+ Add to Library
+ Add to Library

C8 Dia, Hendra Hema

Diana sempat pindah ke Bandung, kota kelahiran Hendra, saat kecil. Dari kecil hingga dewasa, Hendra dan Diana berteman. Saat lulus SMA, keluarga Diana memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta.

Hendra kehilangan kontak dengan cinta pertamanya itu. Hendra nekat mencari segalanya tentang Diana dan apa yang sedang menimpanya. Dari jauh ia mengamati Diana. Sehingga, ia tahu segalanya tentang Diana.

Kini, Hendra rela datang dari Bandung ke Yogyakarta. Walaupun uangnya pas-pasan, ia rela menghabiskannya untuk menemui Diana. Hendra di pecat di pabriknya karena terlalu sibuk memperhatikan Diana. Sekarang, Diana ingin bunuh diri. Jangan harap Hendra akan membiarkannya.

“Apa kau sudah gila!!! Kenapa kau bunuh diri?” bentak Hendra.

Diana menatap Hendra berkaca-kaca. "Ya, aku gila! hidupku hancur Ndra, hancur! Eduardo pasti tidak mau tanggung jawab,” kata Diana frustasi. Lelehan air mata dan isakan Diana mulai terdengar. Hendra menghapus air mata itu.

"Nggak Na, ada aku. Aku akan tanggung jawab,” kata Hendra sembari meraih tangan Diana.

Diana terdiam dan terpaku. Ia menatap mata Hendra. "Kau gila,” bisik Diana. Isakan Diana sudah mereda, digantikan dengan tatapan tak percaya kepada Hendra.

“Ya, aku gila karenamu. Aku nggak mau kehilangan kamu,” balas Hendra.

“Kau itu lajang, sementara aku?” kata Diana. Ia sangat tidak percaya diri bersanding dengan Hendra.

Hendra menangkup wajah Diana, mengelus pipi yang ia rindukan. “Aku tak perduli,” ucap Hendra tegas. Matanya menunjukan sebuah keseriusan dan cinta.

“Apa kata orang nanti?” kata Diana ragu.

Hendra menempelkan telunjuknya di bibir Diana. "Jangan pikirkan itu, aku mencintaimu sedari dulu. Sejak kita kecil, kita SD, kita SMP, kita SMA dan rasa itu tak pernah berubah dan terganti." Hendra mengecup kening Diana dengan lembut.

Diana menatap mata Hendra berkaca-kaca sekaligus kesal. "Hiks, kau jahat!” isak Diana. "Kau biarkan rasamu tumbuh sendirian, kau jahat!”

Hendra tersenyum dan memeluk Diana. Diana menangis sejadi-jadinya. Meluapkan segala yang ia rasakan. Halimah yang melihat hal itupun ikut menangis. Ketika ada orang yang menyakiti ada orang yang mengobati.

Semilir angin menerpa perasaan mereka. Derasnya air yang ada dibawah mereka akan menjadi saksi bisu hanyutnya suasana saat ini. Diana merasa lega sekaligus merasa bersalah pada Hendra. Biarlah Tuhan dan alam semesta yang merasakan penyesalan Diana.

.

.

.

"Saya minta, ibu dan Diana pindah ke Bandung lagi ya,” pinta Hendra penuh harap.

Halimah menatap Diana yang juga menoleh kearahnya. "Ibu disini saja. Ibu nggak bisa jauh dari bapakmu nduk.” Kata Halimah. Walau sang suami sudah tiada dan tertutup tanah di daerah ini, Halimah tak mau jauh.

"Bu, bapak pasti ngerti," ucap Diana mencoba untuk membujuk Halimah.

Halimah menatap Diana dan Hendra secara bergantian. Hendra mengganggukkan kepalanya ketika Halimah menatapnya. Halimah menghembuskan napasnya, rasanya berat ketika kita meninggalkan tempat yang menjadi saksi bisu cinta Halimah dan suaminya.

"Baiklah,” putus Halimah.

"Terima kasih ya Bu!" ucap Diana bahagia.

"Kapan kalian menikah?" tanya Halimah yang membuat Diana dan Hendra tertegun.

Hendra dan Diana saling berpandangan. “Saat kita ke Bandung saja. Seminggu lagi.”

Diana menatap Hendra tak percaya. "Aku cerai belum ada seminggu mas.”

Hendra terdiam. ”Terus apa yang akan kau katakan pada warga disini?"

Diana menunduk sembari tersenyum kecut. “Suami ku meninggal. Tak mungkin aku katakan suami ku menceraikan aku yang tengah hamil.”

Diana mendongak dan menatap Hendra serius. “Kalau kau bersedia menikahi ku, kau harus menunggu anak ini lahir dan menjadi ayah dari anak yang aku kandung.”

Hendra tersenyum dan memegang tangan Diana. "Aku akan menunggu mu sampai jiwa ini keluar dari raganya.”

.

.

.

.

.

Akhir-akhir ini Eduardo menjadi gila kerja, dari pagi hingga larut malam Eduardo tak berhenti. Hingga membuat Laura menjadi khawatir. Ada saja alasan untuk Eduardo untuk tidak pulang. Laura yang datang ke kantor Pratama Company hanya bisa pulang dengan tangan hampa. Eduardo pura-pura sibuk hingga tak memperdulikan ibunya.

Eduardo sedang belajar untuk melupakan Diana. Diana selalu menghantui pikirannya ketika ia tak bekerja. Ketika di rumah, ia selalu melihat kilasan kenangannya bersama Diana. Diana ada dimana-mana hingga Eduardo tak bisa tenang.

"Mau sampai kapan kamu bekerja Eduardo!” protes Laura pada anak lelakinya. Eduardo tak menyahut. Mata dan tangannya tetap fokus dilaptopnya. Laura berdecak kesal. "Kau mendengarkan Ibu tidak!!!" Laura mengutuk Eduardo yang tak mau move on dan mengabaikan dirinya. Efek Diana memang luar biasa.

"Aku mendengarkan setiap huruf yang keluar dari mulutmu ibu,” balas Eduardo yang sama sekali tak beranjak.

"Ibu tak mau tahu, kau harus menikah kembali,” tegas Laura. Laura tak mau jika Eduardo menjadi Duda gila kerja seperti ini, Laura juga ingin memiliki cucu seperti teman-teman sosialitanya.

"Ibu kira aku kucing? menikah secepat itu? lagipula aku baru saja cerai,” balas Eduardo membela diri. Tangannya masih menari di keyboard, namun pikirannya bercabang. Mengabaikan Laura yang memperlakukannya bagai kucing rumahan.

“Ibu tak mau kau kacau gara-gara perempuan tak tahu diri itu! Laura makin geram dengan jawaban santai anaknya.

"Terserah padamu Ibu,” balas Eduardo sekenanya.

Laura berdecak kesal. Ketika Diana sudah pergi dari rumahnya, Laura terus mengenalkan anak gadis temannya kepada Eduardo. Hal itu yang membuat Eduardo jengah di rumah. Tak di rumah, tak di kantor sama saja. Laura hanya bisa menekannya saja. Melupakan seseorang yang amat dicintai itu tak mudah.

Dengan kesal, Laura pergi dan menutup pintu dengan kasar. Eduardo mengurut keningnya yang berdenyut nyeri. Setelah ini, Eduardo harus meeting dengan client nya yang dari Turki dan dari Cina. Ibunya tak bisa meringankan pikirannya sedikit saja.

"Kapan Ibu mau mengerti aku? Aku sudah pusing dengan perceraian dan pekerjaan!" dumel Eduardo.

Eduardo membuka lacinya dan mengambil obat sakit kepala. Tak sengaja ia menemukan foto pernikahannya dengan Diana disana.

Dengan rasa benci, Eduardo merobeknya menjadi sangat kecil dan membuangnya dari jendelanya yang berada di lantai 20. Angin menerbangkan potongan kertas tersebut hingga jauh. Eduardo menatap potongan ketas yang semakin menjauh itu dengan sendu. Ia harap angin juga bisa menerbangkan perasaannya untuk Diana.

"Menumbuhkan cinta untukmu itu cepat, membencimu juga cepat, tapi kenapa untuk melupakan mu itu sangat sulit?"

"Apa benar aku masih mencintaimu?"

Suara pintu terbuka. Sekretaris Eduardo masuk dengan berkas ditangannya. "Maaf pak, client kita sudah datang. Bapak sudah ditunggu di ruang meeting."

Eduardo berputar dan mengangguk. "Oh Meli, kamu kesana dulu. Saya mau siap-siap."

"Baik pak!"

.

.

.

.

.

tbc

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height