Mon Amour/C3 Wawancara
+ Add to Library
Mon Amour/C3 Wawancara
+ Add to Library

C3 Wawancara

Aku masih hidup. Namun, tidak pernah merasa benar-benar hidup.

•°•

JAKARTA, bulan Desember tahun 2018. Sama seperti tahun sebelumya, Kinan selalu menyempatkan diri ke makam Toni.

Selama tujuh tahun, ia terus melakukannya. Berharap suatu saat, akan ada keajaiban.

Bukan soal Toni yang kembali hidup. Namun, dia berharap bisa bertemu lagi dengan Prima, sahabatnya yang telah lama menghilang.

"Dia lagi ...." Ananta bicara sendiri, kala melihat Kinan berjalan keluar dari pemakaman. Ada keranjang bunga yang dibawa gadis itu.

Ananta melekatkan tangannya ke dagu. Memperhatikan setiap langkah Kinan dari dalam mobil. Kalau menyapanya langsung, bagus atau tidak, ya?

Kinan. Gadis yang belum Ananta ketahui, siapa dia sebenarnya. Ananta penasaran, sayang kesempatan belum berpihak padanya.

Semua bermula dari, bulan Desember tahun 2012. Kala itu, Ananta mengunjungi makam Toni, tepat pada hari ulang tahunnya.

Siapa yang tidak heran, kalau ada bunga segar di pusara Toni, sebelum keluarga berziarah.

Bukan sekali, tetapi selalu. Setiap bulan Desember, akan ada bunga yang menyelimuti tempat peristirahatan mendiang adiknya.

Bertahun-tahun setelahnya, Ananta berniat untuk cari tahu siapa orangnya.

Perjuangannya tidak mudah. Kinan, menjadi sosok misterius yang sulit Ananta temui. Berkali-kali dia gaga, bertemu Kinan.

Sekarang, tepat hari ulang tahun Toni.

Ananta sengaja tidak ke kantor, supaya dia bisa bertemu sang penabur bunga.

Menunggu dari pagi, hampir saja Ananta menyerah. Untung saja, Kinan datang. Langkahnya terlihat lesu, matanya juga sendu. Kesedihan terlihat jelas di raut wajahnya.

Aneh. Apa dia belum mengikhlaskan kepergian Toni?

Kinan semakin dekat ke arahnya. Ananta ragu, menyapa atau tidak. Mungkin, kalau memperkenalkan diri secara langsung, Ananta bisa tahu alasan dia selalu datang ke makam adiknya.

Tunggu!

Kalau dia tanya, dari mana atau sejak kapan Ananta tahu tentangnya, harus jawab apa?

Haruskah Ananta mengaku kalau dia mengawasinya.

Damn! Ananta menggerutu sendiri, dia tidak bisa mengakui kalau mengawasi Kinan cukup lama. Bisa-bisa, dituduh sebagai penguntit.

Terus berpikir, Kinan malah semakin jauh.

Masa bodoh! Bisa tidak bisa, Ananta harus tahu siapa dia. Rasanya seperti orang diare yang membutuhkan toilet. Tak bisa ditunda lagi.

Lelaki gagah tersebut, turun dari mobil. Dia berlari kecil menyusul gadis yang tadi diawasi. Hampir saja dia bisa menyapa, Dirga--staff di kantornya--menelepon.

"Hallo?" Ananta menjawab panggilan. Meski begitu, matanya tetap mengikuti pergerakan Kinan.

"Pak, berkas lamaran dua minggu lalu sudah kita proses," jawab Dirga.

Ananta mendekatkan telunjuknya ke hidung. "Oh iya, jadi gimana?"

"Ada lima pelamar yang terpilih, Pak. Selanjutnya tinggal keputusan Bapak."

"Baik," jawab Ananta. "Bilang sama Irene, hubungi para pelamar tersebut. Minta mereka datang besok pagi jam sembilan untuk wawancara."

"Baik, Pak."

Panggilan terputus. Ananta mencari Kinan lagi.

Sudah tidak ada.

Sial! umpatnya.

°•°

SUN Organizing, esok harinya, pukul sembilan. Seseorang mengetuk pintu ruang kerja Ananta, ketika dia tengah sibuk memeriksa sebuah berkas.

"Masuk!" katanya.

Yang mengetuk pintu tadi masuk.

"Pagi, Pak," sapanya.

Ananta mengangkat pandangan sebentar, sebelum akhirnya fokus kembali pada berkas yang dia pegang.

"Pagi, Dir."

Dirga duduk di depan Ananta.

"Soal pelamar kemarin," ucapnya, "mereka sudah datang semua."

Ananta menaruh berkasnya. "Kalau gitu, saya minta tolong panggil mereka satu per satu."

"Baik, Pak."

"Pilih dari yang paling pertama datang."

Dirga mengangguk. "Siap, Pak!"

Hampir saja Dirga beranjak, Ananta memanggilnya lagi. "Dir, bisa saya minta tolong?"

"Bisa, Pak."

"Untuk pelamar atas nama Maya Haris, tolong buat dia jadi yang paling terakhir untuk diwawancara."

Dua alis Dirga bertaut.

Ananta bertanya lagi, "Bisa, Dir?"

Pertanyaan Ananta barusan membuat Dirga sadar, bahwa dia tidak perlu mencari tahu alasan kenapa atasannya menyuruh begitu. Yang perlu dia lakukan hanyalah menurutinya.

"Bisa, Pak."

"Makasih, Dir."

Dirga keluar dari ruangan Ananta. Hanya butuh beberapa langkah, dia sudah masuk lagi ke dalam ruangannya.

Duduk, Dirga langsung menelepon Lala--resepsionis di kantor.

"Lala, para calon karyawan sudah isi daftar hadir?" ucapnya setelah panggilan dijawab.

"Sudah, Pak."

"Tolong kamu cek. Urutan wawancara kita mulai dari yang datang paling awal."

"Baik, Pak," Lala mengiyakan.

"Oh, satu lagi," ucap Dirga sebelum telephone ditutup, "untuk pelamar atas nama Maya Haris, kamu panggil dia terakhir saja. Karena, Pak Ananta yang minta begitu."

"Baik, Pak."

°•°

Maya menunggu giliran wawancara. Dilihat dari yang dipanggil tadi, harusnya dia urutan kedua dalam wawancara. Aneh, kenapa dia dilompati.

Coba berpikir postif. Mungkin ada sedikit kesalahan.

Sepuluh menit kemudian, peserta yang tadi sudah keluar. Harusnya Maya yang dipanggil. Namun, bukan lagi. Mulai curiga. Jangan-jangan ada konspirasi di dalamnya. Ada udang di balik batu.

Maya beranjak dari tempat duduknya menghampiri meja resepsionis.

"Permisi, " katanya seraya mengetuk meja.

Lala menyahut, "Ada yang bisa saya bantu?"

"Iya. Kelihatannnya ada kesalahan di sini. Seharusnya saya wawancara di urutan ke dua. Tapi, sampai sekarang, saya belum dipanggil."

Lala hanya tersenyum. "Tunggu saja, ya, Kak. Nanti pasti dipanggil wawancara."

Maya hanya bisa menerima. Meski, jawaban dari resepsionis sama sekali tidak memuaskan.

"Terima kasih, kalau begitu."

"Sama-sama." Lala kembali pada pekerjaannya.

Kembali ke tempat semula, Maya mulai kesal. Baru tahap wawancara saja, bosnya sudah begini. Kalau sampai dia menemukan ada yang tidak beres. Dia sumpahi calon bosnya itu biar jerawatan permanen.

Selanjutnya, orang lain yang naik ke atas. Fix, Maya jadi urutan terakhir. Kesal, tetapi tidak mau mundur sekarang. Harus lihat bagaimana wajah calon bosnya itu.

"Maya Haris!" Lala memanggil namanya.

Berdiri, Maya menoleh ke arah yang memanggil.

"Silakan ke atas, ruangan Pak Ananta ada di sebelah kiri, pintu warna biru," jelas Lala.

"Oh, iya." Maya bergegas. Namun, dalam hati mengomel, karena merasa dicurangi.

Menaiki beberapa anak tangga, belok ke kiri, sampai di depan pintu berwarna biru. Dia ketuk pelan, lalu menekan gagang pintu.

"Permisi!" Dia melongokan kepala.

"Masuk!" perintah yang di dalam.

Sudah dapat izin, Maya masuk. Begitu lihat calon bosnya, dalam hati langsung bertasbih.

Mahasuci Allah yang telah menciptakan bos dengan segala ketampanannya.

Sampai bengong, Maya melihat wajah bosnya.

Ananta menyuruh duduk.

"Saya Maya, Pak." Maya memperkenalkan diri setelah duduk.

"Ananta," jawab Ananta singkat. "Bisa kita mulai wawancaranya?"

Maya mengangguk. Nervous rasanya. Entah karena mau wawancara atau karena orang yang di depannya ini begitu memesona.

Ananta membaca sekilas profil Maya. "Jadi, kamu pernah bekerja di perusahaan bonafit. Kenapa berhenti?"

Faktanya, Maya itu dipecat. Bukan mengundurkan diri. Untjng atasan yang lama masih baik, menyuruh Maya buat surat pengunduran diri.

Mmmh ... Maya menggumam.

"Saya lebih suka jawaban yang jujur," tandas Ananta.

Satu tarikan napas dalam-dalam. Maya menceritakan semuanya. Dengan jujur.

".... Jadi begitu, Pak." Maya mengakhiri ceritanya.

Ananta tersenyum tipis.

"Saya dibilang nggak profesional. Padahal, yang nggak profesional itu dia. Masa urusan pribadi dibawa ke kerjaan," cerocos Maya.

Ananta terkesiap. Perempuan di depannya ini, ternyata cerewet.

Lihat ekspresi Ananta, Maya merasa malu sendiri. "Maaf, Pak, saya kelepasan."

"Gak apa. Saya justru lebih suka orang jujur."

Maya menelan ludah. Malu-maluin!

Ananta bertanya lagi, "Tentang sekolah, gimana?"

"Biasa aja, Pak. Saya bukan siswi populer."

"Apa ada peristiwa menarik? Seperti soal teman, atau apa saja."

Mengingat sebentar. "Ada, sih, Pak."

"Apa?" Ananta terlihat sangat ingin tahu.

"Dulu di sekolah ada cowok yang jadi idola, sayangnya dia sudah meninggal."

"Siapa namanya?"

"Toni. Toni Airlangga."

Maya belum tahu, yang disebutnya barusan adalah nama adik Ananta.

Terenyuh, tentu saja. Namun, Ananta segera menepis segala rasa yang berkecamuk di dadanya.

"Seberapa kenal kamu dengan dia?"

"Toni teman satu kelas saya, Pak. Tapi, karena dia anaknya tertutup jadi saya gak seberapa tau tentang dia."

"Apa kamu tau, dia pernah dekat dengan siapa. Atau, apa kamu pernah lihat ada perempuan yang dekat dengannya?

Maya bingung. Pertanyaan ini sudah di luar konteks wawancara kerja.

"Tolong, jawab saja," pinta Ananta.

"Toni cuma deket dengan satu kawan. Namanya Prima. Kalau cewek, dia pernah deket dengan Kinan."

Kinan, Ananta memikirkan nama itu. Bisa jadi perempuan yang selalu datang ke makam Toni setiap hari ulang tahun adiknya adalah dia. Kinan.

"Seperti apa hubungan mereka?" tanya Ananta lagi.

"Saya kurang tahu, Pak. Mereka itu gak pacaran, tapi sama-sama suka dengan cara yang unik. Toni ngerjain Kinan untuk jadi asistennya. Sementara Kinan, gak bisa nolak meski kesal. Karena dia udah jatuh cinta banget sama Toni."

Ananta manggut-manggut.

"Setelah Toni meninggal, dia gimana?"

"Kinan?" Maya bertanya dengan sebelah alis naik.

"Iya, dia."

"Dia berubah, Pak. Dulu dia itu anaknya ceria, walau cengeng luar biasa. Sekarang dia lebih diam. Apalagi, waktu tau Prima juga pergi. Dia jadi nggak punya ekspresi."

Ananta diam.

Maya kembali bicara, "Sedih, Pak, kalau tahu tentang Kinan. Orang yang dia suka meninggal. Udah gitu, ditinggal sama satu-satunya sahabat yang dulu ada untuk hibur dia."

Maya memperhatikan Ananta. Alisnya berkerut, kelihatannya dia sedang memikirkan sesuatu.

"Maaf, Pak, cerita saya kelabasan."

"Oh bukan. Saya justru tertarik denger cerita kamu."

Maya memijit jarinya di bawah meja, mengurangi grogi.

Ananta sudah dapat apa yang dia butuhkan.

"Dari saya cukup untuk wawancara hari ini. Ada yang mau kamu tanyakan?"

Maya menggeleng. "Nggak ada, Pak."

Sudut bibir Ananta terangkat naik. "Terima kasih untuk waktunya."

"Sama-sama, Pak."

Maya keluar. Kini hanya ada Ananta di dalam ruangan. Umpannya berhasil pada Maya. Setidaknya dia bisa cari tahu sedikit soal masa lalu almarhum Toni.

Sebuah kebetulan yang menguntungkan. Ananta menemukan pelamar yang dulu sekolah di tempat adiknya sekolah juga. Di angkatan yang sama. Tidak, ini bukan kebetulan. Tuhan pasti sedang membantunya. Dan mungkin, adiknya di sana juga ingin Ananta membantu gadis dari masa lalunya.

Ananta ... akan cari tahu tentang Kinan.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height