+ Add to Library
+ Add to Library

C6 Surrender

Lucius menepati janjinya. Selama hampir tiga hari, Alicia tidak diberi makan atau minuman sedikitpun. Para pelayan yang masuk ke kamarnya setiap pagi hanya membantu Alicia mandi dan berpakaian serta membersihkan kamar.

Pagi ini Alicia sangat berharap bahwa mereka membawakannya makanan, namun tidak satupun dari mereka membuka mulut ketika Alicia meminta agar kamarnya tidak dikunci supaya dia bisa lebih leluasa pergi ke dapur.

Permintaannya tidak dituruti. Alicia tidak memiliki tenaga, badannya lemas, dan keringat dingin terus saja bercucuran dari pelipisnya karena rasa sakit yang ia rasakan di perutnya yang seolah dililit. Hampir sehari semalam, Alicia hanya terbaring di ranjang, menitikkan air mata akibat kekeras kepalaannya.

Lucius adalah tipe orang yang seharusnya Alicia hindari. Dia berbahaya, Alicia tahu. Bahkan ketika di desa, bibi Jen selalu mengingatkannya bahwa akan ada seseorang yang akan datang menjemput Alicia.

Dulu ia pikir, seseorang itu adalah kedua orangtuanya, namun dengan cara bibi Jen bercerita, akan bagaimana kejamnya seseorang itu, Alicia sadar bukan orangtuanya yang dimaksud oleh bibi Jen.

Pria itu akan menyiksa keluarganya jika Alicia melawan. Dan keluarga yang dimaksud pria itu, juga keluarganya yang di desa. Alicia ingin kembali ke sana, berkebun bersama bibi Jen, atau melakukan hal-hal menyenangkan bersama Wendy.

Alicia juga sangat merindukan kedua orangtuanya, harapannya semenjak mereka pergi adalah bertemu kembali. Namun semua itu kini telah sirna. Dia menatap lembaran foto kedua orangtuanya yang diambil dari jauh, air mata Alicia mengalir kembali. Apa kabar mereka sekarang? Di foto itu, keduanya tampak bahagia, bersama seorang anak laki-laki yang Alicia tidak tahu siapa. Semoga saja, sampai saat ini mereka masih dilingkupi kebahagiaan.

Siang berganti malam dengan begitu cepat. Alicia merasakan sekujur tubuhnya menggigil karena dingin. Dia menarik selimut semakin tinggi sampai hanya mata dan rambutnya yang tampak.

Tubuh Alicia terasa remuk. Lemas dan sakit. Dia mengkerut seperti bola di dalam selimutnya, mencoba mencari kehangatan yang nihil. Kepalanya pun tidak kalah sakitnya, seolah-olah terdapat palu besar yang memukul-mukul otaknya.

Apakah aku harus menyerah? Pikir Alicia. Haruskah dia menyeret dirinya untuk menemui Lucius dan meminta ampunan pada pria itu?

Tapi, Alicia tidak merasa bersalah. Kekeras kepalaannya kembali, dan dia berjanji tidak akan meminta ampunan apapun pada pria kejam itu. Alicia akan menahan semua ini lebih lama lagi. Dengan meminum air keran di kamar mandi setiap hari pasti sudah cukup baginya untuk membuka pintu ke dapur dan mengambil makanan yang layak.

Suara decitan pintu yang terbuka sama sekali tidak didengar Alicia. Namun cahaya yang masuk dari luar ke dalam kamarnya yang gelap gulita, Alicia sadari. Siluet tinggi seorang lelaki berdiri di ambang pintu.

Tubuh Alicia semakin menggigil. Mau apa pria iblis itu ke sini?!

Mungkin hampir satu menit dalam keheningan, sampai kemudian pintu kamar Alicia kembali tertutup. Alicia bernapas lega dan kembali menutup matanya yang terasa berat. Posisinya saat ini adalah membelakangi pintu, jadi dia sama sekali tidak melihat apapun. Bahkan untuk mengganti posisi saja dia tidak bisa.

Alicia ragu bahwa dirinya akan bertahan hidup sampai besok. Tapi dia berdoa pada Tuhan agar itu tidak terjadi. Alicia tidak ingin mati di tangan pria itu. Alicia tidak ingin menjadi lemah, dia harus melawan, berjuang dulu, bukannya mati dan menyerah pada nasib.

Mata Alicia yang semula terpejam kembali terbuka perlahan. Dia mengerjap beberapa kali karena pandangannya masih kabur, butuh beberapa detik untuknya bisa fokus karena rasa pusing di kepalanya.

Dan jantung Alicia terlonjak kaget, berdetak sedikit lebih kencang ketika ia mendapati Lucius di hadapannya. Duduk di lantai sambil bersandar pada tembok, kedua matanya terpejam, dan dari wajahnya seolah pria itu sedang letih.

Merasa diperhatikan, mata Lucius pun perlahan terbuka, langsung tertuju pada Alicia dan menatapnya lama.

Alicia merasakan jantungnya semakin menggila. Dia menatap penuh antisipasi, terlebih ketika Lucius bangkit dan berjalan mendekatinya, lalu duduk di pinggir ranjang yang sejajar dengan perut Alicia.

Yang membuat Alicia merasa aneh, adalah ketika Lucius tersenyum sangat lebar. Ralat, Alicia tidak menemukan jejak letih sedikitpun di wajahnya. Lucius tampak seperti seseorang yang bahagia.

Bahagia melihat korbannya tersakiti.

Pria ini benar-benar iblis! Pikir Alicia.

"Sudah menyerah, sayang?"

Sekalipun Alicia lemas, tapi dia mengumpulkan seluruh tenaganya untuk menatap Lucius tajam.

Lucius terkekeh melihat tatapan Alicia. "Ah, belum rupanya."

Lalu dia bangkit, melepas ikat pinggangnya dengan tatapan yang masih tertuju pada Alicia.

Alicia menatap Lucius penuh horor. Apa yang akan dia lakukan?!

Alicia tidak tahu saat ini sudah pukul berapa, yang pasti lebih tengah malam, namun Lucius masuk ke kamarnya dengan pakaian jas rapi yang dasinya longgar.

Alicia tidak peduli alasan pria itu memakai sabuk atau memakai pakaian seperti itu di malam-malam begini. Yang Alicia cemaskan adalah, hal gila apa yang akan pria itu lakukan padanya.

Kemudian Lucius menaiki ranjang, membuka selimut dan membuangnya ke lantai.

Hawa dingin semakin menusuk tubuh Alicia. Dia ingat tadi sore para pelayan membantunya memakai baju tidur, namun Alicia tidak menyadari sampai sekarang bahwa baju tidur yang ia gunakan benar-benar tipis.

Kulit putih pucat Alicia jelas terlihat, hampir menyaru dengan pakaian tidurnya yang berwarna pink muda. Rambut hitamnya yang panjang terurai berantakan di bantal.

Lucius menyentuh kedua bahu Alicia dan merasakan panas tubuh gadis itu yang tidak normal. Lalu dia mengangkat tubuh Alicia dan memaksanya duduk.

Alicia hanya merintih sakit, tapi tidak melawan sama sekali karena tenaganya telah terkuras habis. Bahkan hanya untuk menarik napas saja dadanya terasa sesak.

"Kau pasti suka pada apa yang akan aku lakukan," kata Lucius dengan misteriusnya.

Alicia mengangkat kepalanya pelan setelah Lucius menyandarkannya pada kepala ranjang, dia menatap Lucius dengan tatapan lemah.

"Tenang saja, aku sama sekali tidak tertarik dengan tubuh lembekmu ini. Kau terlalu kecil, seperti bayi, dan sangat mustahil bisa mengimbangiku." Lalu Lucius tertawa dengan tawanya yang membahana menepis kesunyian malam.

Alicia meringis semakin keras ketika Lucius mengikat tangannya ke kepala ranjang dengan sabuk lelaki itu.

Setelahnya, Lucius bangkit dari ranjang dan menyalakan lampu. Dia menatap 'karyanya' dengan bangga.

Sedangkan Alicia sama sekali tidak bergeming, tidak bergerak sedikitpun.

Lucius mendekat lagi dan mengangkat dagu perempuan itu, masih bernapas rupanya. Dan mata Alicia langsung tertuju padanya.

Lucius tertegun untuk beberapa saat. Kenapa Alicia menatapnya seperti itu?

Tapi Lucius segera menepis rasa terganggunya akan tatapan Alicia yang sebenarnya sangat lemah.

"Hanya dengan satu permohonan, Alicia, maka aku akan memperlakukanmu seperti selayaknya manusia. Kau akan menghormatiku, melakukan apapun yang aku perintahkan, dan kau tidak akan membangkang padaku. Apa kau mengerti?"

Alicia menggeleng dengan lemah. Sekarang, rasa sakit semakin bertambah pada pergelangan tangannya. Dia berdoa agar dirinya pingsan saja, daripada harus melalui ini semalaman, bersama pria kejam di hadapannya saat ini.

"Hahaha..." Lucius tertawa lagi. Lalu dengan tiba-tiba dia mencengkram rahang Alicia dan memaksa perempuan itu menatap padanya.

"Jangan membuatku marah, Alicia," desis Lucius tajam dengan nada penuh ancaman.

Alicia tidak bisa berbohong dengan menunjukkan bahwa dirinya tidak takut, karena nyatanya dia sangat takut. Air mata yang sedari tadi ditahannya kini meluncur dengan mulus di kedua pipinya. Alicia ingin berbicara namun tenggorokannya sakit dan dia hampir tidak bisa menemukan suaranya di sana.

"Kalau kau sampai mati, itu adalah salahmu sendiri, Alicia. Dan karenamu, Jen dan keluarganya akan merasakan hal yang sama, aku akan membunuh mereka, dan jangan lupakan orangtuamu juga, mereka tidak akan lepas dari siksaanku."

Alicia menangis semakin kencang. "Ja-jangan," lirihnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Lucius melepas cengkramannya di rahang Alicia, menggantinya dengan elusan lembut di pipi perempuan itu. Lucius menghapus jejak air matanya.

"Menyerahlah, Sayang," katanya dengan nada lembut yang hampir membuat Alicia terlena, terlebih dengan cara lelaki itu menatapnya.

"Kau tidak harus menghiburku dengan menyakiti dirimu sendiri."

Tidak ada yang sedang menghiburmu! Alicia ingin berteriak.

Lucius terkekeh. "Ketahuilah, ada banyak sekali cara untuk menghiburku."

Dan aku tidak berniat sedikitpun untuk menghiburmu!!! Alicia lagi-lagi ingin memberontak dan berteriak di depan wajah pria gila yang kejam ini.

"Hm? Bagaimana, Alicia, sayang?"

Lucius mengucapkannya dengan nada yang sangat lembut, seolah benar dia menyayangi Alicia dengan sepenuh hatinya. Dan usapan seringan bulu di pipi, yang kemudian menjalar ke leher, membuat Alicia terlena.

Tapi dengan menyerah, berarti Alicia harus merelakan segala mimpinya untuk bertemu dengan kedua orangtuanya.

Dengan menyerah, Alicia berarti juga menyerahkan seluruh hidupnya pada pria itu.

Dan dengan menyerah, Alicia akan memasuki neraka kehidupannya sendiri.

Tapi Alicia tidak menyadari, ketika dirinya mengangguk dengan sisa tenaganya, kemudian terkulai pasrah di dalam pelukan Lucius.

Dan setelahnya, Alicia tidak menyadari apa-apa lagi.

***

ig : deltaxia

©ASIAJULY

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height