C1 Prolog
"Maaf." Kennan menunduk lesu. Dia benar-benar tidak mampu menatap wajah gadis yang selama 2 tahun menemaninya, memberikannya kebahagiaan lebih.
"Aku mengerti." Milly juga menunduk. Dia memaklumi apa yang menjadi keputusan Kennan. "Jika memang sudah keputusan mu, aku akan mengikuti mu. Mungkin ada baiknya kita berpisah. Mengingat kita memang tidak akan bisa bersatu." Milly berdiri."Aku pergi." Milly melangkahkan kaki nya menjauhi Kennan.
Kennan menatap Milly menjauh, ingin rasanya dia mencegah gadis itu menjauh. Tapi, kaki nya kaku. Tidak bisa bergerak. Akhirnya Milly benar-benar menjauh. Meninggalkannya, meninggalkan cintanya. "Seandainya kamu bukan dari keluarga itu, seandainya kamu bukan adik dari wanita itu, seandainya..." Lidah Kennan kelu. Dia meneguk air merah dalam gelasnya. Dia menarik napas pelan. "Milly." Kennan tersenyum perih, menyebut nama itu. Nama yang sudah tertanam dalam di hatinya.
***
flashback On
Malam itu ada acara makan malam karena ajakan Gary, pemilik Restaurant China sekaligus bos dari Milly dan Kennan. Setelah makan mereka pergi ke klub bersama.
Tidak lama, setelah tengah malam. Semua rekan Kennan dan Milly pulang satu persatu.
Milly dan Kennan menikmati dentuman musik dengan saling menggerakkan tubuh. Kennan melekatkan matanya pada bibir Milly. Bibir yang selalu ingin dikecupnya. Sosok wanita yang menarik hatinya, hingga membuatnya menjalani hal yang bukan dirinya, dengan menjadi pelayan di sebuah restaurant. Tatapan mata Kennan beralih pada mata Milly, mata yang selalu memintanya untuk mendekat. Kennan meraih tangan Milly, lalu menariknya keluar dari lantai dansa.
Kennan membawa Milly menuju lantai 2, tempat di mana mereka sebelumnya duduk santai menatap lantai dansa. Kennan seketika menutup pintu ruangan VIP itu setelah sudah berada di dalamnya.
"Apa yang kau lakukan? Kenapa kita kemari?" Milly mengerutkan alisnya.
Kennan tidak menjawab. Dia memajukan wajahnya dan mengecup bibir Milly dengan lembut.
Milly terkejut seketika menjauhkan tubuh Kennan sekuat tenaganya. "Apa yang kau lakukan, brengsek?" Milly menyentuh bibirnya, mengusapnya dengan kasar.
"Aku hanya menciummu. Apa masalahnya??" Kennan tersenyum miring. "Bibirmu manis."
"Kamu mabuk." Milly yang hendak pergi meninggalkan Kennan seketika tangan Milly dicekal oleh pria itu. Dia kembali menarik tubuh Milly hingga punggung nya bersentuhan dengan tembok. Sedikit perih.
Kennan mengurung tubuh Milly dengan kedua tangannya. "Apa kau tidak menyadari,” ucap Kennan lirih. “Aku mencintaimu." Tubuh Kennan condong ke depan, dia menatap dengan tajam bibir Milly yang terus menggodanya. Dia ingin merasakannya lagi.
"Lepaskan aku. Kalau kau berani menciumku lagi, aku akan membunuhmu." Milly melebarkan matanya karena wajah Kennan semakin dekat.
"Setelah aku merasakannya, matipun aku tidak akan menyesal." Kennan tersenyum.
Bibir hangat Kennan sudah mendarat di bibir Milly. Bibir Milly mengatup begitu rapat. Kennan tidak terlalu memusingkannya, yang dia tahu dia hanya menikmati lumatannya sendiri menyecap bibir Milly.
Milly meronta sekuat tenaganya. Dia tetap berusaha menutup bibirnya, dia tidak mau membiarkan pria brengsek di depannya menikmati ini. Milly memukul perut Kennan dengan kuat, tapi pria itu tidak bergeming. Kennan masih dengan dunianya sendiri. Dia tidak terlalu merasakan tangan kecil Milly yang memukulnya dengan keras.
Kennan terus melumat bibir Milly dengan kelembutan dan kehangatan. Entah segaja atau tidak, leguhan manis keluar dari bibir Milly hingga bibir yang tadi tertutup rapat sedikit terbuka. Kennan menggunakan kesempatan itu dengan sangat baik.
Dia tidak menyia-nyiakannya. Dia semakin memperdalam ciumannya, tangan Milly sekarang sudah melingkar dengan cantiknya di pinggang Kennan. Milly tidak bisa memungkiri pesona bibir Kennan lagi, dia menikmatinya. Dia bahkan bisa dipastikan akan merutuki dirinya sendiri setelah ini.
Kennan menepis jarak antara tubuhnya dengan tubuh Milly, gadis itu kembali meleguh. Tangan Kennan sekarang sedang membelai lembut rahang Milly.
Milly tiba-tiba tersadar dari nafsu yang sempat membutakannya. Dengan sekuat tenaga, Milly mendorong tubuh Kennan hingga ciuman mereka terlepas. "Dasar gila." Milly lalu pergi dengan langkah kaki yang sedikit terburu-buru. Dia takut Kennan kembali mencegahnya, dan dia kembali terlena.
Dia menjauh sambil terus mengatur napasnya, dada nya berdegub sangat kencang. Dia menyentuh dadanya dengan kedua tangan. "Hentikan, jangan diteruskan. Ini salah."
Kennan berdiri terpaku di depan ruangan, menatap Milly yang melangkah menjauh. Dia menyentuh bibir nya lalu tersenyum. "Aku tidak akan melepasmu. Aku tidak mau kehilangan bibir manis itu."
Setalah malam itu, bukan hal yang mudah bagi Kennan memperjuangkan cintanya. Segala macam penolakan, kata-kata sinis keluar dari bibir manis Milly. Kennan membuktikan rasa di dalam hatinya dengan perlahan, dan hati beku itu dengan perlahan pula dapat cair karenanya. Menjadi miliknya.
Flashback Off
***
Bagaimana adegan demi adegan ciuman pertama mereka tergambar begitu jelas dalam kepala Milly.
Melakukan ciuman pertama, dan perpisahan di tempat yang sama. Air matanya mengalir, membasahi pipi putihnya. Dia terisak. Sesaat setelah manarik napas pelan, Milly menghapus air mata dengan kedua tangannya. "Semuanya sudah berakhir Ken. Sudah berakhir."
***
Malam ini Kennan mendedikasikan malamnya pada beberapa botol minuman. Dia frustasi dengan apa yang baru saja terjadi di hidupnya. Kennan menatap kosong pada kursi yang tadi di duduki oleh Milly.
Dia menangis, meneteskan air mata tanpa suara. Sepasang tangan menepuk pundaknya dengan pelan. "Bersabarlah, semuanya akan hilang secara berlahan. Kau hanya harus bersabar saja."
Kennan menoleh, dia memandang Chen yang sudah duduk di sampingnya.
"Kapan penerbanganmu?" Chen menuang air yang sudah menjadi teman Kennan itu ke dalam gelas.
"Besok pagi."
Chen memandang Kennan. "Lalu kenapa kau masih di sini? Mau mabuk? Pulanglah, istirahat. Besok kau masih harus perjalanan jauh." Chen memaksa Kennan melepas gelas yang ada dalam cengkramannya. "Ayo."
Chen memapah tubuh Kennan yang telah melemah. Dia mengantar Kennan pulang dengan selamat, bahkan memastikan sahabatnya itu memejamkan mata dengan tenang. Walaupun jejak air mata terlihat dengan sangat jelas di sana. Chen tidur di rumah Kennan, menemani pria patah hati yang bisa saja tertinggal penerbangan. Chen menghela napas, lalu memejamkan mata di sofa depan tv.