My Iceberg/C1 Bab 1 Pertemuan yang Tidak Terduga
+ Add to Library
My Iceberg/C1 Bab 1 Pertemuan yang Tidak Terduga
+ Add to Library
The following content is only suitable for user over 18 years old. Please make sure your age meets the requirement.

C1 Bab 1 Pertemuan yang Tidak Terduga

Bola plastik itu menggelinding di area mall megah yang sedang banyak pengunjungnya, lalu bersarang di bawah kaki seseorang. Di belakangnya berlari seorang bocah laki-laki kecil sekitar tiga tahunan. Sepertinya sedang mengejar bola plastik itu.

Tubuhnya yang mungil, nampak bulat berisi, seperti bola yang dikejarnya. Wajahnya yang tampan, terlihat sangat menggemaskan.

Sementara di tempat lainnya lagi yang tidak begitu jauh dari sana, seorang perempuan cantik berambut panjang hendak mengejar anaknya yang bernama Gagah. Langkahnya terhenti seketika.

Deg!

Ia mengenali siapa pemilik sepatu itu, yang berdiri menjulang tinggi di hadapan anak laki-laki kecilnya. Dengan segera tubuh rampingnya menyelinap ke belakang sebuah pilar besar penompang bangunan mall, secara diam-diam. Dengan hati cemas, ia terus memperhatikan lokasi Gagah dan laki-laki tinggi itu berada.

Wajah Gagah terangkat, saat mengetahui bola miliknya tertahan di kaki seseorang yang tidak dikenalnya.

"Bolaku!" tunjuknya mengarah pada sepatu lelaki itu. "Danan ijak bolaku!" katanya lagi secara lantang. Sepertinya marah karena barang miliknya, ada di bawah sepatunya.

Namun, karena raut wajah ciliknya sangat tampan, mimik marahnya malah terlihat lucu. Yang punya sepatu itu tersenyum, mulai tertarik dengan sikap beraninya.

"Bolamu baik-baik saja, kamu tidak usah marah." ucapnya dengan suara rendah. Kemudian dia mengambil bola itu dari bawah sepatunya.

Dan entah kenapa, sepertinya ia ingin sejenak menahan bocah tampan yang lucu ini. Padahal seumur hidupnya belum pernah bercengkrama dengan anak-anak, dia tidak begitu menyukainya.

"Danan abil, itu punaku!" tunjuknya lagi pada bola yang dipegangnya. Suara cadelnya terdengar lucu.

Tubuh jangkungnya berjongkok, berusaha menyesuaikan dengan tinggi badan anak itu. "Kalau bola ini mau kembali, kamu harus memintanya."

Mata Gagah membulat. "Nda mau! itu punaku." mulutnya cemberut.

"Mintalah!" kata laki-laki itu, semakin senang mengganggunya. Kenapa anak ini, begitu menyita perhatiannya? Dia jadi bingung sendiri.

"Nda mauuuu...!!!" teriaknya lagi. Bibirnya sudah sangat mengerucut.

"Anak baik kalau menginginkan sesuatu harus memintanya dengan sopan." Dia semakin mencadai bocah lucu itu. Semakin marah, semakin terlihat menggemaskannya.

Sepertinya Gagah sudah mulai tidak sabar, dia melangkah lebih mendekatinya dan menyambar bola dari tangannya. Laki-laki tinggi pun sengaja membiarkan bola dengan mudah didapatkannya.

Gagah langsung berlari menjauh, sambil membawa bola plastik dan sempat melirik kembali kepadanya yang sudah berdiri.

Tangannya melambai sambil tersenyum.

Dan dia terkesiap saat melihat senyumnya.

Senyumnya! Mengingatkannya pada seseorang.

Dia tertegun untuk sesaat, wajah anak itu seperti cermin dirinya sendiri. Tidak mungkin! Sangkalnya, tidak percaya pada apa yang dilihat matanya sendiri.

Dia sempat mengedarkan pandangannya. Tidak mungkin bocah itu sendirian di mall sebesar ini, tapi tidak ada tanda-tanda ada yang mendekati bocah itu. Saat melihatnya lagi, ternyata Gagah sedang duduk manis di sebuah kursi. Di sekitar konter makanan cepat saji, karena memang mereka sedang berada di area food court. Seakan sedang menunggu seseorang.

Anak pintar dan patuh, pikirnya segera berlalu. Tanpa merasa khawatir lagi, yang sekilas sempat dirasakannya tadi. Pikirannya takut diracunin lagi oleh hal yang menurutnya tidak mungkin.

Ganistra Yunatha yang biasa dipanggil Ganis, adalah ibu dari anak lucu itu. Segera keluar dari persembunyiannya, setelah yakin kalau Laki-laki yang menahan bola anaknya, tidak terlihat lagi.

"Mami..." teriak Gagah saat melihat Ganis menghampirinya.

"Gagah! Mami mencarimu. Lain kali jangan lari-lari di tempat seperti ini." tegurnya dengan nada lembut.

"Mami, bolana ang lali-lali....aku halus takap." anak itu berusaha membela diri. Tangannya ditangkupkan, seolah sedang menangkap bola.

"Hmm ... bolanya tidak punya kaki, ya? Dan kaki Gagah yang kecil ini, kalah kencang sama bola yang tidak punya kaki ... huh!! Kalau Gagah mau menang, harusnya Gagah taruh bolanya di lapangan berumput, bukan di sini."

"Iyaa, Mami. Bolana nda puna kaki, tapi bisa belali kecaaang." celotehnya dengan melebarkan tanganya.

"Bola ajaib." komentar Ganis ngasal. Menanggapi pemikiran anaknya, secara praktis saja.

"Ndak adaib, Mami. Latai ini licin, ndak cepeti lumput."

OMG!!! Kalau sudah begini, Ganis kadang suka kehabisan akal untuk menjawab kalimat-kalimat cerdas anaknya. Padahal usianya baru tiga tahun lebih, sekolah saja belum, tapi mengenal huruf pun sudah tahu.

"Gagah mau ice es krim?" tanya Ganis, untuk mengalihkan perhatiannya. Akan tetapi, dijawab secara spontan oleh Gagah. Terlihat sangat antusias.

"Gagah mau es klim, Mami ...."

"Yuk, kita cari es krimnya."

Anak itu berjikrak kegirangan, sambil berpegangan pada lengan Maminya. Meloncat-loncat secara zigzag.

Ternyata anak ini sudah melupakan kejadian tadi saat pertemuannya dengan laki-laki yang menahan bolanya, sebelum sempat menceritakan padanya.

Hampir saja, pikir Ganis. Dunia ini memang sempit.

"Gagah mau es krim rasa apa?" tanya Ganis, saat mereka sudah duduk mau memesan es krimnya.

"laca ... emm ... stobeli, sama laca ... emm ... cotlat!" serunya dengan mimik yang sangat menggemaskan.

Tidak begitu lama, pesanan yang di harapkan sudah datang. Cup kecil es krim itu penuh dengan topping warna-warni.

"Wow!" mata Gagah membulat. terlihat gembira melihatnya.

Sebelum menyuapkan es krim ke mulutnya, bocah cilik itu melihat dulu ke Maminya.

"Mami, napa ndak beli ec klimna?"

"Mama lagi gak enak perutnya, sayang. Udah, Gagah aja yang habisin es krimnya, ya?"

"Mami cakit?" tanyanya sedikit menunjukan kekhawatirannya. "pelica ke dotel, Mami."

"Sakitnya Mami, gak harus diperiksa kedokter, Gagah. Mami masih kuat seperti biasanya." jawab Ganis, sambil menyikukan lengannya seperti binaragawan. Membuat Gagah tertawa. "Ayo, dimakan es krimnya, keburu cair nanti."

Gagah baru menyiapkan es krim ke mulutnya, setelah merasa yakin Maminya tidak apa-apa.

Ganis membiasakan untuk tidak selalu membantu anaknya makan, supaya mandiri. Ia lebih memilih mengelap bibir atau pipinya yang belepotan terkena makanan, karena tidak sepenuhnya masuk ke mulut kecilnya.

"Mami, tatut di cutik, ya? Ndak mau ke dotel." ternyata Gagah masih membahas soal sakitnya.

Ia jadi menyesal telah membuat khawatir anaknya dengan memberi alasan yang sebenarnya asal saja. Tak berpikir akibatnya. Begini nih kalau punya anak pintar dan kritis. Tidak mudah untuk diyakinkan.

"Danan tatut dicutik, Mami. Kan Mami biang, kaa di didit cemut lacana." Ganis jadi tersenyum dibuatnya. (Kayak digigit semut rasanya.)

"Mami juga gak pernah takut disuntik, sayang. Dokter juga tidak sembarang kasih suntik ke yang sakit." ia kembali mengelap pipi gembil Gagah, dengan tisu.

"Abis, Mami." Gagah menggeser cup es krimnya, menjauh dari badannya.

Topping-nya banyak yang berceceran di meja juga di lantai bawahnya. "Pemenna banak ang jatuh, Mami." ia turun dari kursi kecilnya, melihat-lihat ke lantai.

Ganis terpaksa turun dan menghampiri anaknya. "Jangan ambil yang sudah jatuh ke bawah, sudah tidak bersih lagi, sayang." lalu menarik tisu yang tadi diselipkan di dadanya, sebelum anak itu mulai makan es krimnya, supaya tidak mengotori bajunya.

"Pulang, yuk." ajaknya kemudian, yang diangguki oleh Si tampan ciliknya ini.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height