+ Add to Library
+ Add to Library

C3 Fake smile

Bibir Diana tak bisa berhenti untuk tersenyum. Eduardo pulang dari luar negeri. Itu artinya Diana akan terbebas dari perlakuan Laura yang kejam.

"Hei! Jangan pernah kamu jelek-jelekan saya dimata Eduardo ya! Atau kau akan mendapatkan akibatnya!" ancam Laura.

Diana mengangguk takut. "Iya mah."

"Bagus!" Laura pergi kedalam rumah. meninggalkan Diana yang duduk di teras rumah.

Diana menghela napas. Mertuanya itu tidak ada manis- manisnya sama sekali. Selalu sinis dan menilai semua tingkah Diana itu salah. Diana sedih.

Kesedihan Diana pun sirna, mobil Eduardo masuk dengan mulus di halaman rumah Laura yang luas. Diana berdiri hendak menyambut Eduardo.

Dengan senyum bahagia, Eduardo turun dari mobil. Diana berlari dan mendekapnya, melampiaskan rasa rindu yang mendera. "Kau pulang!" kata Diana senang.

Eduardo tersenyum senang. Ia mengeratkan pelukannya dan mengecup puncak kepala Diana. "Iya, aku pulang."

Laura yang baru sadar Eduardo pulang pun keluar. Ia menatap jengah dua insan yang berpelukan mesra sebelum tersenyum ramah didepan Eduardo. "Hai nak, sudah pulang?" sambut Laura ramah.

Eduardo dan Diana melepaskan pelukannya. Eduardo mendekati Laura dan memeluknya sebentar. "Iya, aku pulang mah!"

"Iya, ayo kita makan. Mama sudah siapkan makanan kesukaan kamu!" kata Laura tersenyum.

Sementara Diana hanya bisa tersenyum getir. Makanan yang dimaksud Laura adalah hasil masakannya. Sepertinya Diana harus lebih sabar.

.

.

.

.

.

Eduardo tengah makan dengan lahap. Sesekali Laura membanggakan diri kalau masakan itu adalah masakannya, padahal bukan. Sementara Diana hanya diam dan sesekali menjawab jika ditanya.

Eduardo menoleh kearah Diana. "Sayang, selama aku pergi kamu baik-baik saja kan?"

"Iya, aku ...."

Perkataan Diana langsung dipotong oleh Laura. "Iya baik dong Eduardo, kamu nggak percaya dengan mama?" Eduardo sedikit tak percaya, ia kembali menatap Diana.

"Iya mas, aku baik kok selama disini. Kamu yang terlalu parno," kata Diana dengan senyum. Senyum palsu. Sebenarnya batin Diana berteriak ingin menangis.

"Syukurlah kalau kalian akur, aku lega," Ujar Eduardo senang.

Eduardo mengeluarkan sebuah pamflet. "Oh iya, bagaimana kalau lusa kita honeymoon kesini?" Eduardo menyerahkan pamflet tersebut ke Diana.

"Paris?"beo Diana membaca pamflet tersebut.

"Jadi, kalian mau honeymoon lusa? Apa kamu nggak kecapean Eduardo? seharusnya ditunda dulu," kata Laura tak setuju.

"Nggakpapa mah, aku baik-baik saja kok. Jadi bagaimana sayang? Kamu mau ke Paris kan?"

"Aku ikut aja mas."

.

.

.

.

.

Eduardo dan Diana benar-benar berangkat dalam waktu dekat. Eduardo telah menyiapkan segalanya, jadi Diana tak perlu repot.

Diana bisa menarik napas lega, dalam seminggu ini ia tak akan bertemu dengan Laura. Diana akan bersenang-senang bersama Eduardo didepan menara yang banyak dikunjungi oleh berbagai macam orang di dunia, menara Eiffel.

"Menaranya cantik ya," ucap Diana kagum dengan menara Eiffel.

"Tapi lebih cantik kamu," balas Eduardo memeluk pinggang Diana possesive.

"Kebiasaan." Diana menatap Eduardo yang lebih tinggi darinya. "Mas, kenapa kamu ajak aku kesini?"

Eduardo menoleh kearah Diana. "Bukannya kamu mau lihat menara Eiffel?"

Diana mengerut bingung. "Kapan? Aku nggak pernah bilang gitu ya!"

"Pas kuliah, sama teman kamu itu. Aku pernah bilang ingin ke Paris kan?" timpal Eduardo.

Diana pun mencubit pinggang Eduardo. "Kamu nguping ya! Dasar!"

"Bukan menguping, suara kalian saja yang keras."

"Ish! Ngeselin!"

Eduardo terkekeh, ia semakin mengeratkan pelukannya. "Iyah, yang penting kita senang. Aku ingin seperti ini lebih lama."

Diana melepaskan pelukannya. Ia menatap Eduardo tak suka. "Jangan bicara seperti itu! Kita sudah berjanji akan bersama! Kamu bicara seperti kita akan terpisah!" omel Diana

"Itu hanya harapanku saja sayang. Takdir Tuhan tidak ada yang tahu," kata Eduardo.

Tiba-tiba suasana hati Diana menjadi sendu. Benar apa kata Eduardo, takdir Tuhan tidak ada yang tahu. Eduardo memang mencintainya, tapi Laura membencinya. Bagimana bisa hidup dengan tenang jika ada kebencian? Tak sadar air mata Diana turun perlahan.

Eduardo pun panik. Ia segera menghapus air mata Diana. "Kamu kenapa? Aku salah bicara?"

Diana menggeleng. Ia memegang tangan Eduardo yang bertengger dipipinya. "Tidak, tidak ada apa-apa. berjanjilah suamiku, kau akan setia dan percaya kepadaku. Jangan pernah tinggalkan aku!"

Eduardo tersenyum lalu mengecup bibir Diana. "Tentu saja! Aku akan bersamamu sampai akhir hayatku!"

Eduardo dan Diana berpelukan didepan menara Eiffel dan diantara jutaan pasangan yang berlibur disana. Mereka berharap menara Eiffel akan menjadi saksi bisu pernyataan cinta keduanya. Berharap jika mereka masih bisa bersama sampai rambut memutih.

.

.

.

.

.

Tak terasa Diana dan Eduardo honeymoon selama seminggu di Paris. Eduardo benar-benar memanjakan Diana hingga terlena dan lupa dengan kesedihannya. Eduardo juga mengebut untuk memiliki momongan. Disetiap malam, Eduardo dan Diana bercinta hingga pagi. Diana dibuat lelah oleh keganasan Eduardo.

Tapi semua itu sudah berakhir. Mereka harus segera kembali ke Indonesia. Eduardo juga tak bisa meninggalkan pekerjaannya terlalu lama. Mau tak mau Diana harus menurut untuk kembali.

Awalnya, Diana pikir akan pulang ke rumah Eduardo yang baru dibeli beberapa waktu yang lalu. Ternyata, Diana kembali ke rumah Laura.

Laura memaksa Eduardo untuk satu atap. Laura berkata kalau ia kesepian dan butuh teman di rumah mewahnya. Eduardo pun setuju.

Disinilah mereka sekarang. Rumah Laura. Sambutan palsu dari sang pemilik rumah langsung mereka dapatkan. "Selamat datang! Bagaimana liburan kalian?"

Eduardo tersenyum lebar. "Hebat! Kita bersenang-senang!" Eduardo merangkul Diana. "Iyakan sayang?"

Diana pun ikut tersenyum. "Iya, kita bersenang-senang!"

Kalau begitu kalian masuk dan istirahat. "Pasti kalian capek," kata Laura.

"Iya, ayo sayang!" Eduardo pun menuntun Diana masuk kedalam rumah.

Laura yang melihat kebahagiaan keduanya tersenyum miring. Selama Eduardo dan Diana ke Paris, Laura sudah mempersiapkan rencana yang sempurna untuk menghancurkan Diana. Sebentar lagi Eduardo akan membuang Diana. Laura tak sabar menunggu momen tersebut.

.

.

.

.

.

"Kita ada hadiah buat mama," kata Eduardo sembari memberikan paper bag berukuran cukup besar kepada Laura.

"Wah apa ini?" Laura menerimanya dengan antusias. Eduardo dan Diana saling berpandangan dan tersenyum.

"Tas merah kesukaan mama. Bagaimana? Apa mama suka?" tanya Eduardo.

Laura mengeluarkan sebuah tas merah incarannya. Tas limited edition produk dari Paris, hanya ada beberapa unit saja di dunia. Laura senang bukan main. "Wah, ini tas incaran mama! Terima kasih ya!"

"Sama-sama ma, aku juga beli untuk Diana juga. Biar sama," balas Eduardo.

Senyum Laura memudar. "Sama dengan Diana? Jadi kamu beli dua?"

Eduardo mengerut bingung. "Iya ma, ada masalah?"

Diana yang melihat itu langsung tahu. Laura tak suka jika barangnya sama dengan Diana. Laura memang sangat membencinya.

.

.

.

.

.

TBC

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height