LITTLE MOMMY/C4 Chapter 4
+ Add to Library
LITTLE MOMMY/C4 Chapter 4
+ Add to Library

C4 Chapter 4

"Akhirnya kita berjumpa lagi cantik." ujar seorang cowok norak di depan gerbang. Aku tak menghiraukan, dan memasuki gerbang dengan memakai tas ransel milikku yang berwarna kuning, terlalu mencolok bahkan mungkin norak. Ini adalah, tas pemberian nenek saat aku memasuki SMP kelas VII.

"Siapa namanya?" tanya cowok itu sambil menarik tasku. Andai tali taksi putus, maka nyawanya juga akan putus. Kupastikan itu. Aku menyikutnya dengan tak senang. Malas sebenarnya berurusan dengan anak-anak seperti ini. Hidupku sudah terlalu banyak masalah, dan tak ingin menambah beban baru.

"Wes ... Sombong bangat maniez ... Nih, kalau lubangnya dimasuki ramai-ramai seru kali ya." ujar cowok yang kuingat saat merokok dulu. Oh, izinkan aku untuk menendangnya ke Venus sekarang.

Aku hanya memutar bola mataku malas, dan berjalan terus. Si sialan itu menahan lenganku, yang mana itu adalah bekas aku mencoret diriku, dan saat luka yang belum kering itu tersentuh aku bisa merasakan bagaimana perihnya.

"Lepasin sialan! Sakit." teriakku. Tapi, si sialan itu semakin mencengkram kuat lenganku, membuat seragam itu perlahan berwarna. Aku langsung menendang selangkangannya.

"Awh ... Anjing! Betulan di nendang pusaka aku." cowok itu meringis sakit sambil memegang miliknya. Kulihat matanya, menatapku dengan amarah yang besar. Dia yang salah kenapa aku harus takut. Aku menunggu disana sambil menantangnya.

"Heh perek kecil!" maki cowok itu sambil berjalan ke arahku. Tiba-tiba tubuhku terasa kaku, walau aku juga sudah mengambil ancang-ancang jika ia datang meninju wajahku.

"Weh ... Kalem man. Ini cewek, gila Lo. Anak orang nggak salah."

"Ngelunjak nih perek kecil. Macam gini, aku rusaki sekali selesai." tantang cowok it masih tak terima. Sebenarnya aku sudah merasa ketakutan sekarang. Kulihat keadaan sekeliling yang masih sepi. Aku tak bisa meminta tolong, terpaksa aku harus melayani ini sendirian.

"Kau cowok banci! Berani lawan cewek." aku menantangnya dengan rasa gentar. Walau aku bisa mendengar detak jantungku. Cowok itu langsung berlari ke arahku, tapi ditahan oleh teman-temannya. Jika di berani memukulku, maka ia bisa dikeluarkan dari sekolah ini. Jadi, aku harusnya tak perlu takut dengannya.

"Anjing nih perek! Tunggu kau ya. Nggak akan selamat lagi." Ancam cowok itu. Nyaliku langsung menciut, setelah ini aku akan merasakan dua kali lipat apa itu neraka. Oh Tuhan, selamatkan hidupku.

"Kalian bawa dia bro. Udah nggak sehat nih si Jovan." ujar cowok yang menolongku tempo hari. Aku hanya memandang cowok yang ditarik oleh teman-temannya menjauh.

"Kita tunggu tanggal mainnya perek! Kau akan hancu!"

"Banci." aku mencibirnya. Ah, paling dia hanya anak mami yang masih berlindung dibalik ketiak ibunya.

Cowok yang menolongku menatap temannya menajuh. Malah, para cowok-cowok yang berisi tiga orang sedang berkelahi di depan gedung sekolah mereka.

"Aku lupa. Oke, aku nggak ingat nama kamu. Tapi, kalau jumpa dia tolong menghindar. Dia benar-benar bahaya, dan ancamannya beneran. Jovan nggak pernah ngancam main-main."

Aku melihat darah kering di lengan kemeja seragam dan menatap cowok yang sedang memasukan tangannya dalam saku, dan menilit dirinya. Ia tinggi.

"Bilang sama temanmu. Aku nggak pernah ngusik hidup mereka, kenapa aku harus takut? Kalau dia beneran, berati dia banci." cowok itu menggeleng dan mendekat ke arahku. Aku beringsut mundur.

"Dengar ya dek. Pokoknya, kalau di sekolah jumpa dia menghindar. Kalau bisa, ke kantin atau ke sekolah bawa kawan, biar si Jovan nggak berani."

"Aku lapor guru."

"Bukan dek. Argh ..." cowok itu mengacak rambutnya. Aku hanya berdiri disana, sambil menatapnya.

"Pokoknya ingat pesan aku itu ya. Oh iya, siapa namanya?" aku memicingkan mataku ke arah cowok ini, apa ini adalah salah satu modus.

"Kamu modus?" tuduhku dengan polos. Cowok itu menggeleng dan tersenyum. Entah kenapa, melihat senyumannya ada kedamaian yang menjanjikan dari terbitan senyum itu.

"Enggak. Aku Ayden, kalau kamu lupa." aku hanya mengangguk. Cowok itu mengacak rambutku dengan gemas, aku menepis tangannya.

"Siapa namanya?"

"Memangnya penting?"

"Dengar ya dek. Mulai sekarang, hidup kamu nggak akan tenang lagi. Kamu udah mengusik harga diri seorang Jovan. Jadi kalau ada dia, sembunyi. Mengerti?" tanya cowok itu seperti aku anak umur lima tahun. Tapi, akhirnya aku mengangguk juga.

"Siapa namanya?" cowok itu mengulurkan tangannya, melihat senyumannya dan juga ketulusannya aku mengulurkan tanganku.

"Lisha." dia tersenyum. Aku hanya menatapnya polos. Aku suka melihat senyumannya.

Tiba-tiba aku melihat mobil yang sangat kukenali, ada Mam dan Papa yang mengantar Kak Geisha dan Meisha. Kulihat, Kak Geisha sudah turun di deoan gedung sekolahnya. Mama pun turun dan menciumi Meisha di seluruh wajahnya dan mencium anak kesayangannya berkali-kali. Tanpa sadar aku meremas tangan cowok itu. Ketika sadar, aku menarik tanganku dan menunduk.

"Hati-hati sayang. Belajar yang pintar, semuanya udah Mama siapkan." Mama bahkan mengantar Meisha hingga ke dalam. Aku hanya memandang keluargaku dengan iri. Keluarga? Ah, mereka memganggapku bukan dari keluarga mereka.

"Dah Mama ... Memei belajar yang benar kok, bukan pacaran terus." sindir Meisha saat melewati depanku. Mungkin ia mengira aku pacaran, karena masih berdiri dengan cowok ini. Bahkan, aku sudah tak ingat siapa namanya tadi. Adi? Adyar? Adin? Ah, lupakan itu.

Kulihat Mama memandangku jijik dan tak suka, entah kenapa Mama malah berjalan ke arahku. Aku memandang Mama dengan was-was. Akankah hari ini akan tiba, Mama menerimaku dan memperlakukanku seperti saudaraku yang lain?

"Sini dulu." aku mendekati Mama. Walau tahu, nada suaranya tak senang sama sekali. Aku menunduk dan mendakti Mama.

"Jalang kecil udah jumpa mangsanya? Selamat, setelah ini nggak perlu sekolah lagi. Ngangkang aja, duitnya banyak loh. Nanti, bertahap mainnya sampai bayar mahal. Sekali ngangkang 70 juta. Gimana? Aku punya banyak kenalan." aku hanya memandang sekeliling merasa seperti gedung dan orang-orang berputar. Perkataan Mama membuatku mati rasa dan sangat keterlaluan.

Apa aku memang ditakdirkan untuk menjadi jalang?

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height