Miss Primadona/C1 Miss Primadona
+ Add to Library
Miss Primadona/C1 Miss Primadona
+ Add to Library

C1 Miss Primadona

Bagian 1

Berparas cantik dan dikagumi banyak kaum adam di kampusnya. Ya, dia—Tisa, perempuan yang terkenal akan kecantikannya, bak model. Banyak laki-laki yang mengagumi kecantikannya, dan berusaha mendapatkan cintanya.

"Udah semester enam, apa kamu masih mau memendam perasaanmu itu, Ra?" tanya Tisa kepada Zara.

Zara sudah lama mengagumi sosok Ian, semenjak pertama masuk kuliah. Ian berparas tampan, berambut cepak dan beralis tebal. Mereka satu kelas, tapi Zara jarang mengobrol dengan cowok itu. Zara takut, sikapnya akan memperlihatkan kalau ia mempunyai rasa terhadap Ian.

Zara menggeleng. "Entahlah, aku nggak tahu dengan cara apa aku bisa dekat sama Ian, Tis. Kalau kamu kan enak, kamu cantik, banyak yang suka sama kamu. Kamu nunjuk salah satu cowok aja, mereka pasti mau. Sedangkan aku?" Ia menghela napas, hatinya gundah.

Tisa tersenyum tipis, lalu menepuk bahu Zara. "Aku bisa kok bantuin kamu dekat sama Ian. Mau, nggak?" bisik Tisa.

Zara mengernyit bingung. Bagaimana Tisa bisa mendekatkannya dengan Ian? Zara saja ngobrol dengan Ian saja rasanya seperti jantungnya mau copot.

"Gimana caranya?" tanya Zara masih kebingungan.

"Ada, deh. Serahin semua sama aku, beres," gumam Tisa mengacungkan kedua jempolnya.

Zara hanya mengangguk pasrah dan menurut akan rencana Tisa yang akan mendekatkannya dengan Ian, pujaan hati yang selama ini dia idam-idamkan.

Tiba-tiba jantung Zara berdetak kencang, ia tahu kenapa. Setiap Ian mau lewat, pasti jantungnya langsung berdetak. "Pasti Ian mau lewat, aku deg-deg an, Tis."

Benar saja, beberapa menit kemudian, Ian lewat, tanpa menyapa sedikit pun.

Tisa langsung menyengol tubuh Zara. "Ian, tuh," ledek Tisa.

Wajah Zara tersipu malu dan langsung memerah.

"Malu cieee ... cieee, " ejek Tisa lagi.

Zara memutarkan bola matanya. "Nggak, kok."

Tisa hanya mengangguk, tanda mengiyakan.

***

"Ian, ke kantin bareng, yuk. Ada yang mau omongin sama kamu," gumam Tisa saat istirahat tiba.

"Kamu mau ngomong apa?" tanya Ian sambil berjalan menuju kantin menyejajarkan langkah dengan Tisa.

"Jadi, ada yang suka sama kamu. Udah lama," ucap Tisa seusai tiba di kantin.

"Siapa?" tanya Ian penasaran. Ian membenarkan posisi duduknya, menatap Tisa dengan serius.

"Zara," jawab Tisa to the point.

"Oh, Zara? Aku kira kamu yang suka sama aku." Ian tertawa lepas. "Kalau aku sukanya sama kamu bukan sama Zara, gimana?"

Deg

Spontan jantung Tisa berdegup kencang. Tisa menggeleng tak habis pikir dengan ucapan Ian. Pasti Ian cuma bercanda, pikirnya.

"Apaan, sih. Aku serius. Zara udah lama suka sama kamu," jelas Tisa seadanya.

Ian hanya mengangguk pelan. Cowok itu hanya terdiam, tak bicara sepatah katapun. Jujur, yang selama ini Ian sukai adalah Tisa, bukanlah Zara. Bagi Ian, Tisa itu cantik dan anggun. Berbeda dengan Zara yang penampilannya apa adanya.

"Kamu ngapain, Tis, berduaan sama Ian di sini?" tanya Keyla yang spontan membuat keduanya kaget.

"Mau comblangin Ian sama Zara," bisik Tisa pada Keyla.

Keyla mengangguk dan membulatkan mulutnya. "Yaudah, aku ke kelas dulu, ya," pamit Keyla.

Sebelum Keyla bergegas menuju kelas, Tisa menarik tangan Keyla. "Jangan bilang ke Zara, ya, kalau aku baru comblangin dia."

Keyla mengangguk dan berlalu menuju kelas.

"Plis balas cintanya Zara. Aku mohon." Tisa memohon pada Ian dengan penuh harap sembari mengenggam tangan Ian erat.

"Kamu disuruh sama Zara?" tanya Ian, menatap Tisa penuh curiga. Ya, bisa saja Tisa melakukan hal ini karena disuruh oleh Zara.

Tisa menggeleng cepat.

"Maaf, aku nggak bisa." Ian berlalu meninggalkan kantin. Padahal Ian tetap berharap Tisalah yang menyukai dirinya bukan Zara.

"Ian, tunggu!" Tisa berteriak menyusul Ian yang sudah keluar kantin lebih dulu.

"Aku nggak bisa. Nanti kita ketemuan di kafe Bintang jam tiga sore. Aku tunggu," ucap Ian. Tisa hanya bisa memandangi punggung cowok itu yang mulai jauh.

***

Sore telah tiba, Tisa sudah berada di kafe Bintang bersama Ian.

"Ada apa kamu nyuruh aku ke sini?" tanya Tisa penuh tanya.

Ian menatap Tisa serius lalu mengenggam tangan Tisa. "Tis, aku suka sama kamu. Mungkin, aku terlalu pengecut untuk mengakuinya. Kamu mau kan jadi pacarku?" Ian mengungkapkan perasaannya pada Tisa. Dan, berharap Tisa mau menerima cintanya. Cowok itu sudah tidak bisa menahan perasaaan yang selama ini dia pendam.

Tisa melepas genggaman Ian. Tisa menggeleng pelan.Dia tak mau dianggap sebagai perebut orang yang disukai temannya.

"Kenapa? Zara, ya? Kita bisa pacaran diam-diam tanpa Zara tahu. Plis, terima aku." Ian kembali menggengam tangan Tisa. Tatapannya penuh keseriusan.

"Tapi-" Tisa tak melanjutkan kata-katanya.

"Udah lah, Tis. Ngapain kamu mikirin Zara? Aku sukanya sama kamu, bukan Zara. Zara bukan tipe aku."

Tisa seolah terbuai dengan rayuan maut Ian. Dan, akhirnya Tisa menerima cinta Ian.

"Oke, sekarang kita pacaran. Kalau di kampus kita harus bersikap biasa. Kalau waktunya tepat, kita bakal kasih tahu Zara yang sebenarnya," gumam Ian senang. Akhirnya, ia bisa berpacaran dengan cewek yang ia idamkan.

"Apa itu nggak menyakiti Zara?" tanya Tisa sedikit ragu.

Ian menggeleng, "Apa kita kasih tahu Zara, besok? Biar dia nggak mengharapkan aku lagi?" Ian menaikkan sebelah alisnya.

Tisa memanyunkan bibirnya. "Jangan, kalau waktunya udah tepat aja. Kalau Zara benci sama aku, gimana?" Di lain sisi, Tisa merasa bersalah pada Zara. Ia sadar, ia sudah menghianati temannya sendiri. Tapi, di lain sisi, ia juga ingin punya pacar-- yang pengertian seperti Ian.

"Makasih kamu udah mau nerima aku jadi pacar kamu. Aku ada sesuatu buat kamu." Ian menyodorkan bunga mawar untuk Tisa. Tisa terharu dengan yang Ian berikan. Ia langsung menerima bunga mawar dari Ian.

"Thanks, Honey," gumam Tisa dengan tatapan berbunga-bunga.

Ian mengangguk dan mereka berdua hanyut dalam suasana kafe sore itu.

**

Tisa dan Ian berjalan beriringan dari parkiran menuju kelas. Tepat di taman kampus, ia melihat Zara menuju ke arah keduanya. Dengan sigap, keduanya menjauhkan langkah mereka.

"Hai," sapa Zara setelah sampai di taman kampus.

"Hai, juga, Ra." Tisa menyapa balik Zara. Ada perasaan takut dalam benaknya. Ya, takut ketahuan kalau sudah berpacaran dengan Ian.

"Kalian berangkatnya bareng?" tanya Zara yang spontan membuat keduanya sedikit shock.

Ian menggeleng pelan, "Nggak, Ra. Tadi nggak sengaja ketemu di parkiran. Jadi, sekalian bareng."

Zara hanya mengangguk. Tak ada kecurigaan dalam hatinya. Ia berpikir se-positif mungkin.

"Yuk, ke kelas," ajak Tisa kemudian mengandeng tangan Zara menuju kelas.

Sesampainya di kelas, Zara duduk di belakang Tisa. Dan, Tisa duduk di depan sendiri—sebelah Ian.

Selang beberapa menit kemudian, Zara menghampiri meja Tisa untuk menanyakan kejelasannya mendekatkannya dengan Ian.

"Tis, gimana udah ada cara buat ndeketin aku sama Ian?" tanyanya lirih.

Tisa mengancungkan dua jempolnya. "Beres," ucapnya berbohong.

Zara seketika tersenyum. Zara sudah membayangkan rencana Tisa akan berhasil. Dan, sebentar lagi ia akan dekat dengan Ian. Zara sedikit melirik ke arah Ian. Tanpa Zara tahu, bahwa Ian sudah jadian dengan Tisa. Ian yang sadar diperhatikan oleh Zara langsung menengok. Dengan cepat, Zara langsung mengalihkan pandangannya.

**

"Apa? Jadi kamu sama Ian jadian?" tanya Keyla saat istirahat tiba. Hal itu jadi patokan Tisa untuk menceritakan semuanya saat Zara sedang pergi ke kantin dengan Ilma.

Tisa hanya mengangguk, tak memedulikan. Setelah ia pikir-pikir, kenapa ia harus memedulikan kebahagiaan Zara. Toh, Ian lebih suka dengannya dibandingkan dengan Zara. Lagi pula semenjak SMA, Tisa sudah dikelilingi cowok-cowok kaya dan ganteng. Banyak yang menyukainya karena Tisa cantik dan menarik. Semenjak dia menyadari kecantikannya, Tisa selalu menanggapi cowok-cowok yang mendekatinya. Ya, walaupun kadang berakhir dengan harapan palsu. Tisa selalu memilih cowok yang kaya dan popular di sekolah. Lain halnya saat di kuliah, belum banyak yang tahu sikap asli Tisa seperti apa, tetapi suatu saat, dia akan menunjukkan sikap aslinya kepada semua orang supaya mereka tahu kalau Tisa bisa mendapatkan apa yang dia mau.

"Kamu gila? Kalau Zara tahu, gimana? Kamu tahu kan Zara udah hampir 3 tahun suka sama Ian?" pekik Keyla, seolah tak terima. Ia tak menyangka, Tisa tega menikam Zara dari belakang.

"Ian lebih suka sama aku, dibandingkan sama Zara," celetuk Tisa sambil memutar rambutnya yang panjang.

Keyla masih menggeleng tak percaya. Gadis itu masih tidak menyangka Tisa akan setega itu pada Zara.

"Zara udah tahu?" tanya Keyla lagi.

Tisa menggeleng cepat. "Belum waktunya. Nanti dia juga bakalan tahu, kok. Kamu bisa kan rahasia-in semua ini dari Zara?" Tisa memberikan uang seratus ribuan pada Keyla.

"Nah, ini baru aku bisa jaga rahasia," gumam Keyla sambil menerima uluran uang dari Tisa. Keyla bodo amat, yang penting dia sudah mendapat uang dari Tisa. Lumayan pikirnya untuk makan-makan.

Tisa mengibaskan rambuntnya. "Siapa sih yang nggak mau sama Ian. Udah ganteng, kaya lagi."

Keyla menujuk jari telunjuknya ke arah Tisa. "Better choice."

Saat mereka berdua bercakap-cakap, Ian datang sambil membawa minuman untuk Tisa."Sayang, ini minuman buat kamu," ucap Ian mesra.

"So sweet," sahut Keyla lalu meninggalkan keduanya.

"Keyla, udah tahu?" tanya Ian penuh tanda tanya.

Tisa mengangguk antusias.

"Tapi, dia nggak bakal kasih tahu Zara, kan?" Tisa mengangguk lagi.

Zara dan Ilma menuju ke kelas seusai dari kantin. "Kalian ngomongin apa, sih?" tanya Zara tepat di meja Tisa.

Tisa yang kaget dengan kedatangan Zara merasa gelagapan. "Eumm, ini baru nyari cara buat deketin kamu--sama Ian."

"Bener," sahut Keyla berbohong. Ia berusaha menutupi semuanya dari Zara--karena ia sudah menerima uang dari Tisa.

Zara mengangguk antusias. "Aku beruntung banget punya sahabat seperti kalian." Zara memeluk kedua sahabatnya dari depan. Ilma turut terharu dengan persahabatan ketiganya. Ya, walaupun Ilma hanya teman biasa--bukan sahabat. Tapi, ia dan Zara lumayan akrab.

Zara melepaskan pelukannya. Ia melemparkan senyum kepada dua sahabatnya itu. Padahal, Zara tak tahu akal licik keduanya sahabatnya. Mungkin, kalau Zara tahu, apa Zara masih menganggapnya sahabat?

Ian berdiri di depan kelas. Cowok itu berpura-pura memberi kode pada Tisa dengan cara tersenyum--supaya tidak timbul kecurigaan. Ian kemudian beranjak dari kelas menuju taman kampus. Seusai sampai di sana, ia mengirimi Tisa pesan WhatsApp.

Aku tunggu di taman kampus.

Tisa yang mendengar suara ponselnya berbunyi langsung mengeser layarnya. Dan, ada pesan dari Ian. Tisa mengerti, ia bangkit dari duduknya menuju ke taman kampus.

"Mau ke mana, Tis?" Zara mengikuti Tisa ke depan kelas.

"Ke toilet," ucap Tisa langsung berlari begitu saja.

***

"Kamu ngapain nyuruh aku ke sini?" Tisa sampai di taman kampus, langsung duduk di samping Ian.

"Kayaknya kita harus kasih tahu Zara sekarang, deh. Sampai kapan kita kucing-kucingan kayak gini?" Ian ingin mengakhiri sandiwara. Cepat atau lambat, pasti Zara tahu yang sebenarnya.

"Tapi--" Tisa tak melanjutkan kata-katanya.

Ian mengenggam tangan Tisa. "Lebih baik dia tahu sekarang. Kalau besok-besok itu artinya semakin menyakiti hatinya, kan?"

Tisa mengangguk pelan. Dia menyetujui permintaan Ian.

"Kamu yang bilang ke Zara, ya?" Ian memberikan intruksi. Tisa mengangguk, lalu mengirimkan pesan ke Zara untuk ke taman kampus.

Di lain tempat, Zara menerima pesan dari Tisa. Dengan sigap, Zara langsung bergegas menuju taman kampus. Tak sampai dua menit, Zara sudah ada di sana. Ia melihat Ian dan Tisa berduaan. Tapi, ia tetap berusaha berpikiran baik pada mereka.

"Kamu ngapain Tis nyuruh aku ke sini?" tanya Zara sedikit bingung.

Tisa menghela napas. Dan, terpaksa ia mengatakan yang sebenarnya. "Maaf, Ra. Aku sama Ian udah jadian. Bukan maksudku nikam kamu dari belakang."

Zara menggeleng tak percaya. Zara tak menyangka Tisa akan setega itu padanya. Gadis itu berlari dari taman kampus menuju ke kelas.

Sesampainya di kelas, Zara menangis. Ilma yang tahu Zara menangis langsung menghampiri Zara."Kamu kenapa, Ra?" Ilma menepuk bahu Zara, berusaha menenangkan Zara.

Zara tetap diam, tak mau bicara sedikitpun.

"Cerita, Ra," bujuk Ilma.

"Tisa jadian sama Ian," gumam Zara. Ada kesedihan sangat mendalam dalam hatinya.

"Bukannya Tisa udah tahu kalau kamu suka sama Ian?"

Zara mengangguk dan mengusap air matanya.

"Ian juga suka sama Tisa. Makanya mereka jadian," sahut Keyla.

Zara mengeryit bingung. "Kamu tahu dari mana?"

"Nggak perlu tahu. Udah lah, Ra, ikhlasin Ian sama Tisa. Biarin mereka bahagia. Apa kamu nggak senang kalau Tisa bahagia?"

Mungkin yang dilontarkan Keyla benar. Ia harus mengikhlaskan Tisa bersama Ian. Walaupun semua tidak mudah--seperti membalikkan telapak tangan.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height