LOVE AFFAIR/C3 PAKET C
+ Add to Library
LOVE AFFAIR/C3 PAKET C
+ Add to Library

C3 PAKET C

"Mas Bhaga mau keliling kampung?" tanya Atma saat dia lihat Bhaga sedang mengenakan sepatu di teras. Sejak kembali, Bhaga memang belum sempat melihat-lihat sekitar.

"Ya, kamu mau ikut?"

Bhaga menghampiri Atma yang baru selesai menjemur pakaian di halaman samping, seketika seluruh tubuh Atma menjadi tegang, gugup. "Atau ..., kamu masih ada kerjaan lain?" tanya Bhaga.

"Oh, nggak ada sih Mas, tapi ...." Kepala Atma menunduk, jatuh ke rumput-rumput yang basah dengan air dari perasan pakaian.

"Tapi?"

"Emangnya boleh? Maksud aku, aku takut malah ganggu Mas Bhaga nantinya."

"Kamu ini ngomong apa?" Bhaga tertawa kecil. "Nggak ganggu lah, ayo ikut, aku mau liat-liat kebun aja, sih, sama ... ya, ketemu sama tetangga-tetangga, udah lama nggak liat kampung ini." Bhaga mengedarkan pandangannya ke hamparan kebun teh yang menghijau sampai ke bawah bukit.

Dengan ember di tangan, Atma berlari ke pintu belakang, dia tinggalkan saja ember itu di dapur lalu langsung menemui Bhaga lagi. "Ayo, Mas, aku akan tunjukin jalan juga, mana tau Mas Bhaga udah lupa, entar nyasar, lagi!"

***

Sinar mentari hangat jatuh tepat di atas kulit pucat Atma. Suhu yang tadinya terasa dingin mulai memanas pula, dua manusia dewasa muda itu berjalan berdampingan menyusuri jalan-jalan berbatu yang tak seberapa curam. Tangan besar Bhaga sesekali menyentuh daun-daun teh yang dia lewati, mengusap embun yang menari di atas permukaannya. Seperti ada yang mengunci mulut mereka, nyaris tak ada percakapan. Beberapa warga melintas, dengan berjalan kaki atau menaiki sepeda atau sepeda motor, Bhaga menyapa mereka dengan sopan. Banyak yang sengaja menepi untuk menyalaminya atau berbasa-basi, bertanya dia kapan kembali, akan berapa lama di desa, bagaimana kondisi kesehatan Pak Giring, sampai bertanya apakah dia sudah menikah atau belum, dan kalau belum menikah, kapan akan menikah.

Satu lagi kualitas Bhaga yang dikagumi Atma, pria itu punya kesabaran sebesar gunung. Dengan tak jenuh-jenuh, dia menjawab pertanyaan yang sama berulang-ulang, bahkan Atma pun sudah muak mendengarnya. Tak keluar satu keluhan dari mulut Bhaga.

Niat hanya ingin melihat kebun teh, suasana pagi membawa mereka sampai ke area sawah. Bhaga berjalan menyusuri pematang sawah di depan, sedang Atma menyusul di belakangnya. Sesekali Bhaga berbalik badan, memastikan Atma masih di belakang, memastikan dia melangkah dengan benar.

"Mas Bhaga mau liat air terjun sekalian?" tanya Atma setelah mereka sampai di ujung area persawahan.

"Air terjun? Ada air terjun juga di dekat sini?" Alis Bhaga terangkat.

"Ya. Mas Bhaga lupa ya? Ada air terjun di dekat sini, kalau mau, kita sekalian ke sana, dekat lagi kok!"

Bhaga mengangguk cepat.

Rasa lelah dan keringat yang mengucur di kening terbayar sudah saat dengan matanya sendiri menyaksikan keindahan air yang seolah jatuh dari awan. Tanpa bicara, Bhaga melepas sepatu yang dia kenakan juga kaos kakinya. Usai menggulung ujung celana jins, dia duduk di sebuah batu besar dan memasukkan kedua kakinya ke dalam air terjun yang dingin. Atma ragu-ragu tapi ikut menyusul, menjadikan sebuah batu besar lainnya sebagai tempat untuk duduk.

"Airnya dingin banget!" kata Atma spontan saat kakinya tercelup.

"Ya iyalah, emangnya ini sumber air panas?" Bhaga tertawa kecil, matanya tak sengaja bertemu dengan sorot mata Atma, lekas Atma membuang muka.

Mereka dirajai hening kembali, cuma suara guyuran air yang mengisi telinga. "Jadi kamu udah nyaman tinggal sama ibu?" Bhaga bertanya setelah lama terdiam.

"Ya, Mas. Terlalu nyaman malah."

"Kalau ada kata-kata ibu yang nyakitin, jangan dimasukin hati, ya. Kadang ibu emang suka ceplas-ceplos."

"Nggak ada kok, Mas, justru ..., kata-kata ibu udah seperti makanan pokok buat aku, rasanya kalau sehari aja ibu nggak ngoceh, aku bisa sakit."

"Gitu ya? Itu sih emang udah terlalu nyaman!" Bhaga tertawa lagi. "Kamu lulusan apa?"

"SMP. Dekat sini."

"Nggak lanjut SMA? Kenapa?"

Suasana mendadak berubah menjadi serius, muram.

"Karna ibu sakit, parah, ayah juga sakit, nggak ada yang bisa menjaga mereka selain aku. Tapi setelah mereka pergi, sekarang aku nggak punya siapa-siapa lagi, kadang ..., rasanya nggak ada guna waktu itu aku mengobarkan pendidikan, toh mereka juga akhirnya pergi." Mata Atma berkaca-kaca.

"Maaf, malah mengingatkan kamu sama hal yang nggak menyenangkan."

"Nggak apa-apa kok, Mas. Toh ceritanya udah berkali-kali diceritakan, dan tiap kali diceritakan, kesedihannya juga jadi berkurang."

"Gitu, ya," gumam Bhaga, "tapi kamu nggak bisa bilang gitu, kamu udah berkorban banyak, seenggaknya kamu udah berbakti sampai akhir usia mereka. Kamu anak yang hebat, kamu perempuan hebat."

Sekali lagi jantung Atma diserang gemuruh yang begitu kuat.

"Jadi, nggak ada niat untuk mengejar ketertinggalan?" Bhaga bertanya lagi.

"Ngejar gimana maksudnya, Mas?"

"Ya kamu bisa ambil paket C."

"Paket C? Apa itu?" Kening Atma mengerut.

"Kamu nggak tau itu apa? Kamu bisa ambil ijazah paket C setara SMA, kamu bisa sekolah dulu beberapa bulan terus ikut ujian," terang Bhaga.

"O ..., bisa gitu ya, Mas?"

"Bisa, kamu nggak tau beneran?"

Atma menggeleng pelan. "Nggak ada yang ngasih tau aku soal itu, Mas."

"Keluarga kamu yang lain di mana?"

"Sejak ibu dan ayah sakit, mereka mulai menjauh, mungkin karna mereka juga bingung, mau membantu juga sulit, jadi ya ..., mau bilang apa Mas? Aku juga nggak mau membebani mereka, tapi aku bersyukur ada orang tua Mas Bhaga yang begitu baik, Bu Sona dan Pak Giring benar-benar kayak malaikat buat aku, kebaikan mereka nggak akan pernah aku lupakan."

Mereka berpandangan, tapi kali ini sorot mata Bhaga justru menunjukkan simpati yang besar kepada Atma. "Kalau aku urusin, kamu mau coba ikut?"

"Hah?"

"Paket C yang tadi aku bilang."

Rupanya Bhaga masih memikirkan soal pendidikan Atma, bukannya mendengarkan soal orang tuanya yang sedang dibahas Atma. "O, bisa? Aku takut malah ngerepotin."

"Nggak, nanti aku akan coba cari tau gimana cara untuk mendaftar." Bhaga berdiri. "Ayo pulang, nanti ibu nyariin lagi, tadi kita nggak sempat pamitan."

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height