LITTLE MOMMY/C2 Chapter 2
+ Add to Library
LITTLE MOMMY/C2 Chapter 2
+ Add to Library

C2 Chapter 2

Tentu kalian masih ingat, kecantikan ini musibah bagiku. Maka, itu berlaku itu berlaku bukan hanya di rumah tapi di sekolah.

Jika seorang gadis cantik menjadi idola dan disanjung maka, aku dijauhi. Hanya para laki-laki di sekolah yang terang-terangan menyukaiku atau ada yang hanya melihatku dengan terpana.

Jika semua berusaha merawat diri agar secantik mungkin, aku membenci semua yang ada pada tubuhku. Aku hanya ingin biasa aja, diterima keluargaku dan mempunyai teman. Tapi ... tidak ada yang memihak padaku. Nasibku begitu sial!

Aku hanya duduk di kursi paling pojok, sambil memandang orang-orang di luar yang mempunyai teman masing-masing dan membentuk koloni masing-masing, maka aku akan berteman dalam sepi.

Perutku terasa melilit. Kualihkan pandanganku ke jam dinding di atas papan tulis bergambar president sedang tersenyum. Pak President ada nasib rakyatmu yang sangat menderita sekarang.

Pukul 10.40. Sudah istirahat sepuluh menit berlalu, tapi aku enggan mengangkat bokongku untuk mengisi perutku. Karena jika di kantin yang rame, para lelaki memandangku kagum dan perempuan yang memandangku tak suka, iri, bahkan ada yang jijik. Entah apa masalahnya. Jika sudah sepi kantin dan guru sudah masuk ke dalam kelas, aku akan pura-pura ke toilet sekalian ke kantin untuk makan. Jika kalian bertanya apa kau tidak sarapan? Ya ... aku jarang ditinggalkan sarapan di atas meja. Jika ada, hanya sisa. Roti gosong, atau bubur sisa Meisha.

Aku dan Meisha dan Kak Geisha satu sekolah. Kakakku sudah kelas sebelas. Sedangkan aku baru memasuki kelas sembilan tahun ini. Usiaku masih 14 tahun, jika kalian mempertanyakan kehidupan berat yang aku jalani dengan usia semudah ini. Meisha baru kelas tujuh. Dan kami seperti bukan saudara kandung. Bahkan, mungkin tidak ada yang tahu. Jika Meisha yang mempunyai segalanya dan perlengakapan dan previlege yang diberi orang tua kami.

Aku tak pernah diberi uang jajan. Biasanya nenek yang rajin memberi uang jajan, dan dari sana aku bisa berhemat untuk jajan dan kebutuhan sekolah mendadak, seperti tugas kelompok, beli buku atau kebutuhan pribadi lainnya.

Gedung sekolahku bergabung dengan SMA Nano-Nano. Jadi ... aku satu gedung bersama dua saudariku yang membenciku lahir-batin.

"Anjerr ... ini kelas lo kak?" aku mengalihkan pandanganku dari pohon jambu di samping kelas dan memandang adikku. Penampilannya begitu rapi dan anggun. Walau fisikku lebih unggul dari mereka semua. Di rumah, Meisha akan berkelakuan seperti anak TK dan dimanja sedemikian rupa. Jika di sekolah, ia akan berteman dengan kakak kelas famous. Anak-anak terkenal di sekolah. Walau kecantikan mereka tak bisa mengalahkan fisikku yang lebih unggul. Tekstur ototku begitu pas di wajahku.

"Eh, kalian punya kacung juga di kelas." ujar Meisha memandangku dengan tersenyum usil.

"Oh. Si kacung emang sih. Entah dari lubang goa mana. Tapi herannya ada aja cowok yang suka. Crush lo si Jovan pun." sindir Meti. Aku sering menyebutnya jambu mete, buah kesukaan monyet. Kelakuannya seperti monyet. Tapi aku malas, untuk berurusan dengannya jadi memilih diam.

"Anjim gitu. Bangsat si Jovan! Lagian dia emang lonte sih pasti!" aku biasa saja mendengarnya. Sudah terlalu kebal orang menyebutku kata itu. Padahal aku tidak melakukan apa-apa. Hanya karena kelebihan fisik dan semua laki-laki mengejarku lantas aku mendapat gelar ini. Bahkan, ibu kandungku sendiri mengatai kata laknat itu.

Malas berdebat, aku merebahkan kepalaku di atas meja. Dan sambil menunggu semuanya masuk kelas, dan giliranku untuk makan. Perutku semakin merintih. Aku tidak bisa menyiapkan sarapan untukku. Pertama, Mama akan sibuk menyiapkan sarapan di dapur, jika aku di dapur Mama akan mengamuk dan membuat yang lain gagal sarapan. Kedua, jarak sekolah dan rumah lumayan jauh membuatku harus menunggu angkot sepagi mungkin agar tidak terlambat. Jadi, aku sudah terbiasa tidak sarapan.

"Jadi satu kelas bersyukur sekelas sama si kacung?"

"Males! Pintar juga kaga." aku termasuk siswa rata-rata. Tidak pintar, tidak juga bodoh. Aku hanya siswa standar pada umumnya yang terlalu menonjol. Jikapun, aku tahu jawabannya aku memilih diam, karena akan mengundang semua perhatian. Padahal, aku benci semua mata tertuju padaku. Aku tak suka jadi pusat perhatian. Terbiasa diabaikan dan tidak dianggap sejak kecil, membuatku tak suka dipandangi banyak mata dengan berbagai pandangan.

___________________________________

Aku sedang meminum minuman teh dalam satu gelas yang dingin sambil mencubit roti dengan buru-buru karena gurunya sudah masuk dan giliran aku keluar. Walau harus diomeli oleh Pak Abdul, bahwa kenapa aku tidak ke toilet saat istirahat.

Dua bungkus roti ada di depanku. Walau sudah masuk, masih ada siswa bandel sepertiku yang tetap pergi ke kantin.

Tiba-tiba aku melihat banyak gerombolan anak laki-laki dengan seragam khasnya SMA. Oh, anak gedung sebelah. Aku hanya menunduk, tak ingin jadi pusat perhatian. Aku menutupi wajahku dengan rambut panjangku.

"Bude ... rokok sumsa satu bungkus." aku ingin termuntah. Tak menyangka, jika Bude kantin kong-kalikong bisa menjual rokok di sekolah. Apa tidak ketahuan guru? Tapi, sejak awal aku malas berurusan dengan orang lain. Aku tak ingin ribet, hidupku sudah runyam saat pertama kali aku diberi nyawa.

"Sepi nih. Boleh duduk sini. Kalian awasin aja si bodat. Sama baling-baling bambu." sumpah! Aku langsung menelan roti itu bulat-bulat. Apa katanya? Bodat? Baling-baling bambu? Aku tahu siapa gurunya. Aku hanya menggeleng. Bisa-bisanya mereka tidak sopan seperti itu. Aku masih menunduk.

"Pergi dek." usir seorang laki-laki tinggi sambil mengembuskan asap rokok. Aku mengangkat wajahku dan melihat sekitar lima orang remaja laki-laki memandangiku. Seperti makhluk visual yang lain, semuanya pasti terpana dengan kecantikan fisik yang aku miliki. Mulutku masih penuh dengan roti, sayang jika tak dihabiskan.

Aku menatap cowok yang berdiri dengan mendekap dadanya. Ada yang rambutnya keriting. Cowok yang bersedekah dada memandangku lekat, kulihat jakunnya naik turun. Sejujurnya, aku sudah terbiasa dengan pemandangan itu. Tapi tatapan matanya beda.

Aku berbalik memandang cowok yang mengembuskan rokoknya. Akhirnya, aku harus bangun karena bisa-bisa aku dipalak.

"Misi." aku masih berusaha sopan, sambil menunduk. Tak ingin berurusan dengan para preman ini.

"Jangan dulu Nona manis." aku menatap cowok yang sedang merokok itu dengan menantangnya.

"Saya mau masuk kelas." bantahku.

"Tidak semudah itu manis."

"Siapa namanya?" laki-laki itu mencolek pipiku. Aku menepisnya. Aku boleh dikatai murahan. Tapi untuk action, big no!

"Jingan! Sombong bangat asu..." mami cowok itu. Aku tak gentar. Aku menatapnya tak suka.

"Udah-udah, bubar." laki-laki tadi yang menatapku dalam tiba-tiba menarik tubuhku dan menjauhkan dari temannya.

"Ini cewek gue. Jadi, jangan ganggu lagi." laki-laki itu memeluk lenganku dan meremas lenganku kuat dan menuntunku keluar dari sana.

"Terima kasih." ujarku lirih.

"Jumpa lagi. Aku Ayden." cowok itu tersenyum begitu manis, dan menepuk-nepuk kepalaku dengan sayang.

Aku hanya menatap punggungnya menjauh dan sadar, dia seperti pelindungku.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height