+ Add to Library
+ Add to Library

C7 Sakit

"Kamu sakit nduk?" tanya Halimah ketika Diana keluar dari kamar mandi. Diana menggeleng lemas. Halimah membantu Diana duduk.

“Nang puskesmas ya nduk,” tawar Halimah khawatir.

Diana menggeleng keras. ”Ngak usah bu, aku Cuma masuk angin biasa kok."

Halimah hanya bisa mengangguk, "yaudah. ke kamar ya nduk. kamu harus istirahat."

Diana melangkah pelan dan dibantu oleh Halimah. Kepalanya pusing, perutnya sepertidiremas dan mual-mual. Diana berpikir, ia sakit karena jarang makan. Masalah yang ia hadapi membuatnya malas makan. Hal itu membuat tubuh Diana lemas tak bertenaga. Halimah membaringkan tubuh Diana dan menyelimutinya.

Ia menatap wajah pucat perempuan yang lahir dari rahimnya itu, melihatnya seperti ini membuatnya tak tega. Apa mungkin karena restu yang setengah-setengah darinya? Nasi sudah menjadi bubur. Ia hanya bisa berdoa, semoga ada yang bisa menerima Diana secara tulus.

“Semoga bahagia nduk,"bisik Halimah. Dikecupnya kening Diana.

Tak ingin terus bersedih, Halimah memutuskan untuk tidur di kamar tamu. Biarlah ia mengalah hari ini, semoga ada keajaiban di kemudian hari. Halimah yakin bahwa tak ada ujian yang tak bisa di lewati oleh hambanya. Dipejamkannya kelopak mata yang sudah ada keriput itu, setetes air mata mengalir dari mata itu, hingga ia terlelap diantara kegelapan malam dan sinar rembulan yang hanya terlihat separuh sinarnya.

Keluarganya mengalami hal yang berat untuk hari ini.

Pagi hari,

Halimah sedikit terusik dengan suara orang muntah. Ia melirih jam dinding yang ada

tamu, 04:35. Halimah mengumpulkan kesadarannya dan pergi untuk mengecek siapa yang muntah-muntah pada pagi hari. Diana keluar dari kamar mandi dengan muka pucat. Badanya pun nampak lemas.

"Masyaallah! Ana apa nduk?" tanya Halimah khawatir.

Diana menggeleng. “Aku ngakpapa kok, ucap Diana sembari memegangi kepalanya yang berdenyut.

Halimah menuntunnya kearah kursi yang ada didekat kamar mandi. Ia juga memijat pundak Diana. ”Ke Puskesmas ya nduk,” bujuk Halimah.

"Masih tutup buk,” kata Diana yang matanya terpejam menahan mual.

"Ya nanti ta! wis, tak gawe wedhang jahe ya? Ben ra mual,"ucap Halimah dan hendak beranjak, namun ditahan oleh tangan Diana yang terasa lemas.

"Ndak usah,” ucap Diana lirih.

"Aku ndakpapa,” ucap Diana dengan lemas.

"Rasah ngeyel!” Halimah melepaskan tangan Diana yang menahan dirinya. Dengan tergesa-gesa ia menuju ke dapur untuk membuatkan wedhang jahe untuk Diana.

Hati Diana merasa sangat sedih. Melihat ibunya sangat perduli dengan perempuan yang pernah mengacuhkannya, ibunya sangat perduli dengan perempuan yang telah membentaknya. Tuhan telah mengirimkan karma untuknya, karma atas apa yang ia lakukan kepada wanita yang telah mengandung dirinya selama 9 bulan.

Halimah pun datang. "Ini, ben ra mual!” Halimah menyerahkan segelas minuman hangat yang terbuat dari jahe.

Diana bangkit dari senderannya, ia mencoba mengumpulkan kesadarannya. Aroma kuat dari jahe membuat Diana merasa lebih baik. Halimah membantu Diana minum, dengan sabar ia menunggu Diana untuk menghabiskannya. Tenggorokan Diana menghangat dan menjalar hingga seluruh badan.

Halimah beranjak untuk meletakkan gelas ke dapur. Belum ada lima langkah, Diana memeluknya dari belakang. Halimah bisa merasakan ada yang basah mengenai punggungnya. Diana menanggis tersedu-sedu. Halimah mengelus tangan Diana untuk menyalurkan semangat untuk putri satu-satunya itu.

"Maaf bu, aku banyak salah sama ibu," isak Diana.

Halimah berusaha agar tak menangis. "Iya nduk, ibu tahu."

Matahari memang belum sepenuhnya muncul. Tapi matahari tahu seberapa menyesalnya Diana saat ini.

.

.

.

Diana bangkit dari brankar yang berada di Puskesmas. Dokter perempuan yang menanganinya melepaskan stetoskop yang ia pakai dan berjalan kearah mejanya, disana ada Halimah yang menunggu dengan wajah khawatirnya. Diana pun datang dan duduk didekat Halimah.

"saya sakit apa dok?"tanya Diana cemas. Halimah pun memperhatikan dengan seksama.

Sang dokter tersenyum.”Ibu hamil, ibu tak sakit apapun. Selamat ya ibu!”

Bagai tersambar petir di siang bolong, Diana terkejut bukan main. ”Hamil?” katanya bergetar. Napas Diana tak beraturan. Berita yang seharusnya menjadi berita yang membahagiakan, menjadi berita yang mengguncang jiwa.

Halimah sama terkejutnya. Entah ini cobaan atau berkah untuk putrinya. Kehamilan yang datang diwaktu yang tak diinginkan.

"Ini surat rujukan dan surat keterangannya. Jangan stres ya bu, jaga pola makan dan istirahat yang cukup. Jangan lupa untuk suaminya lebih siaga, trimester awal sangat rentan,"ucap sang dokter menasehati.

"Suami saya sudah meninggal,” kata itu meluncur begitu saja dari bibir Diana. Halimah menatap Diana kaget, ada apa dengannya?

Sang dokter terdiam perasaan bersalah menjalar pada dirinya. ”Maafkan saya. Saya tidak bermaksud...”

Diana tersenyum kecut. ”Takapa memang sudah takdir.”

"Kalau begitu saya permisi,"pamit Diana dan langsung pergi berlari.

Halimah tersenyum kikuk dan menyalami dokter itu. Dengan langkah yang cepat, Halimah mengejar Diana. Sang dokter hanya menatap sendu pasiennya itu dan memanggil pasien yang lain yang memerlukan bantuan.

.

.

.

Mata Halimah membulat ketika Diana berhenti di jembatan yang dibawahnya ada air yang sangat deras. Ia takut jika Diana akan bunuh diri. Diana terlihat sangat hancur karena ia mengandung anak Eduardo. Dia menatap derasnya air. Halimah yang khawatir mendekati Diana.

“Jangan dekati aku Bu!!!” ucap Diana yang memberhentikan langkah Halimah.

"Ra aneh-aneh nduk! eling nduk! Eling!” ucap Halimah sembari menahan tangisnya. Ia semakin yakin kalau Diana hendak loncat ke sungai.

Diana menggenggam erat pembatas jembatan. "Hidupku hancur Bu!” air mata mulai meluncur dari pelupuk mata Diana. Ia menangis, menagisi kehamilannya.

"Ibu ngerti nduk, ngerti," kata Halimah, menahan tangisnya agar tak pecah.

Diana menggelengkan kepalanya. ”Ibu ngerti? Aku nggak ngerti sama sekali! Kenapa Tuhan menghukum Diana seperti ini? Aku hamil anaknya... hiks..." isaknya pilu. Halimah membekap mulutnya agar tak keluar isakan dari mulutnya.

Diana naik satu garis pembatas dari tiga yang ada. "Untuk apa aku hidup bu,” ucap Diana pilu.

"Astagfirullahalzim!” Halimah menangis dan terduduk di aspal. Kakinya melemas mendengar suara hati putrinya. Matanya terpejam,ia tak sanggup dengan apa yang ia lihat. Mungkin setelah ini adalah bagian terburuk dari semuanya.

Diana naik dan menatap deras air yang ada dibawahnya. Halimah tak kuasa melihatnya, ia menutup mata dan berharap semua ini hanyalah mimpi.

Brukkk...

Halimah mendengar suara orang. Dengan cepat ia membuka matanya. Diana tampak meronta-ronta didekapan seorang laki-laki. Halimah menghapus airmatanya dengan kasar dan mendekati dua orang tersebut yang tengah berdebat.

"Brengsek!” umpat Diana dan mencoba melepaskan dekapan Hendra.

“Untuk apa kau menarikku Hendra!!!" pekik Diana marah. Ia sudah terbebas dari dekapan Hendra.

“Untuk apa? Kamu bisa mati!” balas Hendra sengit. Hendra Hema, teman masa kecil Diana.

.

.

.

.

.

tbc

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height