Madu Untuk Istriku/C11 Suara Hati Tari
+ Add to Library
Madu Untuk Istriku/C11 Suara Hati Tari
+ Add to Library

C11 Suara Hati Tari

*PoV Tari*

Seneng rasanya pagi ini bakal ketemu Mas Dani. Entah kenapa perasaan cinta ini tak bisa hilang begitu saja. Mas Dani adalah cinta pertamaku dulu. Mungkin Mas Dani tak mengingatku, dia ada di kelas 3 sedang aku masih kelas 1.

Seperti gadis remaja lainnya yang mengidolakan kakak kelasnya, akupun begitu. Dia memang bukan yang paling populer di angkatannya, tapi dialah yang menjadi idolaku saat itu.

Rasanya seperti takdir, saat tahu dia menjadi rekan kerjaku di tempat kerjaku yang baru ini. Mungkin ini yang namanya jodoh. Setelah lama tidak bertemu, akhirnya dipertemukan lagi.

Apalagi statusku sekarang yang sudah menjanda, akan mudah untuk bersama-sama lagi dengan cinta pertamaku itu.

Sayangnya, Mas Dani masih memiliki istri. Huft! Andai dia mau menceraikan istrinya yang mandul itu. Pasti kami sudah bisa bersama-sama lagi. Bukan sebagai selingkuhan, tapi sebagai suami istri yang sah.

Aku begitu bernostalgia dengan perasaanku saat remaja dulu, hingga tak menghiraukan jika Mas Dani sudah beristri. Aku rela menyerahkan tubuhku, agar aku bisa memilikinya, cinta pertamaku.

Murahan? Tidak! Aku hanya mencintainya, bukan murahan. Sungguh tersiksa saat di tempat kerja, kami tidak bisa menunjukkan kedekatan kami. Aku ingin segera mengenalkannya sebagai kekasihku.

Setiap hari, aku sangat bersemangat untuk bekerja. Karena dapat kulihat lagi senyumnya yang begitu membuatku tergila-gila. Senyuman yang masih seperti dulu, tak ada yang berubah. Malah semakin lama, pria itu semakin terlihat matang dan mempesona.

Ah, itu Mas Dani. Tumben parkir di dalam. Pantes aku celingukan nyari di luar tadi nggak ada.

"Mas ...." Aku sengaja berucap manja padanya dan menggandeng tangannya. Dia pasti seneng dan mencubit hidungku melihat sikapku yang manja ini.

Aneh! Dia terlihat begitu kaget dan gugup. Apa yang terjadi, sih?

"Ish ... kenapa sih, Mas? Aneh gitu?" Mas Dani tak seperti biasanya, dia tampak ... menghindar.

Benarkah dia menghindariku setelah semua yang kita lakukan seminggu itu? Apa aku kurang membuatnya puas?

Apa karena kejadian semalam saat aku menolak melakukan itu di alam terbuka? Tapi, itu karena aku nggak mau ketahuan warga. Aku juga takut ada yang melihat kami sedang memadu kasih.

Betapa sedih hatiku, pria pujaanku itu menyuruhku untuk sementara menghentikan sementara hubungan kami. Ada apa dengannya?

Aku berlalu dari hadapannya membawa semua rasa sakit atas perasaan yang kuberi untuknya. Aku mencintainya, tapi nampaknya dia tidak begitu.

Bodohnya kamu, Tari. Kamu terlalu terbuai akan nostalgia masa remajamu, hingga mau saja menjalani hubungan dengan pria beristri.

Semakin aku menghindarinya, semakin dalam pula rasa rindu akan belaiannya. Rasa yang memabukkan, hingga mampu membawaku hingga langit ketujuh.

Seharian ini akan seperti neraka bagiku. Aku bisa melihatnya, namun aku harus menjauhinya. Apa beberapa malam yang lalu tidak berarti apa-apa baginya? Bagaimana jika aku benar-benar hamil?

Mas Dani pernah berjanji akan menikahiku jika aku hamil. Aku akan berdo'a agar aku benar-benar hamil. Biar Mas Dani kembali memperhatikanku.

Mas Dani akan aku pastikan bahwa aku akan memilikimu.

*PoV Tari end*

Setelah bel pulang, Dani segera menuju motornya. Tak mau berlama-lama, dia ingin segera pulang dan menemui istrinya. Melupakan Tari sejenak yang masih menatap punggungnya di kejauhan.

Dia sudah bertekad untuk menjauhi Tari, meski tidak tahu akan berlangsung lama atau tidak.

Tanpa mengucapkan salam, Dani buru-buru masuk ke dalam rumah. Begitu khawatir dengan istrinya.

Melihat suaminya pulang, Reni terlihat begitu sumringah. Tak bisa dipungkiri, hatinya masih mencintai lelaki itu. Tujuh tahun bersama bukan waktu sebentar untuk saling membenci.

"Yank," panggil Dani sesaat setelah masuk ke dalam kamar. Dilihatnya Reni masih terbaring lemah di atas kasur.

"Sudah pulang, Mas? Tumben pulang awal?" Biasanya memang Dani tak pulang seawal ini, karena lebih dulu berduaan dengan Tari sebelum pulang.

"Ah, i -- iya, Ren. Udah nggak ada lembur." Dani tampak gelagapan. Akhirnya membuat kebohongan agar Reni tak lagi bertanya.

"Ow ...." Seutas senyum terbit di bibir Reni. Meski dia tahu suaminya berbohong, tapi dia senang. Mungkin dengan dirinya hamil, suaminya akan meninggalkan selingkuhannya.

"Kamu sudah makan?" Melihat istrinya begitu lemah tak bertenaga menjadikan Dani begitu kasihan.

Reni menggeleng lemah. Nyatanya memang dia belumlah makan sedari pagi. Sangat lemas dan tidak bern*fsu untuk makan.

"Kenapa belum makan. Lihat tu wajah kamu udah pucet gitu." Perhatian Dani yang seperti inilah yang dirindukan Reni. Sudah lama suaminya itu tak begitu memperhatikannya. Sejak ....

"Aku nggak n*fsu makan, Mas. Lagian juga aku nggak ada tenaga buat masak." Sebagai seorang wanita, perhatian kecil dari Dani begitu membuat hatinya berbunga-bunga. Dia merasa seperti ratu kali ini. Salahkah Reni jika berharap sikap Dani bakal seperti ini selamanya?

"Mas masakin bubur ya, Yank?" Dani beranjak dari sisi istrinya, berjalan keluar pintu menuju dapur. Hatinya begitu riang dan gembira saat ini. Hanya ada Reni dan calon anak mereka. Entah kalau esok atau beberapa hari lagi.

Reni tersenyum merasakan perhatian Dani. Walau bagaimanapun dia hanya wanita yang gampang luluh oleh sebuah perhatian. Apalagi saat ini, dirinya sedang hamil. Sedang ingin dimanja.

"Semoga ayah kamu benar-benar hanya milik kita, Nak," lirih Reni sembari mengelus perut ratanya.

Seharian ini, dia tak berniat keluar kamar. Halimah, mertuanya sesekali menengoknya di kamar. Entah kasihan atau karena tidak ada yang mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi, anehnya tak sekalipun Reni ditawari untuk makan.

Kadang Reni mendengar sesuatu yang tidak mengenakkan hati. Seperti sengaja bicara kencang saat berada dekat kamar Reni.

'Capeknya beres-beres rumah seharian. Nggak ada yang bantuin lagi. Ada penghuni yang bisanya cuma tidur, nggak mau bantuin. Capek 'kan jadinya.' Tadi siang begitu keras Halimah mengucapkan kata-kata itu.

Masalah itu, Reni tak mau ambil pusing. 'Biarlah, aku juga lagi males meladeni ibuk.' Hatinya terus menguatkan jika dia baik-baik saja tanpa perhatian mertuanya. Dan akan tahan dengan segala sindiran mertuanya itu.

Setelah beberapa lama, Dani kembali masuk ke dalam kamar dan sudah membawa satu mangkuk bubur di tangannya. Kepulan asap menari-nari di atas mangkok itu. Menandakan bahwa apa yang ada di dalamnya masihlah sangat panas.

"Makan dulu. Aku suapin." Seutas senyum terbit di bibir Reni. Suaminya telah kembali seperti dulu.

'Semoga Mas Dani seperti ini untuk selamanya," harapnya dalam hati.

Tanpa melihat pengkhianatan Dani beberapa waktu lalu, mereka berdua tampak sebagai pasangan yang bahagia.

Sebuah suara nyaring memenuhi kamar itu, yang berasal dari ponsrl Dani. Dani tampak mengacuhkannya, tak ingin menanggapi panggilan itu. Sepertinya dia tahu siapa yang sedang memanggil.

"Kenapa nggak diangkat, Mas?" Pura-pura penasaran, Reni bertanya pada Dani.

"O, nggak penting, Yank. Paling telpon iseng." Dani kembali menyuapkan bubur pada Reni. Wanita itu manggut-manggut meski sudah tahu siapa kira-kira yang menelpon.

Dani menyuapi Reni hingga bubur itu tandas tak bersisa. Tiba-tiba selera makan Reni yang tadinya tidak ada, menjadi kembali lagi. Mungkin anak dalam kandungannya ingin dimanja ayahnya.

"Aku balikin ini dulu, ya." Reni mengangguk. Dani segera berdiri dan berjalan keluar dari kamarnya.

Segera dia meletakkan mangkuk kosong di tempat cuci piring dan mengambil gawai yang masih di kantong celananya.

"Tari. Ngapain, sih ni anak. Bukannya tadi aku udah bilang menjauh dulu. Ngapain juga nelpon segala." Dani tampak begitu kesal saat menatap layar handphonenya. Entah saat ini kenapa dia seakan melupakan Tari.

[ Kenapa telpon? ] Singkat tanpa basa-basi. Tak seperti biasanya yang mesra layaknya pasangan kekasih.

[Kangen, Mas. Kamu nggak kangen apa? ] Jika biasanya dia akan melambung saat Tari bilang kangen, berbeda dengan kali ini. Dia gelisah. Entah pikiran apa yang berkecamuk dalam dadanya.

[ Aku mohon, Tar. Kita saling menjauh dulu. Aku lagi ada masalah. ] Berbohong mungkin kini telah menjadi salah satu keahlian Dani.

[Apa perlu aku datang ke rumahmu, Mas dan bilang tentang kita. ]

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height