+ Add to Library
+ Add to Library

C3 Orang Bayaran

Menepi sejenak meninggalkan Dokter Rama yang masih duduk di depan ramennya. Aku lekas menggeser tombol berwarna hijau yang ada pada layar.

"Halo." Aku untuk pertama kali bakal berbincang dengan Clara. Wanita yang namanya tertulis dalam daftar di hati, sebagai penerima balasan dariku

"Halo, suaramu mirip--," ucap Clara terhenti. Aku justru tertawa kencang. Mengaburkan pikiran rival yang kini ada di ujung telepon sana.

"Suara mirip itu banyak. Wajah yang mirip juga banyak. Hmm ... kamu menelepon ingin membahas tentang foto yang aku kirim?" Aku langsung mengarahkan ke inti. Tak mau membahas tentang suara Alexa, yang pastinya membuat Clara bisa menerka aku ini siapa.

Daniel pun semula seperti itu. Namun, ia menepis ketika kami bertemu. Wajahku jelas bukan Alexa. Sudah dipermak sedemikian rupa menjadi sosok lain, yaitu Lissa.

"Kamu siapa? Dan wanita di foto itu siapa? Apa itu kamu? Wanita yang tanpa harga diri menjadi pemuas nafsu suamiku di atas ranjang." Clara terbawa emosi. Suaranya terdengar lantang dan hampir saja memekakkan gendang telingaku.

"Harga diri? Memang kamu tahu artinya harga diri? Aku malah berpikir kamu pun sama dengan wanita yang ada di foto itu. Perebut suami orang. By the way, jika ingin tahu alamatnya, tentu aku bisa memberimu dengan percuma. Itu pun jika kamu mau menurunkan suaramu, dan bisa berbicara dengan adab." Aku pun memainkan jemari, seraya pandangan menatap ke luar jendela. Senang rasanya mengaduk emosi Clara.

"Aku tak mau banyak mulut. Kirim alamatnya segera. Aku tunggu!" Kalimat terakhir Clara sebelum ia menutup teleponnya. Wanita jalang itu masuk perangkap. Aku ingin tahu, bagaimana Clara kala dilanda cemburu buta. Di sini aku bisa menguji, kadar cinta Daniel pada sosok Lissa ini sampai mana. Apa ia akan menutupi cinta terlarang atau justru terang-terangan terbuka di depan Clara?

"Bagaimana? Apa Clara mengamuk?" tanya Dokter Rama, saat aku kembali ke meja. Sepertinya ia terus mengamatiku selama menerima telepon dari Clara.

"Iya, begitulah." Aku berucap santai. Memang ingin bertemu langsung dengan pelakor itu. Walau sekarang profesi kami serupa.

Menikmati ramen yang sudah dingin karena sayang jika tidak dihabiskan. Hanya tinggal beberapa suap saja, isi mangkuk tandas tak bersisa. Menyesap jus jeruk dingin sebagai menu pamungkas siang ini. Padahal, masih menginginkan makanan lain. Suara Clara berhasil membuat nafsu makanku menguar entah ke mana.

Dokter Rama harus kembali ke rumah sakit. Aku pun ingin pergi ke mall terlebih dahulu. Alamat apartemen sudah dikirim pada Clara, dan memintanya jika ingin datang di sore hari.

Menggunakan taksi online, ingin berbelanja banyak keperluan. Dua hari tanpa Daniel, pastinya tak ada yang membelikan makanan. Walau bisa dipesan delivery, hanya sekadar mengisi perut. Tapi, entah mengapa untuk sekarang aku ingin memasak sendiri.

Semula Dokter Rama yang ingin mengantar. Namun, dengan tegas aku tolak. Pria itu punya tanggung jawab dengan pekerjaannya. Tak mau sibuk mengurusiku dan ia bisa saja kelelahan. Cukup pengorbanannya sangat banyak selama ini untukku.

Mobil melaju membelah jalanan beraspal. Aku sesekali membalas pesan mesra dari Daniel. Pria yang sebenarnya makhluk yang paling menjijikkan di muka bumi, tetapi demi misi yang sudah tertata rapi, aku melayaninya dengan baik.

"Halo, Sayang!" Daniel menyapa dengan nada manja. Aku hanya tersenyum miring.

"Kenapa malah menelepon? Bukannya kita sedang berbalas pesan." Aku pun berpura-pura cemberut. Memainkan nada bicara agar tampil meyakinkan di telinga Daniel.

"Kangen kamu, Sayang. Pengin dengar suara kamu. Andai bisa, pengin peluk kamu sekarang juga." Daniel melancarkan rayuan gombal khas buaya darat. Aku jelas mencebik. Kata-kata seperti itu sudah basi. Seharusnya tak jaman melancarkan aksi bak pria paling ganteng saja. Harusnya ia berkaca.

"Masa." Aku menanggapi dengan dibubuhi tawa. Kontras dengan rasa yang ada di hati. Benci terhadap Daniel jelas sudah mendarah daging.

"Iya, Sayang. Hanya kamu yang selalu ada di hati ini." Daniel meneruskan bualannya. Aku harus berkali-kali meneguk air minum yang ada di dalam botol, agar bisa meredam rasa muak yang kini terasa.

"Sudah dulu, ya, Sayang. Aku sudah sampai mall. Bye, see you!"

"Oke, have fun, Sayang." Kalimat pamungkas Daniel sebelum aku menutup sambungan telepon. Taksi online yang membawaku sudah berhenti di depan pintu utama mall. Gegas turun karena ingin menemui seseorang juga di dalam sana.

Sengaja mengajak pertemuan di luar apartemen. Tak mau Daniel tahu dan menimbulkan kecurigaan. Ingin bermain cantik agar karma yang sudah disiapkan jalurnya, bisa terealisasi dengan sempurna.

Memindai sekitar dengan kacamata masih bertengger. Mencari keberadaan orang yang sudah kubayar. Pastinya ia memberi informasi yang terpercaya, sesuai perjanjian yang sudah kami sepakati bersama.

"Selamat siang, Pak Sastro!" sapaku, dengan tangan terulur padanya. Pria setengah baya itu pun memilin kumis yang melintang. Ia mempunyai banyak orang-orang yang disebar hanya demi memenuhi keinginan kliennya.

"Siang, Nona Lissa. Senang bertemu denganmu lagi. Silakan duduk!" Pria tua bangka itu mempersilahkan tempat untuk tubuh ini mendarat.

Kedua kakiku saling bertumpang tindih. Melepaskan kacamata agar bisa berbincang dengan Pak Sastro tanpa penghalang. Pria itu pun tersenyum bak bandit yang memang bagian dari pekerjaannya. Bisa dibaca, ia pastinya tak mungkin hanya memiliki satu wanita. Pria di dunia pastinya hampir serupa. Serigala yang berbulu domba.

"Apa yang kamu dan orangmu dapatkan akhir-akhir ini?" tanyaku. Memulai pembicaraan karena setelah ini aku harus belanja. Mengejar waktu sebelum bertemu dengan Clara.

"Ini foto dan alamat toko yang Pak Daniel datangi. Ia membeli beberapa barang untuk istrinya." Amplop cokelat disodorkan ke arahku. Tanpa basa-basi, aku mengambil untuk mengetahui isinya.

Foto di mana Daniel telah membeli dan membayar barang. Sebagian sepertinya untukku. Pria itu memang Casanova. Bak playboy andal, membelikan barang-barang untukku dan Clara, mungkin tujuannya agar bisa menyenangkan keduanya.

"Kerja yang bagus. Selain ini, apa lagi?" Aku memasukkan amplop ke dalam tas. Nantinya, akan membeli yang Daniel berikan pada Clara. Supaya wanita itu hatinya kian panas membara.

"Di weekend, Pak Daniel beserta istri akan pergi ke Lombok. Kami pun sudah menemukan lokasi mereka menginap nanti. Berikut dengan jadwal penerbangan. Jika Nona Lissa mau, kami bisa siapkan semuanya agar bisa berangkat bersamaan dengan mereka."

Aku pun menghela. Ternyata Daniel masih sedikit memberi hatinya pada Clara. Tak seperti ucapannya yang selalu menggaungkan, jika cinta dan sayang hanya untukku seorang. Sudah kuduga, itu hanya pemanis bibir yang jelas seperti dibubuhi bahan pengawet. Rasa manisnya hanya buatan dan mudah luntur.

"Oke. Terus kerjakan apa yang sudah aku perintahkan. Jangan lupa, kabari rutin. Uang bayaran Minggu ini, aku transfer sekarang juga. Terima kasih." Aku pun bangkit dari kursi. Meninggalkan pria yang matanya terlihat jelalatan jika berbincang denganku. Sepertinya hanya Dokter Rama yang mempunyai otak lurus. Walau sikap seperti itu, justru memunculkan kekhawatiran tersendiri. Ditakutkan ia mempunyai kelainan. Semoga saja tidak.

Berbelanja seperlunya. Tak lupa menyiapkan sajian untuk menyambut tamu agung. Pastinya ingin memberi sedikit syok terapi. Agar ia merasakan perut melilit bak kontraksi.

Rencana itu membuatku tak sabar ingin lekas bertemu Clara. Wanita yang dengan bangganya mendekap Daniel, tanpa malu. Masih ingat hingga kini, bagaimana rupa senyumnya pada hari di mana aku meluncur sebelum kecelakaan.

Report
Share
Comments
|
New chapter is coming soon
+ Add to Library

Write a Review

Write a Review
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height