+ Add to Library
+ Add to Library

C2 Meneror Clara

"Rambutmu basah. Pasti habis bermalam dengan Daniel? Apa kamu bisa melayani orang yang jelas menjadi pelaku utama yang menghabisi nyawamu?" tanya Rama. Dokter muda yang tampan walau berkacamata. Ia orang pertama yang kupinta suster menghubungi saat diselamatkan dari kecelakaan.

Alasanku bukan menelepon suami pada waktu itu karena sebelum kecelakaan, sempat melihat tawa Daniel dan Clara, serta mereka berdekapan dengan tangan melambai pada kaca spion. Mereka memproklamirkan kedekatan di saat mobilku melaju. Mungkin karena rasa panas di hati membuatku tancap gas. Di situlah baru tahu jika mobilku remnya blong.

"Yah, mau bagaimana lagi? Wajahku telah berubah, bukan. Bukti kejahatan sedikit pun tak ada di tangan. Enam bulan ini cukup keras usahaku, agar Daniel berpaling dari Clara. Wanita yang sangat kubenci. Wanita jalang tak tahu diri yang haus akan warisan orang lain." Aku berucap geram. Mengingat dulu Clara amat lugu. Ternyata itu hanya topeng kepalsuan seorang pelakor murahan.

"Lissa, aku tahu ambisimu. Tapi, jangan sampai mengabaikan keselamatan. Sekali Daniel tahu, bahwa kamu adalah Alexa, bisa saja ia membunuhmu untuk kedua kali." Dokter Rama kembali memberi peringatan keras padaku. Apa yang aku lakukan saat ini memang berisiko. Akan tetapi, dendamku jauh lebih besar dan menumbuhkan nyali di dalam diri.

Dokter Rama memberi obat yang biasa aku minum. Mengecek tekanan darah dan banyak hal lain. Kecelakaan dulu menyisakan trauma dan pastinya banyak organ tubuh bagian dalam yang perlu pengobatan intensif. Wajahku saja harus dioperasi.

Daniel dan Clara memang pasangan yang kejam. Mereka hamba uang sampai rela melakukan kejahatan yang luar biasa. Terbukti kini ia meresmikan pernikahan dan tengah menanti anak pertama mereka.

"Semuanya bagus. Tapi, tetap kontrol lagi setiap bulannya. Obatmu pun jangan lupa diminum."

"Iya, bawel," jawabku.

Dokter Rama kembali duduk di kursinya. Aku hanya berdecap sebal. Ia sedari dulu memang pengatur. Namun, berkatnya pula yang percaya padaku, membantu hingga bisa seperti sekarang ini.

Sebagai bayaran untuk pemeriksaan kali ini, Dokter Rama ingin aku menemaninya makan siang. Lokasinya pun tak jauh dari rumah sakit karena ia harus kembali setelah selesai waktu istirahat.

Dokter Rama tampan dan dari keluarga terpandang. Namun, hingga kini ia belum pernah menggandeng wanita selainku. Sempat menanyakan hal ini, ditakutkan ia penyuka sesama jenis. Tuduhan itu justru membuat ia tertawa, dan dengan alasan klise ia menjawab, 'belum menemukan wanita yang pas.'

"Kita makan di mana?" tanyaku. Dokter Rama malah mengangkat kedua bahunya. Menyebalkan bukan? Aku pun mendengus kesal.

"Bisa tidak, sekali saja pas kita makan, kamu yang menentukan. Tempatnya, menunya, acaranya dan banyak peretelan lainnya. Kenapa otakmu mendadak tak berfungsi jika bersamaku?" Aku dan Dokter Rama sudah kenal dekat, jadi ia tak pernah marah walau ucapanku sangatlah kasar.

"Sengaja. Aku selalu mengurus pasien. Sekali-kali, ada yang mengurusi aku." Dokter Rama malah mengerling salah satu matanya. Menggoda. Aku malah menjulurkan lidah.

Kelaman menjomlo sampai kurang perhatian. Aku yang selalu dijadikan tumbal. Mengatur tempat dan lain sebagainya, selama Dokter Rama bersamaku.

Banyak yang bilang kami serasi. Apalagi, mereka tahunya aku ini lajang dengan paras yang cantik. Wanita yang dikenalkan Dokter Rama, sebagai teman sewaktu ia berkuliah di luar negeri. Karangan yang bagus, walau jelas itu semua palsu.

Aku, Alexa Atmadja, pewaris seluruh seluruh Atmajda yang tidak beruntung. Menikah dengan pria durjana yang hobi berselingkuh. Aku pikir setelah ia menikah dengan Clara, Daniel akan berubah menjadi good boy. Ternyata, aku bisa masuk menjadi orang ketiga. Otak Daniel hanya sebatas selangkangan walau ia pintar dalam mengelola bisnis.

Dari jauh, aku mengamati bisnis yang masih berjalan. Suatu saat nanti, aku pasti akan mengambil alih, dan Daniel sendiri yang akan menyerahkan. Perlahan tapi pasti, aku akan berusaha mengambil apa yang menjadi hak. Walau nanti, pasti akan berperang dengan Clara.

"Kita sampai!" Dokter Rama mengejutkan diriku yang tengah melamun. Aku pun menyengir kuda, lantas lekas turun. Restoran yang aku mau saat di perjalanan tadi. Rasanya enak jika siang yang panas ini menikmati makanan berkuah, seperti ramen.

"Perutmu aman, kan jika kita makan di sini?" tanyaku pada Dokter Rama. Setahuku, ia memiliki masalah dengan lambungnya.

"Tenang saja. Aman, kok." Dokter Rama meyakinkan. Walau aku menangkap senyumnya yang meragu. Selama ini, ia tak pernah mendebat setiap kali, aku sudah menentukan tempat untuk kami singgahi.

Duduk berdua layaknya pasangan yang tengah kencan. Dokter Rama memang sudah seperti Kakak bagiku. Ia yang tahu bagaimana perjalanan hidup, dan sedari awal kecelakaan, ia pula yang mau menanggung semua kebutuhanku.

Sekarang, aku sudah memiliki uang sendiri dari Daniel. Enam bulan bersama, tentu uang yang didapat sudah melimpah. Aku mengembalikan uang Dokter Rama yang sudah terpakai. Namun, ia menolak untuk menerima.

Ide kembali pada pelukan Daniel, mulanya ditentang keras oleh Dokter Rama. Ia ingin secara benar menggugat pengadilan, jika Lissa adalah Alexa. Namun, aku tak mau jika hanya mengembalikan harta, tanpa memberikan balasan karma.

"Hemm ... dari aromanya saja sudah nikmat." Aku menghirup asap ramen yang baru saja disajikan pelayan di atas meja. Kuah sup yang merah membuatku kian bernafsu untuk menghabiskannya.

"Apa kamu sudah mencari celah membocorkan perselingkuhan agar Clara meradang?" tanya Dokter Rama. Ia masih mengaduk-aduk dengan wajah meragu untuk menyantap ramen yang sudah ia pesan.

"Sudah. Aku memakai nomor lain untuk mengirim foto kedekatanku dengan Daniel. Tinggal tunggu reaksinya saja." Aku pun berucap di sela meniup mie panas yang pedas ini.

Dokter Rama malah meletakkan sumpit. Ia menatapku lekat. Aku yang tengah mengunyah menatap dengan bingung.

"Setop apa yang kamu lakukan, Lexa!" Dokter Rama tampak khawatir. Aku pun mengulurkan telunjuk dan mendaratkan pada bibir milik pria tampan di depanku ini.

"Lissa! Aku Lissa. Nama yang baru kamu sebut sudah mati." Aku berucap setengah berbisik dengan telunjuk masih berada di permukaan bibir milik Rama.

Pandangan kami beradu. Menumbuhkan desir yang selama ini kutepis kehadirannya. Tak mungkin aku menyukai pria yang sudah seperti keluarga. Cintaku telah mati, tak mungkin bisa hadir kembali.

Rama menurunkan jemari ini dan mengaduk kembali ramen miliknya. Aku pun mendadak merasa gugup, dan bingung harus melakukan apa. Kenapa mendadak canggung seperti ini?

Dering ponsel terdengar nyaring. Dari benda pipih yang sengaja aku khususkan hanya untuk meneror Clara. Pastinya wanita itu kebakaran jenggot saat tahu, ada foto mesra antara suaminya dengan wanita lain. Yaitu, aku.

"Siapa?" tanya Dokter Rama. Mungkin karena melihat ekspresi wajahku kali ini.

"Target." Aku memamerkan layar ponsel yang masih bergetar. Gegas mengambil tisu untuk mengelap bibir. Ingin menanggapi telepon dari rivalku, yang sudah lama ditunggu saat seperti ini.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height