MILIK GAMA/C4 Salah Sambung?
+ Add to Library
MILIK GAMA/C4 Salah Sambung?
+ Add to Library

C4 Salah Sambung?

Putri menahan napas ketika Gama memerintahkan dirinya untuk berbaring di atas ranjang kecil yang ada di sana.

Awalnya putri sangat ragu dan berniat menolak, tapi lagi-lagi tatapan tajam pria itu mampu membuat nyali Putri menciut sehingga tak berani membantah.

Gama membuka salah satu lemari penyimpan obat-obatan, lalu ia mengambil kapas dan sebuah botol berisi cairan bening.

"Aww ... perih, Pak," ringis gadis itu ketika Gama menempelkan kapas yang sudah dibasahi cairan antiseptik.

Pria itu diam, mengacuhkan keluhan gadis itu dan meneruskan pekerjaannya yaitu mengoles salep ke kulit Putri yang terlihat memerah.

Gadis itu menahan napas ketika Gama mengusap lembut kulit pahanya, entah perasaan Putri saja atau tidak, tapi gerakan pria itu terasa sangat lambat sekali, sehingga menyebabkan Putri merasa geli.

Suara langkah kaki berjalan mendekat, Gama segera menyudahi tugasnya dan berdiri menjauh. Dia menyimpan kembali peralatan yang tadi diambilnya.

"Selamat siang, Pak. Ma ... maaf, tadi saya keluar sebentar." Awalnya gadis itu terkejut melihat keberadaan keduanya di sini, atau lebih tepatnya keberadaan Gama. Dia adalah mahasiswa yang bertugas menjaga ruang kesehatan hari ini.

Gama menoleh, membaca nama gadis itu yang ada di seragamnya. "Nilaimu C semester ini."

Gadis bernama Jingga itu tersentak kaget, wajah pucatnya kentara sekali. "Maaf, Pak, saya ... saya cuma ke kamar mandi sebentar. Orang tua saya pasti kecewa kalau nilai saya jelek, Pak," ucap gadis itu memelas.

"Seharusnya kamu pikirkan orangtuamu saat tadi berpacaran di toilet!"

Mata Jingga sontak melotot, wajahnya semakin pucat pasi. "Saya ... saya ...."

"Ini peringatan terakhir, jika sekali lagi kamu lalai dalam bertugas, maka hukumannya bisa lebih dari ini."

Setelah berkata arogan seperti itu, Gama pergi dari hadapan keduanya, tanpa repot-repot menoleh atau sekedar bertanya sesuatu entah itu memastikan keadaan Putri.

Putri tersenyum canggung pada Jingga yang masih terlihat shock, tapi kali ini matanya menatap curiga pada Putri yang lupa saat ini ia tengah memakai celana orang lain. Sontak saja hal itu membuat Putri meringis tak enak ketika menyadarinya.

Setelah merasa keadaannya baik-baik saja, Putri berpamitan pada Jingga yang hanya mengangguk saja.

Gadis itu segera berjalan menuju loker, mengambil tasnya serta jacket yang tadi sempat ia bawa, lalu mengikatkan jacket itu di pinggangnya sehingga bisa menutupi sebagian dari celana yang ia kenakan, lalu Putri bersiap untuk pulang.

Sepanjang jalan Putri terus berpikir, apakah ia sudah resmi dipecat atau belum. Tadi ia tak sempat bertanya pada Gama tentang status pekerjaannya. Ingin kembali ke sana pun rasanya percuma, apalagi nyeri di kakinya mulai terasa menyengat.

Sudah dibilang Gama itu bukan dosen biasa. Jika tadi bukan dia, Putri tak akan sekhawatir itu. Tapi ini Gama, seseorang yang bisa berbuat semaunya tanpa memikirkan semuanya.

Sesampainya di rumah, Putri segera berjalan ke dapur untuk mengambil minum, tapi langkahnya terhenti ketika melihat Risa sedang duduk termenung dengan mata sembab.

"Mbak Risa ...," sapa Putri.

Wanita itu tersentak, dan segera mengusap kedua pipinya.

Putri tersenyum, lalu berjalan mendekat dan duduk di sebelah perempuan itu. "Mbak ada masalah?" tanya Putri lembut.

Risa menggeleng, lalu mencoba tersenyum seperti biasa. "Nggak apa-apa kok, cuma rindu kampung halaman. Memangnya kamu nggak rindu?" candanya.

Putri tersenyum lebar, pikirannya otomatis terbang jauh menuju kampung halaman yang sangat ia cintai. "Tentu saja aku juga rindu, Mbak," ucapnya tersenyum. "Tapi, aku sudah bertekad untuk tidak pulang sebelum cita-citaku tercapai!" ujarnya semangat.

"Kamu bahagia sama Amran?" tanya Risa ingin tahu.

"Nggak pernah sebahagia bersama dia sebelumnya," sahutnya sumringah.

"Mbak doakan kalian berdua bahagia," ucap Risa tulus.

"Amiin ... Mbak juga, kalau ada masalah, cerita sama aku, jangan di pendam sendiri," pintanya.

Risa tersenyum. "Iya. Sudah ... makan sana ... tapi kok ... pakaian kamu ...."

Putri meringis malu, lagi-lagi dia lupa dengan apa yang dikenakannya. "Kulitku hampir melepuh, Mbak. Kesiram air panas tadi," jelasnya.

"Loh ... sudah diobati? ayo Mbak anter ke klinik," ajak wanita itu khawatir.

"Eh, nggak usah, Mbak, sudah diobati kok tadi," tolak Putri.

"Lain kali kamu hati-hati, ya, kalau tahu Amran bisa diceramahin loh," gurau Risa.

Putri tertawa seraya mengangguk membenarkan. Kekasihnya itu memang seperti itu, selalu cerewet jika tentang kecerobohan Putri.

Pernah waktu itu, mereka masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, Putri yang ingin sekali ikut olahraga bola voly di sekolahnya begitu gembira ketika Amran tak melarangnya. Saking girangnya bisa bermain, Putri tak sengaja terjatuh dan mengakibatkan kakinya cidera. Sontak saja hal itu membuat Amran terkejut bukan main, langsung saja kejadian itu membuat Amran melarangnya habis-habisan bermain voly, serta memberikan wejangan gratis untuk gadis itu agar lebih berhati-hati lagi dalam segala hal.

Ah, Putri jadi merindukan kekasihnya itu.

___

Putri membolak-balikan tubuhnya di atas tempat tidur dengan gelisah. Dia masih bingung, haruskah besok ia pergi bekerja atau tidak? Gadis itu takut akan menanggung malu jika besok Gama mengusirnya karena ia sudah dipecat.

Putri mengambil ponselnya, mencari kontak Irma, lalu mengirimi temannya itu sebuah pesan.

Irma... besok aku harus gimana?

Tak lama ponsel putri berbunyi.

Gimana apanya? Kamu baik-baik aja 'kan?

Baik. Tapi, Pak Gama belum sempet bilang aku jadi dipecat atau nggak. :(

Yaudah sih, dateng aja besok.

Takut ih, nanti kalau diusir gimana?

Telfon gih orangnya langsung!

Takuuuut!

Lagian nggak punya kontaknya.

08x8x7x6x4x

Tuh, telfon! Tanyain yang jelas.

Putri menimbang saran dari Irma, tapi sungguh dia tak punya nyali untuk menghubungi pria itu dan bertanya soal pemecatannya.

Apa tidak ada cara lain? batin Putri.

Gadis itu mengamati sederet angka di layar ponselnya sambil merapalkan do'a. Entah mengapa hanya untuk menekan tanda panggil saja tangan Putri rasanya sudah bergetar, dia malah takut nanti suaranya juga ikut gemetar seperti orang menggigil, atau yang lebih parah adalah dia bisa saja pipis di celana.

Akan tetapi tak ada cara lain, Putri dengan modal nekatnya mulai melakukan panggilan via suara ke nomor yang tadi diberikan oleh Irma.

Putri menunggu dengan cemas, kakinya bergerak ke sana ke mari dengan gelisah, bibirnya terus saja merapalkan doa kebaikan untuknya.

Hingga dering kelima tak ada juga tanda-tanda pria itu akan menjawab telfonnya. Bahkan hingga dering terakhir, Putri harus merasa kecewa karena panggilannya tak digubris oleh pria itu.

Putri mencoba berpikir positif, bisa saja pria itu tidak mendengar atau sedang sibuk. Sudah kepalang tanggung, gadis itu mencoba peruntungannya sekali lagi.

Putri merasa gembira saat panggilannya dijawab pada dering ketiga, tapi Gama hanya diam tak bersuara.

"Ha ... halo, Pak Gama," sapa gadis itu gugup.

Namun, bukan suara Gama yang menjawab dari seberang sana, melainkan suara desahan panjang seorang wanita yang membuat Putri terkejut setengah mati. Mungkinkah ia salah sambung?

****

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height