Mon Amour/C2 Tidak Ada yang Berubah
+ Add to Library
Mon Amour/C2 Tidak Ada yang Berubah
+ Add to Library

C2 Tidak Ada yang Berubah

Tidak ada yang berubah.

Semua masih sama.

Hati ini masih tetap merindukanmu.

Bedanya, sekarang tidak ada kamu.

~~~~~~~

MAYA dipecat dari pekerjaan. Bukan, atasannya masih menggunakan bahasa yang lebih halus, yakni disuruh istirahat dulu di rumah. Walau menerima dengan ikhlas, tetap saja ini sulit baginya. Apalagi, dia sudah bekerja di perusahaan itu selama tiga tahun.

Ini semua salahnya, memang. Siapa suruh dia ribut dengan Michella, pemilik butik sekaligus pelanggan utama dari perusahaan tempatnya bekerja.

Bukan ribut hubungan antara customer service dengan pelanggan. Melainkan baku hantam antara yang memiliki hubungan sah dan sang selingkuhan. Entah siapa yang siapa yang jadi selingkuhan. Keduanya mengaku sah sebagai kekasih dari Johan.

Selain jadi pengangguran, sekarang Maya juga seorang jomlo. Pasalnya, dia lebih memilih memutuskan hubungannya dengan Johan. Ternyata benar kata orang, pacaran itu bisa jadi kita cuma menjaga jodoh orang lain.

Galau berkepanjangan, Maya terus menghabiskan harinya hanya di kamar. Memakan cemilan sambil nonton drama. Begitu terus. Asal tahu saja, Maya bukan tipe orang yang suka menyiksa diri. Seburuk apa pun kondisi hatinya.

Saat kuliah dulu, ketika mahasiswa semester akhir stress karena skripsi. Maya tetap santai. Dia bahkan tak pernah lupa makan. Selalu ada makanan di tasnya.

Ketika kucing kesayangannya mati, Maya bersedih. Namun, hanya sebentar ia menangis. Setelahnya dia pergi ke bioskop.

Membeli pop corn, lalu menonton komedi.

Prinsip hidup Maya, 'Tuhan pasti punya maksud lain'.

Namun, tetap saja ibunya pusing. Maya tidak keluar kamar. Paling hanya sebentar, untuk ke kamar mandi atau ambil cemilan. Kalau didiamkan terus, bisa makin 'sehat' dia.

Sekitar pukul tujuh, Maya keluar kamar untuk ambil minum. Afifah--ibunya Maya--memperhatikan anaknya tersebut. Setelah mengisi botol minumnya, Maya kembali masuk kamar.

Afifah mendesah. Putrinya sudah dewasa, percuma kalau dia mengomel. Yang ada nanti, Maya tambah stress.

Afifah sudah meminta bantuan Kinan, agar mau menasihati Maya.

Maya baru saja masuk kamar. Begitu tahu Kinan datang, dia segera lari menuju tempat tidur dan menutupi seluruh tubuh dengan selimut. Sampai lupa kunci pintu dulu.

Kinan membuka pintu kamar Maya. Dia sempat berdecak.

"Bangun, May!" ucap Kinanti saat mendapati sahabatnya tersebut tengah meringkuk di atas kasur dengan tubuh tertutup selimut.

Maya tak menggubris Kinanti.

"May!" Kinan menepuk bokong Maya.

Bodo amat! batin Maya.

Tak menyerah, Kinan tarik kaki Maya, sampai sahabatnya itu terperosok dari atas spring bed.

"Apaan, sih, Nan!" omelnya. Dia kembali merangkak ke kasur mencoba untuk sembunyi lagi. Namun, usahanya gagal karena Kinan menariknya lagi.

"Kamu beneran mau kayak gini terus? Liat kamar kamu, May." Kinan mengerling ke seisi ruangan. "Jangan-jangan hantu juga gak betah."

"Baguslah!"

Kinan menghela napas. "Ayo bangun!"

Maya duduk di atas kasur, menatap Kinan yang berdiri di sampingnya. "Gue ini lagi patah hati. Tau!"

Kinan berkacak pinggang. "Mandi, terus cari kerjaan lagi."

"Males." Maya merentangkan tubuhnya lagi di atas kasur.

"Bangun!" Kinan menarik Maya. "Kalau begini terus, kamu makin bulukan."

"Biarin."

"Mandi cepet! Tante Afifah bilang, kamu udah tiga hari gak mandi."

"Dih! Mana ada," sergah Maya, "gue itu cuma gak mandi dua setengah hari. Belum nyampe tiga."

Kinan enggan berdebat dengan Maya. Selanjutnya yang dia lakukan adalah menarik sahabatnya itu untuk mandi. "Ayo, May!" Susah payah, dia menyeret Maya.

Maya jalan mengikuti tarikan Kinan, dengan lesu.

Sampai depan pintu kamar mandi, Kinan membuka pintu dan mendorong Maya masuk. Bukannya mandi, dia malah menempelkan tubuhnya di tembok, mirip cicak.

Kinan menyilangkan tangan di dada.

"Kalau kamu gini terus, kamu bener-bener bikin Johan nyesel."

"Nyesel apa?" tanya Maya dengan kepala tetap menempel ke tembok.

"Nyesel, pernah kenal kamu."

Maya membalikkan badan. Dia pasang wajah kesal.

"Makanya, mandi. Habis itu dandan yang cantik, terus cari kerja lagi. Banyak, kok, perusahaan yang mau terima kamu."

Maya pikir benar juga apa yang diucapkan Kinanti. Dan, harusnya dia bisa membuat Johan menyesal meninggalkannya bukan menyesal karena pernah bersamanya.

"Oke, gue mandi!"

Pintu kamar mandi ditutup. Akhirnya, Maya mau menuruti Kinanti.

"Kamu gak perlu menunggu Maya di situ, Nan," suara Afifah, sedikit mengejutkan.

Gadis yang diajak bicara Afifah, menoleh.

"Sini, Nan, kita sarapan."

"Iya, Tante," jawabnya.

Kinan meninggalkan Maya yang berada di dalam kamar mandi.

Afifah tengah sibuk menyiapkan sarapan. Dia pergi sebentar ke dapur, untuk mengambi sesuatu.

"Duduk, Nan!" pinta Afifah setelah dia kembali dari dapur membawa sebuah mangkuk besar yang terlihat berasap. "Hari ini, Tante buat soto, loh. Kamu harus makan."

Kinan duduk. Ibunya Maya dengan sigap, menyiapkan semangkuk soto. Dia berterima kasih karenanya. Dari aroma yang tercium, Kinan menebak kalau itu enak.

Mereka sarapan bersama, sambil menunggu Maya selesai mandi. Satu seruputan kuah soto, Kinan menggumam karena kenikmatannya. "Ini enak, Tante," ujarnya.

Afifah kelihatan senang. "Enak?" tanyanya lagi dengan dua alis terangkat naik.

"Banget!" tandas Kinan.

"Kalau gitu, jangan lupa nanti bawa untuk ibumu dan Ido."

Kinan mengangguk. "Kalau gitu, nggak sia-sia dong, Kinan ke sini," guraunya.

Afifah mendesah. "Untung kamu ke sini, Tante males mau ngomongin itu anak."

Kinan hanya tersenyum simpul mendengarnya.

"Yang berubah dari Maya itu cuma badannya doang, Nan. Sementara kelakuannya masih sama kayak anak kecil," tambah Afifah.

Kinan mengangguk dengan ritme lambat. Kalau dipikir-pikir, memang benar juga. Kelakuan Maya dari dulu tidak pernah berubah. Padahal, kakaknya--Mas Ibam--itu orang yang paling pendiam dan tidak banyak tingkah. Sekarang dia sudah tinggal di Medan bersama istrinya, Maya jadi tidak punya panutan untuk bersikap kalem.

Belum kering bibir ini membicarakannya, Maya berteriak dari dalam kamar mandi. "Siapa aja, tolong ambilin anduk! Masuk angin, nih, cewek cantik!"

Afifah memicingkan mata pada Kinanti. "Tuh, kan," ujarnya sebelum dia beranjak untuk mengambil handuk buat Maya.

•○•

Kinan masih duduk di tempat semula--di ruang makan rumah Maya. Dia cari informasi lowongan kerja di internet melalui ponselnya. Sementara Afifah sedang keluar.

Duduk di samping Kinan, Maya sekarang sudah tampak lebih segar setelah mandi dan berganti pakaian. Perempuan berkulit putuh tersebut melirik sahabatnya yang tengah sibuk dengan gawai.

"Ngapain lo?" tanyanya, seraya menyiapkan semangkuk soto untuk sendiri.

"Bantu kamu cari lowongan."

Maya mengunyah kerupuk, sebelum dia bertanya lagi pada Kinan. "Gimana, ada nggak?"

"Ada." Kinanti menunjukkan ponselnya pada Maya. "Kantor event organizer yang baru buka dan lagi butuh admin. Kamu bisa ngelamar ke sana."

"Coba lihat." Maya menarik ponsel Kinan. Di situ ia melihat keterangan gaji, tidak ada. "Ah males." Dia kembalikan ponsel tadi.

"Kenapa?"

"Kalau nggak disebutin jelas, paling juga kecil."

"Masih mending, daripada kamu jadi pengangguran."

Maya menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Apa, gue bisnis aja, ya, Nan? Kalau dipikir-pikir, lo enak juga. Order barang dari orang, tinggal jualin lewat online. Keliatannya toko kue online lo, laris manis. Kemarin aja, lo dapet order untuk acara wisuda, 'kan?"

Ucapan Maya barusan, Kinan anggap sebagai pujian.

Maya mendesah. "Menurut lo, gue enaknya kerja apa ya, Nan?"

"Kamu maunya gimana? Kalau emang mau usaha, ya udah coba aja."

Mata Maya menatap ke atas langit-langit rumah.

"Enaknya gue bisnis apa ya?" Dia bertanya lagi. "Gue, tuh, pengennya kerjaan yang cukup bangun tidur, mandi, dandan cakep, diem-diem dapat duit, terus dikelilingin cowok ganteng. Menurut lo, itu apa?"

Kinan hanya menggelengkan kepala. Kali ini, Maya benar-benar tidak pakai logika. Bahkan, babi ngepet sekali pun, perlu usaha untuk dapat uang.

Kinan bergeser dari tempat duduknya. Sama seperti yang selalu Maya lakukan padanya, dia menempelkan punggung tangan ke kening Maya, lalu ke bokongnya.

Namun, bukan Maya namanya kalau tersinggung. Dia justru menanyakan perbandingan suhu di keningnya dengan suhu bokong Kinan.

"Gimana, sama nggak?" tanyanya dengan mata melirik ke atas, menatap langsung pada Kinan. "Kalau sama, berarti gue normal." Dia terkekeh.

"Maya!" Kinanti gemas.

Kalau temannya sudah kesal begitu, ada kepuasan tersendiri dalam hati Maya. "Sensi banget, deh, lo."

Kinan kembali duduk, setelah memukul pelan lengan temannya tersebut. "Kamu beneran gak mau coba?"

"Ya udah, gue coba. Lagian belum tentu keterima."

"Kalau keterima?" Kinan bertanya lagi.

Maya berpikir sejenak. "Oh, gampang. Kalau gaji gue kecil, terus seminggu abis gajian gue miskin lagi, gue minta jajan dari lo!" Tanpa ragu dia mengatakannya.

Sementara, Kinan hanya bisa meremas kepalan perlahan. Maya gila!

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height