Mon Amour/C5 Hantu dari Masa Lalu
+ Add to Library
Mon Amour/C5 Hantu dari Masa Lalu
+ Add to Library

C5 Hantu dari Masa Lalu

Aku pernah menangis semalaman. Lalu terbangun di pagi hari dan masih tetap ingin menangis.

~~~

Wajahnya terlihat lebih berantakan dari yang biasa. Keringat dingin mengucur deras dari pelipis dan punggungnya. Dia menyeka bulir keringat di kening dengan punggung tangan.

Sekali lagi, dia terlempar dalam mimpi buruk yang merusak tidurnya.

Melihat jam di ponsel, ternyata masih pukul tiga pagi. Tak dapat kembali tidur, dia putuskan untuk beranjak dari peraduannya.

Kalau sudah begini, biasanya dia akan habiskan waktunya untuk bertanya pada Tuhan.

Sampai kapan dia akan begini terus?

Kapan, yang kuasa mau membebaskannya dari kisah masa lalu yang kelam.

***

Sekitar pukul enam--seperti sebuah kebiasaan rutin--Prima berangkat menuju klinik Harapan Sehati--tempatnya bekerja.

Ada beberapa alasan mengapa dia memilih berangkat bekerja sepagi itu. Pertama, dia tidak suka buang-buang waktu dengan berdiam diri di rumah. Ke dua, dia lebih suka menghabiskan waktunya dengan bekerja, karena hanya itulah yang bisa mengalihkan pikirannya dari masa lalu dan semua kepahitan hidup yang dia alami.

Setiap kali Prima datang, para suster yang bertugas sering memperhatikan dia. Para perawat perempuan tersebut mengibaratkan Prima seperti sebuah lukisan. Diam, tetapi memiliki sejuta pesona.

Wajar saja. Prima memilili tubuh yang atletis, buah dari hobinya bermain basket dulu. Sifatnya yang sabar dan ramah dalam menghadapi pasien, juga menjadi daya tarik tersendiri.

Namun, di luar hal-hal baik tersebut. Dia adalah sosok kesepian yang menutup diri. Sifat ramah dan senyum yang ia tunjukkan hanya sebatas profesional kerja. Tak akan lebih dari itu.

Ketika Prima dan karyawan klinik lainnya saling berpapasan, biasanya dia hanya tersenyum tipis sambil berkata, "Selamat pagi." Setelah itu langsung menuju ruang kerjanya. Dia masih menjadi orang yang kaku, meskipun sudah bekerja selama setengah tahun di klinik ini.

Cuma ada satu orang yang 'berani' mengakrabkan diri dengannya. Yakni Alan--si dokter gigi--yang punya karakter santai dan cuek bebek. Dia tidak pernah ambil pusing soal sikap Prima yang terlalu diam itu. Tak pelak, dokter berusia dua puluh lima tahun itu, juga sering mengajak Prima ngobrol. Yah, walau kadang-kadang, dia harus merasa jelak karena tak dianggap.

Pukul 07.30. Prima tengah bersandar di kursi. Dalam ruangan yang bernuansa serba putih tersebut, matanya terpejam dengan dahi berkerut. Alan yang sedari tadi di depan pintu, melipat tangannya di depan dada sambil terus melihat Prima.

Bukan pemandangan baru baginya jika harus melihat dokter umum itu datang pagi hari dengan wajah kusut. Dia pikir, Prima lebih cocok dibaringkan di brangkar yang ada di sebelah kirinya, daripada bertugas sebagai dokter.

"Dokter Prima," ucapnya sambil berjalan masuk.

Prima membuka mata. Seolah sudah terbiasa akan kedatangan Alan, dia sama sekali tidak terkejut.

Alan, tanpa diminta lagi langsung duduk di hadapan Prima, menawarkan kopi padanya dan selalu mendapat jawaban yang sama.

"Nggak. Makasih, Lan."

Alan tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya soal lingkaran hitam yang ada di mata orang yang ada di hadapannya ini.

"Lingkaran hitam di matamu itu, jangan bilang karena cewek," ujarnya.

Prima hanya tersenyum simpul.

"Masih masalah yang sama?" tanya Alan lagi sebelum Prima sempat menjawab.

Hanya gumaman tidak jelas yang Prima berikan.

"Insomnia-mu itu, harus cepat diobati, Prim. Jangan didiamkan saja. Saranku, kurang-kurangilah kerja. Meskipun kita dapat jatah izin praktek di tiga tempat berbeda, tapi istirahat juga penting. Jangan sampai, ada berita dokter muda tewas karena kelelahan bekerja."

Segitu banyak yang Alan katakan, tak ada jawaban dari Prima. Posisinya tetap sama, bersandar pada kursi dengan mata terpejam.

Rasanya seperti berbicara dengan manikin.

Untung Alan orangnya sabar.

Prima menggerakkan kursinya ke kanan dan ke kiri perlahan. Ada raut kejenuhan di balik helaan napasnya. Dia membuka mata.

"Lebih baik aku kerja, Lan. Daripada tidur, tapi mimpi hantu terus."

"Serius?" Alan lebih mencondongkan badannya ke depan. Sekarang, perut Alan menempel di meja kerja Prima.

Prima menegakkan posisi duduknya. "Setiap mataku terpejam, hantu-hantu itu selalu muncul."

Kembali bersandar di kursi, Alan menggaruk dagunya perlahan.

"Coba datangi ustaz. Minta mereka ruqyah kamu."

"Ini bukan hantu seperti yang kamu pikir."

"Jadi, ini hantu yang gimana maksudnya?"

"Orang yang ada dalam hidupmu, kamu tau dia ada. Tapi, kamu gak bisa menyentuh bahkan melihatnya. Apa namanya, kalau bukan hantu?"

"Siapa itu?"

"Orang-orang dari masa lalu."

Yang Prima bicarakan adalah tentang orang tua dan juga Kinan.

Tentang Kinan, sampai hari ini perasaannya masih sama. Tak pernah berubah. Bahkan, dari hari ke hari dia semakin tidak bisa tidur, karena terus merindukan gadis pujaannya tersebut. Namun, setelah keputusannya untuk pergi diam-diam, dia merasa malu untuk kembali. Apalagi, selama ini yang Prima tahu adalah bahwa Kinan hanya menganggapnya sebagai teman.

Tentang orang tuanya. Prima tidak pernah tahu, apakah kedua manusia itu masih hidup atau tidak. Mereka telah pergi begitu lama.

Ada kebencian di dalam diri Prima, karena merasa telah dicampakkan. Namun, dia tidak bisa bohong. Bahwa, jauh di lubuk hatinya dia merindukan kasih sayang seorang ibu dan kebijaksanaan seorang ayah.

Tanpa menunggu persetujuan, Alan menasihati Prima. "Kalau cuma soal cinta, lupain aja. Masih banyak cewek yang mau sama kamu."

Cowok yang sudah lama melupakan basket itu, melengkungkan bibirnya sedikit. Kalau bisa, sudah sudah dia lakukan sejak dulu.

"Kamu nggak ada pasien, Lan?" Prima mengalihkan pembicaraan.

Pertanyaan Prima barusan, mengisyaratkan kalau dia sudah ingin Alan pergi.

Sabar, Alan menguatkan dirinya.

Alan memang benar-benar sabar dan bermental baja untuk menghadapi sikap Prima. Buktinya, tensimeter selalu menunjukkan angka sekitar 120/80mmHg. Itu berarti tekanan darahnya normal.

Melirik jam, sudah pukul 07.45. Alan rasa, memang waktunya untuk mulai bekerja.

"Oke deh, aku balik dulu ke ruangan." Alan beranjak dari tempat duduknya.

Baru sampai depan pintu Alan memutar badannya. "Oh iya, sebagai rekan kerja, aku cuma mau kasih tau untuk masalah insomnia-mu, mungkin bisa dibantu dengan minum teh chamomile."

"Nanti aku coba."

Alan mengangguk perlahan.

"Satu lagi nih." Alan masih belum pergi juga. "Jangan main-main dengan masa lalu. Bagaimanapun kamu menghindar, dia akan tetap ada. Sedalam apa pun kamu menguburnya, dia akan tetap hidup."

Meski yang diajak bicara hanya menatapnya tanpa ekspresi, Alan tetap lanjut bicara.

"Kalau boleh saran, daripada kamu lari terus dari masa lalu, kenapa nggak coba untuk kembali dan hadapi?"

Sabar. Alan harus tegar ketika Prima cuma jadi patung kalau diajak bicara.

"Ya udah, deh." Alan hendak pergi.

"Makasih, Lan." Akhirnya ada tanggapan dari Prima.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height