LOVE AFFAIR/C2 TERIMA KASIH
+ Add to Library
LOVE AFFAIR/C2 TERIMA KASIH
+ Add to Library

C2 TERIMA KASIH

"Bhaga ...!" Bu Sona berlari menghampiri pria muda bertubuh tinggi tegap yang baru turun dari mobil itu.

Atma masih diam mematung dari dalam rumah, sekujur tubuhnya mendadak kaku, tegang, ditatapnya ragu-ragu pemuda tampan berkemeja coklat muda bernama Bhaga itu. Masih terbayang di kepalanya, bagaimana bila Bhaga tak bisa menerima kehadirannya di rumah, Atma tak berani memikirkan apa yang akan terjadi, apabila dia sampai dihusir misalnya, walau hal itu sepertinya tak mungkin terjadi.

Bu Sona berpelukan agak lama dengan Bhaga, melepas rasa kangen yang sama-sama menyesakkan dada mereka. Bu Sona memegang tubuh Bhaga yang terasa begitu padat dan tegap, berkat rutin berolahraga. "Ibu gak nyangka, Ga! Kamu sekarang cakep banget, gagah banget, kayak bukan anak Ibu!" ujar Bu Sona memuji.

"Jadi maksud Ibu, aku ini dulunya nggak gagah? Nggak cakep?" Bhaga setengah tertawa.

"Bukan gitu! Dulu juga cakep, tapi sekarang lebih cakep! Yuk masuk, bapak ada di dalam." Bu Sona menggandeng puteranya masuk ke dalam rumah.

Selurus kemudian, kedua mata teduh milik Bhaga bertabrakan dengan manik mata almond milik Atma. Waktu seakan berhenti di tengah mereka, jarum jam seolah berbalik arah, kembali ke waktu lampau. Atma seolah mampu melihat Bhaga waktu remaja dulu, dia masih ingat wajahnya, sejak remaja pun Bhaga sudah begitu tampan dan bertubuh tinggi dibanding remaja seumurannya yang lain. Jantung Atma berdegup kencang. Napasnya menjadi sesak, mulutnya kelu, tak tahu mesti menyapa bagaimana, harus berkata apa.

"Ma, ini Bhaga, anak Ibu!" Bu Sona memecah keheningan. "Ga, ini Atma, dia udah tinggal di sini sejak beberapa waktu lalu, dia juga ikut bantu Ibu jaga bapak, kamu mungkin sudah lupa, tapi dia juga anak kampung sini kok, dulu juga suka main di kebun teh kita." Bu Sona memperkenalkan Atma kepada Bhaga.

"Nggak, aku ingat kok, Bu, tapi ... lupa-lupa ingat gitu lah." Bhaga tersenyum manis kemudian menjulurkan tangan ke hadapan Atma.

Jemari lentik Bhaga begitu halus, lembut, nampak dia jarang memegang kerja kasar. Atma serasa seperti kesetrum ketika jemari-jemarinya diremas lembut oleh Bhaga. "Semoga kamu betah ya tinggal sama ibu yang bawel," katanya lembut, berkelakar niatnya tapi Atma terlalu gugup sampai tak mampu untuk tertawa. Bu Sona langsung memukul pelan lengan Bhaga.

"Hih, kamu ini! Ayo, mau ketemu bapak kan? Atma, tolong buatkan teh ya buat Bhaga, gulanya sedikit aja, dia gak suka teh yang manis." Bu Sona menyudahi basa-basi mereka.

"Baik, Bu."

***

Selama air dijerang di dalam teko, pikiran Atma mengembara, kembali mengingat apa yang terjadi tadi saat pertama kali dia melihat Bhaga setelah sekian lama. Begitu berwibawa pria itu, tapi dia juga tampak begitu lembut, manis. Pesona Bhaga dalam sekejap mengusik hati dan pikiran Atma, hal itu dirasa wajar sebab dia sudah begitu lama tak bertemu pria muda sebayanya.

Sejak hari-hari dia habiskan di rumah Pak Giring dan Bu Sona, Atma tak banyak bertemu dunia luar, dia tak banyak melakukan kontak sosial dengan manusia-manusia lainnya. Dia pun tak pernah jatuh cinta, mungkin Bhaga adalah pria paling mempesona yang pernah dia temui seumur hidup. Amat wajar Atma menjadi kagok. Lekas Atma menghapus segala sensasi di tubuhnya, dia seduh teh sambil mengusir degup di dada. Apa yang kamu pikirin Atma? Sadar diri, liat siapa kamu, siapa mas Bhaga, batin Atma mencoba mengendalikan dirinya sendiri.

Atma berdiri di depan kamar Pak Giring, di tangannya terdapat nampan berisi teh untuk Bhaga. Dia tak punya cukup nyali untuk masuk ke dalam sementara Bhaga sedang bicara serius dengan Pak Giring yang masih terbaring lemah di atas tempat tidurnya. Namun, Atma diam-diam menguping pembicaraan mereka.

"Gimana dengan ... Jessica? Dia ... nggak datang?" Pak Giring bertanya lemah, seketika jantung Atma serasa mau copot.

Jessica. Atma ingat sekarang, Bu Sona pernah membahas tentang pemilik nama itu. Ialah kekasih Bhaga, bekerja di perusahaan yang sama tempat Bhaga bekerja. Bila tak ada halangan, akhir tahun mereka akan menikah, mengejar waktu sebab kondisi kesehatan Pak Giring pun makin memburuk.

"Akhir bulan ini, kalau dia udah dapat cuti, dia akan datang juga, Pak." Bhaga menjawab singkat.

"Yah, sebaiknya, mumpung kamu di sini, sekalian juga ... urus ... urus rencana pernikahan kalian, sebelum terlambat, Ga, Bapak udah ... sebentar lagi waktunya."

"Bapak jangan ngomong gitu, Bapak pasti bertahan. Tapi, aku janji, Bapak pasti bisa melihat aku dan Jessica menikah nanti." Bhaga menggenggam telapak tangan Pak Giring dengan lembut. "Aku tinggal dulu ya, Pak. Bapak lanjut istirahatnya." Bhaga berdiri, lalu keluar dari kamar bersama Bu Sona.

Cepat-cepat Atma menyodorkan nampan berisi teh panas. "Mas, ini tehnya," katanya lembut, masih gugup dan tak berani menatap bola mata Bhaga.

"Terima kasih, Atma."

Satu kalimat itu, satu kalimat yang terucap begitu tulus dan halus, mampu menguncang hati Atma. Bu Sona sekalipun hampir tak pernah mengucap kata 'terima kasih' kepada Atma, barangkali karena Atma sudah dianggap sebagai anak sendiri, tapi ungkapan tulus dari mulut Bhaga itu tidak terdengar seperti sebuah basa-basi, ada kehangatan yang mengalir sampai ke hati Atma.

"Atma, tolong bawa tas Bhaga ke kamarnya, ya." Bu Sona memberi perintah lagi.

"Jangan!" tepis Bhaga cepat. "Tasnya berat, kamar aku kan ada di lantai atas, biar aku nanti yang bawa," lanjutnya.

Bhaga seperti tak nyata, seperti sebuah karakter fiksi, karakter yang terlalu baik untuk menjadi kenyataan. Atma bergegas menghapus segala pikirannya, rasa-rasa itu tak perlu dia biarkan tumbuh di hatinya. Bhaga sudah akan menikah, dia punya kekasih, seorang gadis yang setara dengannya, Atma ingatkan dirinya kembali bahwa posisinya hanya seorang pembantu, walau tak banyak orang menyebutnya sebagai pembantu, sebetulnya itulah posisinya. Bu Sona dan Pak Giring telah begitu baik menerimanya, tak mungkin pula dia berani bermimpi yang tinggi, menjadi bagian keluarga mereka sungguhlah sebuah keajaiban. Atma sekali lagi mengacaukan lamunannya. Bangun, Atma! jeritnya dalam hati.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height