesadaran dan kegilaan membuatku harus memeriksa ponselku. Masih aman, hanya layarnya berembun dan menurut mitos aku harus meletakan dalam beras. Besok mungkin aku bisa melakukan hal ini.

+6283185780006

Hey, udah tidur? Langsung tidur ya. Goodnite. Have a sweet dream. 🍯🍯🍯🍯.

Aku tidak tahan untuk memutar bola mataku. Si norak, kenapa ia harus repot-repot memberi pesan padaku? Tapi senyumku terbit sendiri, dia baik, dia hangat. Dia mampu mengalihkan perhatianku dari kejamnya hidup yang aku rasakan.

Aku melihat lenganku yang terasa gatal, tapi jari-jariku lebih gatal untuk membalas pesan itu.

DelishaMara: 😴😴😴.

+6283184780006

Goodnight, sweety🍯🍯🍯. Mau aku jemput besok?

DelishaMara : Jangan! 🤬🤬🤬

+6283184780006

Kenawhy? Biar kamu nggak susah cari angkot.

DelishaMara: No thanks! 😴😴😴

Dan nyatanya aku mengantuk sekarang. Aku langsung membuang pisau dan beling tadi, jika aku membutuhkannya aku akan mencari sendiri.

Aku mencoba menutup mataku, tapi masih terpikirkan oleh pesan tadi. Kenapa laki-laki itu begitu baik padaku? Aku bisa melihat, jika ia tulus padaku. Tapi, kita tidak benar-benar tahu topengnya, apalagi aku hanya mengenalnya atau melihatnya beberapa kali. Bukan bertahun-tahun. Bahkan, orang yang sudah saling percaya selama bertahun-tahun saja masih bisa dikhianati. Apalagi, aku baru mengenalnya, dan ia begitu baik. Apa ia memang tulus atau ada maksud dari semua ini? Dan bagaimana aku membuktikannya?

Aku jadi frustasi memikirkan ini. Bagaimana cara membuktikan, dan bagaimana para iblis ini berhenti membenci diriku. Karena aku juga mulai benci pada mereka sekarang.

Mulai sekarang, Delisha Makara tidak akan memaafkan para iblis itu alias orang tua setan yang membuat hidupku hanya sengsara di dunia ini.

Camkan baik-baik dari seorang anak kecil yang haus perhatian dan kasih sayang.

___________________________

"Pagi ini dingin bangat. Kamu harusnya pakai jaket, atau sweater." Aku tak menghiraukan ocehan jelek itu dan langsung naik ke atas motornya.

Semalaman aku bertukar pesan bersama cowok ini.

"Aku lupa lagi nama kamu." aku-ku jujur padanya, cowok tinggi itu berbalik padaku yang siap memasukan helm dalam kepalanya

Aku suka dengan wanginya, wangi tubuhnya menyenangkan.

"Ayden, baby."

"Ewhhhh..." Aku mencibir kesal. Dasar norak dan alay.

Akhirnya Ayden mulai melajukan motornya. Semalaman kami memang tidak tidur, aku dan dia saling bertukar pesan sampai subuh hari. Saat pukul 4.37 ia menyuruhku mandi dan pergi sekolah pagi buta. Dan kedengarannya sangat menggirukan, pergi ke sekolah saat masih pukul 6. Aku pun, langsung mandi. Dan sekarang, belum genap jam dan kami sudah menuju sekolah, di saat yang lain mungkin masih bergumul dengan selimut.

"Peluk aja kalau dingin." Aku tersenyum dan memeluk cowok itu. Punggungnya juga membuat nyaman. Aku menutup mata dan menghirup aroma tubuhnya yang wangi. Jalanan juga masih lengang, kecuali para pedagang di pasar yang mau berjualan di pasar dengan membawa barang dagangan dan ibu-ibu yang mau masak.

Cowok itu melajukan motornya dengan pelan, lagian mau buru-buru ke sekolah juga pasti pagar sekolah belum dibuka.

"Kamu ngantuk, nggak?"

"Uhmm. Sedikit."

"Mau tidur?"

"Kan kita mau sekolah?"

"Masuk jam 8. Kita punya waktu 2 jam untuk tidur." Mataku langsung terasa berat. Benar juga, lagian aku bodoh sekali kenapa tak tidur semalaman padahal sudah meneguk obat tidur dan berakhir begadang, chatting tak jelas dengan tak ada ujungnya.

Cowok itu membelokan motornya ke rumah panjang yang berjejeran. Kos-kosan? Aku melihat sekeliling, dan kos masih pada tutup. Mungkin semua orang masih tidur.

"Ini rumah siapa?"

"Rumah orang?"

"Hey, kenapa harus di rumah orang?"

"Ayo."

"Ahhhhh..." Aku langsung terpekik kaget saat cowok itu langsung mengendong tubuhku. Dia mengira tubuhku nangka busuk. Hufh... Sialan!

Cowok itu, langsung membuka pintu warna coklat yang terbuat dari kayu keras, aku menduga dari kayu jati.

Kos itu terasa sempit. Walau kamar dan rumahku seperti neraka, tapi kamarku lebih baik dari kamar kos ini. Dalamnya sempit dan terasa sumpek? Mungkin karena tidak ditinggali.

Aku melihat ada dispenser, ada kasur kecil, dan kamar mandi di dalam, yang setelah kuintip sangat sempit. Ada TV begitu kecil, ada printer. Ada kipas berdiri berwana hijau.

Cowok itu membuka jaketnya dan dia memakai seragam sekolah. Kukira, ia mau bolos. Aku selalu suudzon padanya, padahal ia tidak jahat.

Cowok itu menghidupkan kipasnya.

"Kamu udah sarapan?" Aku menggeleng. Alasan aku berangkat pagi buta karena tak ingin melihat wajah para iblis itu yang membuatku secepatnya ingin mengakhiri nyawaku sendiri.

"Yaudah, aku beli sarapan dulu. Tidur aja."

"Aku ikut?" Aku menawarkan diri setelah melihat keadaan sekeliling kamar kos yang sedikit horor. Keadannya membuat tak nyaman.

"Tunggu aja, nggak lama kok. Paling beli bubur ayam di depan gang." Aku mengangguk, mencoba memegang kasur tipis tersebut.

Aku merebahkan tubuhku, rasanya tulangku remuk semua padahal tidak ada perkejaan berat yang kulakukan. Mungkin karena telalu banyak pikiran yang membuat banyak menguras energi.

Aku mencoba menutup mataku, dan mengingat wajah para iblis dan senyum kebahagiaan di wajah Mereka dan saat mereka tertawa bahagia ketika melihat aku pergi dari kehidupan mereka selamanya. Benar, tergambar jelas mereka ingin aku mati!

Aku mengepalkan tanganku. Walau di luar udara dingin menusuk, sekarang keadaan kos yang sempit membuat tuhuhku berkeringat. Atau karena memikirkan para iblis itu membuatku tak nyaman. Jika sudah besar, aku takkan pernah mengenal mereka. Mungkin, aku akan hidup sendiri mengungsi di suatu tempat yang nyaman dan semua orang di masa lalu dan yang tak ada yang mengenalku di tempat baru. Astaga aku masih terlalu kecil untuk memikirkan itu.

Lelah sendiri, aku memilih untuk memikirkan hal yang indah. Hanya dengan berkhayal aku bisa menemukan kebahagiaan dan juga ketenangan dalam hidupku. Dan berharap di ujung dunia sana, atau ada satu tempat yang menjanjikan dunia yang indah padaku, tanpa para iblis tersebut.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height