LITTLE MOMMY/C3 Chapter 3
+ Add to Library
LITTLE MOMMY/C3 Chapter 3
+ Add to Library

C3 Chapter 3

Aku melangkahkan kakiku keluar dari pintu, dan terduduk di balkon ditemani oleh udara dingin dan juga suara nyamuk. Aku hanya tersenyum karena hal remeh, bisa melihat bintang bersinar di atas sana. Rasanya ingin menjadi bintang saja, bisa membuat hati yang lain bahagia, dan juga bisa menyinari, betapa bergunanya Tuhan menciptakan bintang. Tidak denganku.

Aku memeluk lututuku sendiri, ditemani kesepian seperti biasa. Memangnya apalagi yang aku harapkan? Aku hanya memperhatikan para semut di bawah, hanya melihat pergerakan semut saja, sudah membuatku bahagia bukan main. Mungkin karena faktor tak ada kawan dan juga tak tahu bagaimana itu bercanda, aku mudah tertawa pada hal receh seperti ini.

Aku memeluk lututuku sendiri dan tersenyum. Ya hanya tersenyum. Jika orang rumah mendapatimu seperti ini, mereka pasti mengiraku sudah gila. Biarlah, toh mungkin jiwaku memang sudah gila dari sana.

Aku menendang-nendang kecil kakiku, dan bertepuk tangan. Mungkin hanya bayangan kawan setiaku saat ini. Walau begitu aku senang, karena masih ada 'teman'.

Sekarang sekitar pukul 22.26. karena sebelum menginjakan kaki keluar 22.11. tebakan receh seperti itu, nyatanya membuatku terhibur dan tak merasa kesepian. Aku sudah makan, ketika sore tadi sebelum ada yang menangkap pergerakanku, di dapur. Sebelum itu, aku membuat susu untuk menghangatkan perutku dan juga sebagai penunda lapar, hingga besok di sekolah. Ya, sudah terbiasa jadi tak ada yang perlu diratapi disini. Kehidupan yang keras, mengajarkanku untuk tidak cengeng karena terlalu banyak eliminisai bisa membuatku tersingkir hidup di alam ini.

Aku suka mendengar musik, dan ingin sekali belajar bermain gitar. Ketika sendirian seperti ini, bunyi ketikan dari senar gitar berharap bisa mengobati sedikit rasa gundah gulana karena hidup ini.

Biasanya, aku akan duduk di luar hingga merasa sudah tak sanggup dan masuk ke dalam kamar dan tidur, walau sering tersadar karena rasa cemas yang berlebihan.

"Lisha hanya anak kesepian." gumanku sendiri. Aku menggeleng, kenapa aku harus mengeluh? Bukankah kesepian sudah menjadi nama tengahku?

Entah kenapa, aku ingin nekat turun dari balkon dan berjalan di kegelapan malam yang dingin. Aku menimbang semuanya dan sepertinya ini akan menarik. Akhirnya, aku mengambil bed cover milikku yang sedikit panjang, dan mengikat di salah satu tiqng. Setelah memastikan semuanya aman, aku melihat ke bawah, rumput yang lumayan empuk, membuatku tidak akan kehabisan darah, seandainya kain ini robek. Di depannya tepat berhadapan dengan gudang. Kutarik sekali lagi kain itu, setelah merasa kuat, aku menaiki balkon dan memegang kain tersebut.

Aku memegang tiang balkon dengan erat, dan memindahkan tanganku ke kain pengikat tadi dan langsung meluncur walau sedikit takut, jika kain robek atau tanganku licin dan berakhir tulangku patah. Kesakitan dan kesepian adalah jiwaku, harusnya aku tak perlu menakuti ini semua.

Walau mendarat dengan tak mulus, membuat bokongku mencium lantai dengan begitu keras, tapi aku senang dan sedikit mempunyai teman sekarang.

Akhirnya, aku melangkahkan kakiku dengan telanjang dan menginjak rumput yang tajam-tajam menusuk kakiku. Aku memeluk diriku sendirian, tak ada tujuan. Aku hanya berkeliling di komplek rumah, sambil berjalan tanpa arah.

Kebanyakan, semuanya sudah sibuk dalam rumah masing-masing dan bercengkrama bersama keluarga masing-masing.

Aku memeluk tubuhku sendiri, sambil memikirkan bagaimana keluargaku tengah berbincang mesra di ruang keluarga, dan membiarkan TV menyala. Dengan fokus utama Meisha, karena Kak Geisha akan sibuk belajar dengan buku selalu di tangannya. Meisha akan bermanja di pangkuan mama, sambil membicarakan kegiatannya di sekolah, seperti anak yang membanggakan. Padahal, aku tahu betul bagaimana Meisha itu di sekolah. Ah, sudahlah kenapa aku harus mengurus dirinya? Jika diriku, begitu menyedihkan.

Kulihat, ada beberapa anak muda sedang duduk di teras rumah sambil bercengkrama. Kadang, aku sering berpikir, kapan aku bisa mempunyai teman sejati. Tapi, rasanya begitu sulit kugapai. Aku adalah anak manusia, yang terlahir dengan keadaan sudah berdosa.

Udara dingin, rupanya berganti dengan hawa yang panas sekarang. Kaki telanjangku juga, rasanya sudah tak kuat untuk menyentuh setiap batu kerikil yang kecil. Bahkan, sudah luka di bawah sana. Akhirnya aku putar arah, kembali ke rumah. Mungkin sekitar empat puluh lima menit berjalan, lumayan membakar kalori walau tubuhku kurus dan ringkih karena jarang makan. Aku mengelus perutku, dan terus berjalan ke rumah.

Terkadang, aku masih mempertanyakan sampai kapan aku akan diperlakukan seperti ini. Walau aku selalu mempunyai satu keyakinan kuat, hidupku bisa berubah. Layaknya roda, atau langkah. Kita pasti terus melangkah, ke arah yang lebih baik.

Kupandangi rumah yang nyatanya jadi neraka buatku, hanya rumah dua lantai yang teak terlalu besar, tapi mampu membuatku hidupku terasa berat ketika aku menginjakan kaki disana. Ketika, aku melangkah memasuki lantai yang dingin tersebut, aku tahu apa yang akan terjadi nanti.

Aku memasuki dengan pelan, membuka pintu pagar. Mendorongnya kembali dengan perlahan dan mengendap-endap lewat samping rumah yang langsung berhubungan dengan dapur.

Aku mendorong pelan pintu, dan bersyukur lampu dapur telah dimatikan. Dengan begini, aku bisa mencuri makanan membawa ke kamarku.

Aku membuka kulkas, mencari makanan sisa. Aku langsung memakan dengan lahap, beberapa potongan cake entah kapan tersimpan di sini.

"Oh bagus. Malam keluar melacur, dan sekarang lapar? Kenapa nggak beli makanan di luar?" mulutku yang masih terisi penuh langsung kutelan bulat-bulat dan tak berani menatap Mama yang memandangku buas.

"M-mama." tegurku takut.

"Jangan panggil aku mama anak sialan! Kenapa nggak jual diri, biar bisa makan enak?"

Aku hanya menunduk. Rasa ingin melawan begitu kuat, tapi aku tahu aku tetap akan berada dalam posisi yang lemah.

"Kenapa nggak melacur aja hah?!" tanya Mama dengen berteriak. Aku berbalik menatap Mama dengan menantang.

"Lisha bukan pelacur!" balasku tak mau kalah, dengan air mata yang terus bercucuran.

Plak!!

Mama langsung mendekatiku dan menamparku. Membuat kepalaku langsung terasa pusing, dan pipiku terasa panas dan perih.

"Kenapa mama nggak pernah sayang Lisha?" tanyaku degan lirih. Aku tak pernah menanyakan ini, karena ujungnya hanya akan ada jawaban berupa tamparan, tapi malam ini mulutku sedikit gatal.

"Kamu hanya anak pelacur. Jangan panggil aku mama!" balas Mama tak kalah kuat dan membanting gelas ke lantai, membuat gelas itu hancur begitu juga dengan hatiku yang rasanya remuk. Aku tak pernah menemukan alasan pasti dengan semua pembencian ini. Dalam logikaku, alasan mama terlalu mengada-ada. Memangnya aku pernah minta untuk dilahirkan? Jika tahu, hidupku akan sesusah ini, aku tak perlu berlomba dengan sperma lain untuk cepat mencapai garis finish. Lebih baik aku mengalah.

Aku memungut pecahan beling itu, dan mengoreksinya di lenganku. Ya, setelah mengetahui hal menyenangkan ini, aku sering mengores tanganku, bahkan sebelumnya saja belum sembuh.

Kutancapkan sedikit dalam dan mulai menggoreskan sepanjang lenganku dan melihat darah segar itu mengalir. Tak ada rasa sakit, yang ada hanya kepuasan. Aku puas, melihat darah.

Aku berjalan ke kamarku sambil terus mengores tangaku hingga, mataku berkunang karena banyak sekali hilang darah.

Setelah melukai diri dengan dua sisi. Bagian kiri dan kanan, aku masuk dalam selimut, berharap bisa sembuh dari luka ini atau masih banyak kesempatan besok, untuk menambah koleksi luka di lenganku.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height