LOVE AFFAIR/C5 PERHATIAN
+ Add to Library
LOVE AFFAIR/C5 PERHATIAN
+ Add to Library

C5 PERHATIAN

Beberapa kali hantaman angin ke jendela mengejutkan Atma. Nasi di mulutnya dikunyah perlahan. Lain darinya, Bhaga justru tetap tenang, seperti tak ada apa-apa. Kikuk, canggung, keduanya makan berhadapan nyaris tanpa bicara. Tadinya ada begitu banyak pertanyaan di kepala Atma seputar Pak Giring yang hendak dia ajukan, tapi setelah berhadapan dengan Bhaga, semua susunan kata-kata itu memudar dan menguap di udara.

Sop yang dibuat Atma pun sudah tak tahu lagi bagaimana rasanya. Apakah asin, manis atau pedas, Atma tak tahu lagi, yang dia tahu saat ini dia sedang berdua saja di meja makan bersama Bhaga. Suara hujan dan angin di luar seakan menjadi lagu tema yang melengkapi keheningan mereka.

"Soal paket C ..." Akhirnya Bhaga yang memecah kesunyian, barangkali dia sudah tak tahan berlomba diam dengan Atma.

"Hm?" gumam Atma gugup.

"Aku udah cari tau syarat-syarat pendaftarannya, kamu jadi mau ikut, kan?" Bhaga menatap lurus ke dalam manik indah Atma, menciptakan sebuah gemuruh kecil di dadanya.

"O ..., soal itu ..., aku nggak yakin, Mas. Apa boleh sama ibu? Apa waktunya bisa? Apa lagi bapak lagi sakit sekarang." Atma menggaruk punggung tangannya yang tak gatal.

"Soal itu jangan dipikirin, aku akan ngomong sama ibu, pasti dikasih izin. Sekolahnya cuma tiga kali dalam seminggu, ada kelas malam juga, pasti bisa ngatur waktunya. Kamu mau, kan?" Bhaga menatap Atma dengan lebih lekat lagi.

"Tapi ..., sebetulnya aku juga nggak tau itu buat apa, Mas," aku Atma malu-malu.

Bhaga tertawa kecil. "Jangan tersinggung, Atma, tapi kamu nggak akan selamanya ikut dengan ibu kan?"

Air muka Atma sontak berubah. "Ja-jangan salah paham!" Bhaga berseru cepat. "Tolong jangan salah paham, bukan itu maksud aku. Bukan! Maksudku ..., ibu udah tua, bapak juga kamu tau sendiri keadaannya gimana. Setelah mereka nggak ada, kemungkinan kebun dan rumah ini juga akan dijual. Aku akan carikan kamu pekerjaan yang lebih bagus nanti dengan ijazah kamu."

Mata Atma memandang sayu mangkuk yang masih berisi setengah kuah sop. "Jadi ..., Mas Bhaga akan menjual rumah dan kebun nanti? Bukannya rumah ini berisi kenangan dari kakek dan nenek Mas?"

Semua yang mendengar pun bisa tahu kalau tersirat kekecewaan pada suara Atma. "Maaf, Mas, harusnya aku nggak ngomong apa-apa, maaf udah lancang," lanjutnya cepat.

"Nggak apa-apa, Atma. Tapi, ada waktunya kenangan memang harus dibunuh, aku juga udah yakin menetap dan tinggal di kota, jadi ya ..., mau bilang apa?"

Suasana menjadi lebih canggung dan sedikit tidak nyaman. Atma mempercepat menyantap makan malamnya, sebelum keluar lagi kalimat dari mulut yang tak perlu dan hanya akan membuatnya menyesal kemudian. Pikirnya, urusan rumah adalah sepenuhnya hak Bhaga sebab dia adalah sang ahli waris, mau dijual atau dihibahkan, tak sejengkal pun berurusan dengan Atma.

***

TIK TIK TIK

Bunyi jarum jam yang bergerak teratur hanya membuat kegelisahan Atma makin menumpuk. Hujan telah reda, angin kencang lenyap sudah, tapi mata Atma masih tak kunjung terpejam. Selama setengah jam matanya hanya memandangi langit-langit kamar yang putih bersih. Biasa di kamar sebelah ada Pak Giring dan Bu Sona, namun sekarang di lantai dasar hanya dia seorang, tak ada sesiapa di lantai berikutnya, dan hanya ada Bhaga di lantai yang paling atas.

Atma berusaha sekeras yang dia bisa untuk memejamkan mata, membujuk tubuhnya untuk tertidur segera, sebab besok akan ada lebih banyak pekerjaan yang harus dikerjakan. Ketika mata lelah Atma akhirnya menurut, tiba-tiba sekali sebuah kilat besar menyambar di luar sampai cahayanya menembus gorden.

DUAR!!!!

Spontan Atma yang terperanjat langsung turun dari tempat tidurnya dan berlari ke lantai atas. Anehnya, Bhaga juga keluar dari kamarnya. Mereka bertemu di tangga. Kikuk.

"Mas Bhaga ..., takut petir juga?" tanya Atma pelan.

Bhaga menggeleng dibarengi tawa kecil. "Aku cuma mau mastiin kalau kamu nggak apa-apa."

Keran darah di sekujur tubuh Atma baru saja dibuka oleh Bhaga tanpa sepengetahuannya, seluruh tubuhnya berdesir seketika. Apa maksud Bhaga bicara seperti itu? Atma merenung sesaat.

"Aku ..., nggak apa-apa, Mas. Aku balik ..., balik dulu ke kamar." Atma tergagap sembari berbalik badan.

"Kamu yakin nggak apa-apa?"

Pertanyaan Bhaga sukses mengguncang tubuh Atma.

"Maksud aku bukan untuk ngajak kamu tidur bareng. No!" seru Bhaga mempertegas makna pertanyaannya barusan.

Bergegas Atma berbalik badan lagi. "Ya Tuhan, Mas Bhaga! Nggak mungkin juga aku berpikir kayak gitu. Bukan itu yang aku pikirkan sumpah! Maaf kalau aku teriak, tapi sungguh, aku nggak berpikir kayak gitu." Atma menggoyang-goyangkan telapak tangannya di depan muka.

Bhaga melangkah turun sampai sejajar di anak tangga yang sama dengan Atma. Dari jarak sedekat ini, Atma bisa mencium aroma sabun mandinya yang wangi, seperti bau jeruk. Segar. "Aku akan tidur di sofa, di ruang tengah."

"Hah?" Atma melongok.

"Kamu tenang aja, kamu bisa kunci pintu kamar."

"A-aku nggak berpikir juga kalau Mas Bhaga mau--"

"Iya, aku tau," sela Bhaga. "Tenang aja, cuma biar kamu lebih tenang aja. Kunci aja pintunya, aku tidur di ruang tengah nggak apa-apa, rumah ini rumah tua dan besar, wajar kalau kamu takut. Apa lagi cuaca lagi buruk kayak gini. Ketimbang kamu nggak bisa tidur sampe pagi, kan?" Bibir Bhaga menyungging senyum tulus.

Kalau ini mimpi, Atma enggan untuk terjaga. Bhaga begitu peka, penuh pengertian, tanpa diberi tahu, dia mampu membaca situasi dengan tepat dan cepat. Kalau bukan karena inisiatif Bhaga malam itu, maka barangkali Atma memang tak akan bisa tidur dengan nyenyak malam itu. Namun nyatanya, justru karena tahu ada Bhaga yang tertidur di ruang tengah untuk menjaganya, makin sulitlah mata Atma untuk terpejam.

Pada lewat-lewat tengah malam, Atma sekali-dua kali keluar untuk mengintip. Bhaga masih tidur di sofa. Ketika dia lihat selimutnya tak tertutup dengan benar, Atma ragu-ragu mendekat untuk menyelimuti kembali hingga menutup kaki.

Sebetulnya, apa arti dari semua kebaikan ini?

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height