Mon Amour/C1 Pengusaha Muda
+ Add to Library
Mon Amour/C1 Pengusaha Muda
+ Add to Library

C1 Pengusaha Muda

"Saat semua yang kita impikan tercapai, kamu tidak ada."

~~~

"APA yang menjadi pondasi awal dari sebuah bisnis?" tanya Antonio pada para audiens dalam seminarnya. Motivator kelas dunia tersebut berjalan di sekitar ruangan dengan satu tangan masuk ke kantung. "Apakah, Anda tahu?" tanyanya lagi.

Mandarin Orhard, Singapur, pukul satu siang waktu setempat. Ananta Faja Airlangga, atau yang akrab disapa Ananta, tengah mengikuti seminar bisnis. Dengan pemateri Antonio Assaraf.

"Jika menganggap dasar dari sebuah bisnis adalah modal, maka Anda salah besar!" sambung Antonio.

Ananta, pengusaha muda yang baru merintis usahanya sejak lima tahun lalu, memperhatikan dengan serius.

"Bagaimana seorang mantan loper koran ini ...." Tunjuk Antonio pada dirinya sendiri. "Saat ini bisa membangun bisnis properti yang berkembang cukup pesat, bahkan sampai ke Dubai."

Tentu saja semua peserta ingin tahu.

"Jika Anda mau tahu, jawabannya adalah kejujuran."

Para peserta seminar kelihatan belum memahami sepenuhnya.

"Beri kesempatan aku untuk bercerita."

Antonio menunjuk layar monitor dengan pointer. "Lima belas tahun lalu, tepatnya tahun 2003. Saat itu aku hanyalah tukang loper koran biasa. Aku bekerja keras, selalu mengantar koran tepat waktu. Hingga, sebuah kesempatan besar datang kepadaku. Dengan modal seadanya, aku mendirikan usaha sendiri berupa percetakan. Namun, sayangnya seiring berkembangnya waktu, bisnisku bangkrut. Karena, ya, kalian tahu lah." Antonio sedikit mengangkat bahunya. "Orang-orang lebih suka menonton gosip di televisi daripada membaca berita di koran. Cerita tentang percintaan artis seksi lebih diminati daripada informasi yang bermanfaat."

Para audience tertawa seiring Antonio yang juga melepaskan senyumnya. Motivator bertubuh tegap itu melanjutkan kembali ceritanya.

"Dalam keadaan keuangan yang terpuruk itu, aku terpaksa harus bekerja sebagai pelayan Cafe."

Ucapan Antonio barusan, menyentuh hati Ananta. Saat kuliah, demi mendapatkan uang uang tambahan, dia pernah bekerja sebagai tukang cuci piring. Waktu itu, adiknya sakit keras dan membutuhkan biaya pengobatan cukup banyak.

"Well, mungkin ini rencana Tuhan. Saat sedang bekerja seorang pengunjung tanpa sengaja meninggalkan satu bundel uang 100 dolar di atas meja. Jika dia bilang itu tip untukku, maka aku takkan segan menerimanya. Sayangnya, saat dia pergi dari mejanya, tak ada pesan apa-apa. Kalian tahu apa yang ada di pikiranku saat itu?" Antonio membuat pertanyaan.

Para pebisnis yang hadir di ruangan tersebut diam, menanti kelanjutan kisah mentor mereka.

"Sebagai orang yang sangat butuh uang--kalian harus tahu saat itu aku bekerja selama satu bulan hanya untuk mendapatkan uang 200 dolar-- tentu ada setan dan Malaikat yang saling berbisik di telingaku. Setan berkata, 'Kenapa tidak aku ambil saja uang itu'." Antonio membuka telapak tangannya. "Toh, aku pun butuh uang dan dia mungkin memang sengaja meninggalkannya untukku. Namun, aku bersyukur karena Tuhan masih mengutus malaikat untuk membisikkan hal baik pada diriku. Maka, aku putuskan untuk menemui orang tersebut dan mengembalikan uangnya."

Ananta menggaruk dagunya perlahan. Ia sandarkan tubuhnya di kursi dengan mata fokus pada Antonio. Kisah mantan loper koran tersebut semakin menarik baginya.

"Aku menyusul dia yang sudah berada di parkiran. Asal kalian tahu, aku tidak tahu siapa namanya dan tidak kenal siapa dia. Aku kembalikan sebundel uang 100 dolar tersebut."

"Saat kupegang, itu sangat tebal. Mungkin jumlahnya ada 100 lembar." Antonio mengenang kisahnya.

Kukembalikan gulungan dolar tersebut. Dan, apa tanggapan dia?" Sebuah pertanyaan terlontar.

"Dia mengajakku untuk menuju tempat mobilnya di parkir. Saat itu ada sopirnya yang menunggu. Dia meminta sopirnya untuk membuka bagasi belakang mobil. Begitu bagasi belakang dibuka, dia mengambil sebuah koper. Saat itulah aku nyaris pingsan!'

Ananta terpaku pada Antonio, bagaimana akhir kisah ini sangat dia nantikan.

"Aku lihat tumpukan uang 100 dolar ada begitu banyak ada di dalam koper. Saat itu, aku perkirakan mungkin jumlahnya ada lebih dari satu juta dolar," terang Antonio.

"Dia mengambil uang yang aku kembalikan, lalu memasukkan satu tumpukan uang tersebut ke dalam kopernya. Bodoh bukan? Betapa menyesalnya aku saat itu. Andai saja aku ambil uang itu dia tidak akan sadar. Karena, jumlahnya sangat banyak. Tapi tenang saudara-saudara, ceritaku belum selesai."

Antonio meminta izin sebentar untuk minum. Wajar saja. Dia sudah bicara cukup panjang lebat sedari tadi. Setelahnya, Antonio menggeser layar monitor dengan pointer.

"Buah kejujuranku saat itu." Dia menunjukkan salah satu sketsa bisnis propertinya di Dubai, Uni Emirat Arab.

Semua peserta seminar berdecak kagum.

"Saat itu, Tuhan masih baik padaku. Pria tersebut, rupanya adalah Mr Kruger, yang kita tahu saat ini ada dia adalah investor terbesar di dunia. Dia memberiku sebuah kartu nama. Dan dia bilang, kalau aku mau belajar bisnis atau sudah punya bisnis, aku bisa datang padanya. Lalu dia pergi begitu saja. Hei!" Antonio sedikit menaikkan nada bicaranya. "Apa kalian bisa bayangkan. Untuk orang yang punya begitu banyak uang, saat kukembalikan uangnya yang hilang, tak ada satu dolar pun dia berikan padaku."

Ananta dan yang lainnya semakin menikmati cerita Antonio.

"Saat itu, tentu aku tidak mau rugi. Kusimpan kartu namanya dan esok harinya aku datang ke kantornya. Well kalian tahu lah, apa yang selanjutnya. Transaksi bisnis dimulai. Dia mempercayakan dananya padaku untuk dikelola. Saat itu, aku mau beralih dari bisnis koran ke bisnis properti. Dia tahu, aku hanyalah pemula. Jujur, saat itu aku pun hanya iseng mengajukan dana." Antonio menggelengkan kepala sendiri kala mengingat kisahnya.

"Tapi, apa yang Mr. Kruger katakan padaku dan itu yang kukenang sampai saat ini? Dia bilang bahwa aku adalah orang yang jujur. Karena orang yang jujur itu lebih utama daripada paham strategi bisnis."

Ananta tanpa sadar mengangguk. Antonio, menjadi pebisnis sukses karena kejujurannya. Bahkan, orang paling berpengaruh nomor satu di dunia--Muhammad-- juga sukses sebagai pengusaha karena kejujurannya.

Antonio masih melanjutkan materi. Namun, entah kenapa Ananta tiba-tiba teringat dengan Toni, adiknya. Dia mengambil dompet dari dari balik saku jasnya. Ia buka dompet tersebut dan diambilnya foto Toni. Diusapnya perlahan gambar adiknya tersebut.

Toni. Apa kamu bisa merasakannya di sana? Sekarang, Mas sudah bisa mewujudkan impian kita. Impian yang dulu pernah kamu minta. Bahwa kita harus punya usaha sendiri, supaya kita bisa menolong orang lain. Apa kamu bisa melihatnya Toni? Apa kamu bisa merasakan perjuangan, Mas?

Mas sedih. Karena saat semua terwujud, kamu nggak ada.

***

Sekitar pukul empat sore, Ananta keluar dari ruang seminar. Baru sampai depan pintu, seseorang memanggilnya.

"Permisi," kata orang tersebut, "Anda menjatuhkan ini." Dia mengembalikan photo Toni yang rupanya terjatuh.

Ananta mengambil photo tersebut. "Terima kasih sudah mengembalikannya pada saya."

"Sama-sama," jawab pria paruh baya tersebut. "Dia terlihat mirip denganmu."

"Tentu. Dia adik saya."

Ananta kemudian mengulurkan tangan. "Perkenalkan, Pak, saya Ananta."

Pria tersebut menjabat tangan Ananta. "Utama Hanggono," jawabnya. "Sebenarnya saya juga orang Indonesia, asli Surabaya. Tapi, untuk saat ini saya menetap di Singapur. Mungkin kita bisa cari tempat untuk mengobrol," tawarnya. "Kamu nggak buru-buru pulang ke Indonesia, 'kan?"

"Maaf sekali, Pak. Sebenarnya saya juga mau mengobrol dengan Bapak. Saya perlu belajar lebih banyak soal bisnis. Tapi ...." Ananta mengangkat kedua bahunya. "Ibu saya, sudah meminta saya untuk pulang."

Alis Utama berkerut. "Minta izin dengan ibumu sebentar. Akan menyenangkan jika kita bisa saling berbagi ilmu, supaya makin berkembang wawasan tentang bisnis."

Ananta tetap menolak. "Saya harap bisa begitu, Pak," jawabnya. "Tapi, saat ini ibu saya menjadi prioritas utama."

Utama menyilang tangan di dada. "Bagaimana dengan adikmu, apa dia tidak bisa menggantikanmu sebentar?"

Ananta tersenyum lebar. "Jika saat ini dia masih ada, maka dia pasti menemani ibu kami. Selama ini dia yang paling dekat dengan ibu."

"Maksudnya?" Pria berkacamata itu sedikit terkejut mendengar ucapan Ananta.

"Adik saya, sudah meninggal tujuh tahun yang lalu karena kanker."

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height