My Iceberg/C2 Bab 2 Hari Pertama Kerja
+ Add to Library
My Iceberg/C2 Bab 2 Hari Pertama Kerja
+ Add to Library

C2 Bab 2 Hari Pertama Kerja

Tekad kuat kepindahannya dari Yogyakarta ke Jakarta, karena sudah diterima bekerja di perusahaan kontraktor PT Multi Karya tbk. Sebuah perusahaan kontraktor yang sedang berkembang, walau belum dikatakan jadi besar, tapi prospeknya cukup menjanjikan.

Mila teman satu kelas saat kuliahnya dulu, yang memberitahukan ada lowongan kerja di perusahaan di mana dia bekerja. Mereka sangat membutuhkan seorang desain interior yang sesuai dengan keahliannya, setelah menimba ilmu dengan susah payah selama ini.

Ganis tidak ingin untuk terus jadi penata dekorasi di sebuah EO. Selain gajinya yang tidak begitu besar, meski hampir mirip-mirip, Ganis merasa itu bukan bidangnya.

Pertama masuk kerja, ia diperkenalkan pada CEO yang bernama Felix. Seorang yang masih muda, tampan dan punya kharisma. Ia disambut dengan senyum ramahnya, sama sekali tidak ada kesan seramnya. Seperti biasa ia temui, bila berhadapan dengan para petinggi perusahaan.

Felix membawanya ke sebuah ruangan besar, dengan orang-orang yang memiliki meja kerjanya masing-masing. Di tengah-tengahnya, ada meja panjang, mungkin untuk rapat kecil yang mereka adakan setiap harinya.

Felix memperkenalkan Ganis kepada mereka. Tak ada yang ia kenal, kecuali satu orang, yaitu Mila.

Mila langsung memeluknya. "Selamat bergabung dengan kita, Nis." ucapnya dengan senyuman yang tampil di wajahnya yang memang manis.

"Terima kasih, Mil. Berkat kamu, aku diterima bekerja di perusahaan ini."

"Karena aku membutuhkan teman, Nis. Aku sudah keteteran mengerjakan tugas proyek yang seabrek, jadi aku merayu Felix untuk segera menerima lamaran kerja kamu." liriknya pada Felix dengan senyumnya.

Kemudian Mila mengurai pelukan sahabatnya itu, lalu menatap wajahnya dengan perasaan kagum. "Kamu terlihat semakin cantik, Nis." sorot matanya menilai-nilai, karena sudah dua tahun tidak bertemu. Sejak menyelesaikan kuliahnya di Yogyakarta, mereka belum bertemu kembali.

"Terima kasih, Mil. Telah mengingatku." wajah cantik Ganis, menunjukan rasa terima kasihnya yang tak terkira, membuat Mila kembali tersenyum.

"Sama-sama, Nis. Karena kamu adalah sahabat terbaikku." Lalu Mila menggandeng Ganis. "Aku akan memperkenalkan kamu pada para ahli di sini." Mila membawanya berkeliling untuk mendatangi setiap meja. Memperkenalkan Ganis, ke rekan-rekan yang ada di ruangan itu.

Satu per satu Ganis menyalaminya. Wajah-wajah yang sangat ramah, mungkin sekitar tujuh orang, tidak begitu banyak.

"Aku Aldy. Selamat bergabung di divisi Site Engineer, tempat berkumpulnya para desainer perusahaan. Ada tiga orang arsitektur bangunan, satu orang arsitektur lanskap, surveyor dan arsitektur interior yang tiada lain adalah temenmu, Mila." tunjuknya kepada orang-orang yang disebutkan profesinya. "Jangan takut kepada wajah-wajah seram mereka, Mila yang satu-satunya wanita di sini saja, merasa aman dan sentosa." gurau Aldy dengan wajah jenakanya.

Semua tersenyum, tidak aneh dengan orang yang satu ini.

"Lo, gak pernah buang-buang kesempatan, ya, Al? Ingat aja sama bini lo yang di rumah." seloroh Felix, sambil menyenderkan bokongnya di meja panjang itu.

"Di sini gue bujangan, di rumah laen lagi. Lo, gak perlu ribut-ribut gitulah, Fe." kilahnya sambil terkekeh.

"Udah deh, kalian kalau udah bercanda gini, gak bakalan ada selesainya." Mila mengingatkan mereka. "Ayo, Nis. Ini mejamu, di sebelahku." ia menarik Ganis, ke meja yang masih kosong.

"Terima kasih, Mil." tatapnya pada Mila, kemudian kepada semua yang ada di ruangan itu. "Terima kasih atas penerimaan yang baik kepada saya, semoga saya tidak mengecewakan. Mohon kerjasama dan bimbingannya." sedikit membungkukkan tubuhnya, ia tersenyum, lalu duduk di samping Mila.

Felix menatapnya, merasa ada yang menarik di diri wanita ini. Bukan karena kecantikannya saja, tapi ia menangkap sesuatu hal lain yang bagi dirinya sendiri belum tahu apa itu.

"Ya sudah, kita telah mengenal ibu Ganis. Semoga bu Ganis betah bekerjanya di sini, kalau butuh bantuan pasti kita pun akan siap membantu. Selamat bekerja, bu Ganis." kata Felix dengan sopan, sebelum berlalu dari ruangan.

Ruangan kembali sepi, Mila sedang menjelaskan kepada Ganis, soal pekerjaannya.

"Jadi ini, Mil? Yang di ceritakan itu?" Seorang lelaki yang baru datang ke ruangan, menghampiri Ganis sambil mengulurkan tangan. Lumayan ganteng, berkulit agak gelap dengan tinggi sedang. Tidak seperti Felix yang kayak tiang listrik, saking tinggi dan kurusnya.

Mila langsung menoleh pada sumber suara itu. "Iya Bram, perkenalkan temanku Ganistra Yunatha, biasa di panggil Ganis." jawabnya ceria.

Ganis menyambut uluran tangannya dengan senyum di bibirnya. "Bram" terdengar suara Bass-nya. "Semoga betah, ya?"

Ganis menganggukkan kepalanya. "Terima kasih. Saya akan berusaha bekerja dengan sebaik-baiknya." ucapnya.

Bram melangkah menuju meja kerjanya yang berada di samping Aldy, tanpa banyak basa-basi lagi.

"Perusahaan kita belum bisa dikatakan hebat, Nis. Seperti perusahaan lain yang sudah terlebih dahulu bergerak dalam bidang ini. Namun, proyek yang kita pegang sudah lumayan banyak, jadi siap-siap saja ke depannya kita akan sibuk. Semoga kita bisa bekerjasama dengan baik." Mila kembali melanjutkan penjelasannya yang sempat terjeda tadi, karena kedatangan Bram.

Mata Ganis berbinar. Ia merasa senang, karena bisa langsung diberi kepercayaan oleh Mila. Mereka akan melakukan tugas secara bersama-sama.

"Kamu sudah lebih berpengalaman, Mil. Tolong bantu aku, ya?"

"Untuk orang sepintar kamu, aku tidak merasa khawatir, Nis. Kamu pasti bisa."

"Aku dengar dari Mila, kalau kamu lulus dengan nilai cum laude, ya?" tanya Bram.

Ganis meliriknya, "Duh, Pak Bram. Kemakan iklan Mila, jadinya." jawabnya sambil tertawa.

"Tapi itu memang kenyataannya. Makanya aku berani merekomendasikan nama Ganis ke perusahaan." jawab Mila, sambil memberikan sebundel dokumen kepadanya.

"Kamu bisa mempelajari ini dulu, Nis. Sebelum rapat kita nanti" ucap Mila, mengedipkan sebelah matanya.

Aldy berdecak," Katanya temen, tapi baru saja masuk sudah diberi sebundel dokumen gitu. Temen apa temen nih?"

Mila mendelikan matanya ke arah Aldy. "Sudah sebulan ini sejak Reno resign, aku bekerja sendirian. Wajar saja bila pekerjaanku jadi menumpuk. Beruntung Felix mendengarkan keluhanku, untuk mendapatkan penggantinya."

Aldy malah terkekeh, senang mengganggu Mila.

Setahu Ganis, Mila belum menikah. Dulu semasih kuliah sempat berpacaran dengan seorang laki-laki. Sempat bertemu beberapa kali, tapi setelah berpisah lama, tidak tahu lagi khabarnya gimana. Mila tidak pernah menyinggung-nyinggung lagi soal pacarnya itu. Dan mengenai pernikahan Ganis sendiri, tidak pernah memberitahukannya kepada Mila. Entahlah, Ganis merasa pernikahan yang dilakukan karena keluarga itu, tidak harus digembar-gemborkan.

Ganis mulai merasa nyaman di hari pertama ia bekerja. Walaupun langsung disuguhi dengan pekerjaan yang cukup menyita perhatiannya. Tidak menjadikannya patah semangat, karena memiliki team yang sangat handal dibidangnya masing-masing.

Seminggu berlalu, ia semakin akrab dengan rekan-rekan kerjanya. Mulai mengenal pribadi dari masing-masing orangnya. Seperti Aldy yang tukang bercanda, tapi sangat serius bila sedang bekerja. Bram yang agak pendiam, tapi sangat perhatian bila ia butuh pendapatnya dan Mila cukup andal, sangat terlihat profesional melakukan tugasnya.

Begitupun dengan Felix yang sering bergabung dalam rapat-rapat yang di adakan dalam team mereka.

Karena Felix juga merangkap jadi salah satu arsitek bangunan, bila benar-benar dibutuhkan bantuannya. Mereka adalah empat serangkai dalam persahabatan, sejak sama-sama menimba ilmu di bangku kuliah. Felix, Aldy, Bram dan satu lagi, yaitu Direktur Utama di perusahaan itu, yang belum muncul.

"Nis, sepertinya Felix agak menaruh perhatian lebih loh sama kamu." bisik Mila setelah rapat, disaat ruangan kosong sambil membereskan kertas-kertas kerjanya.

"Kamu selalu ngayal dari dulu, seolah laki-laki selalu tertarik padaku, kenyataannya tidak, kan?" ucap Ganis datar.

"Kamu yang tidak berubah dari dulu, sikap dinginmu itu yang membuat laki-laki di sekelilingmu jadi penasaran. Namun, tak seorangpun yang dapat perhatian lebih darimu. Kenapa sih, Nis? Emang kamu tak pernah merasa tertarik gitu? Jangan-jangan kamu gak normal lagi." Mila menatapnya dengan heran.

"Ish! aku normallah, aku 100% perempuan. Hanya waktu kuliah, aku terlalu fokus sama kuliah, hingga tak sempat untuk memikirkan hal lainnya." kelit Ganis.

"Satu tahun kamu sempat cuti kuliah dan akhirnya ketemu aku di kelas. Sebenernya aku ingin tanya dari dulu, kenapa kamu ambil cuti waktu itu? Tapi aku merasa belum berani menanyakannya." benar saja Ganis sepertinya enggan untuk menjawabnya.

Mila telah berdiri untuk bersiap-siap pergi. Sudah tiba dijam istirahat.

"Waktu itu, aku lagi ada masalah, Mil. Namun, aku belum bisa menceritakannya padamu." ungkap Ganis serius.

"Maafkan aku yang kepo ini ya, Nis? Bukan bermaksud untuk mau mencampuri urusan pribadimu, hanya aku agak penasaran sama pribadimu yang agak misterius itu."

"Misterius, Kamu bilang?" Ganis malah tertawa.

"Tanpa kamu sadari, orang-orang yang ada di dekatmu menganggapnya begitu. Kamu penuh misteri." Mila ikut tertawa jadinya.

"Aku sendiri merasa biasa-biasa saja, Mil." Ganis keluar dari ruangan dan Mila mensejajarkan langkahnya.

"Karena kamu cantik, Nis. Hanya tak ada yang bisa mendekatimu, karena sikapmu itu."

"Kamu juga cantik, Mil. Em...bagaimana hubunganmu dengan cowok yang waktu itu jadi pacarmu? Aku tidak dengar lagi namanya disebut." Ganis jadi balik bertanya.

"Tidak berlanjut, Nis. Dia ke luar negri. Tepatnya ke Jepang, untuk mengejar kariernya di sana. Awal-awal masih memberi kabar, tapi kemudian semakin jarang. Hubungan pun jadi semakin dingin dan akhirnya, aku memutuskan untuk berpisah. Tidak ada keberatan dari pihaknya. Jadi, ya sudah berakhir begitu saja."

"Dan belum berpacaran lagi sampai sekarang?" tanya Ganis mulai berani mengorek pribadi temannya ini.

"Nah mulai kepo, kan?" Mila menatapnya jenaka, kemudian menyambung kalimatnya lagi. "Kita ini memang cukup aneh. Bersahabat, tapi tidak pernah mengungkapkan tentang masalah pribadi kita. Aku sendiri merasa takut untuk bertanya padamu, mungkin kamu juga begitu."

"Itu artinya, kita terlalu menenggang perasaan kita masing-masing, Mil. Yang penting hubungan kita tetap baik."

"Bener, Nis. Mulai sekarang kita tidak harus sungkan lagi karena kita sudah dalam satu team kerja."

"Kamu sahabat yang sangat baik, Mil. Aku sangat menghargai persahabatan kita ini." mereka saling menatap sesaat, kemudian sama-sama tersenyum. "Kita akan makan di mana nih?" sambung Ganis.

"Seperti biasalah. Biar hanya warung nasi, tapi tempatnya bersih dan gak bikin bolong kantong kita." tawa Mila, menggandeng tangan Ganis menuju warung nasi yang tidak begitu jauh dari perusahaan tempat mereka bekerja.

Selama makan, mereka terus mengobrol dengan asiknya.

"Perlu kamu tahu, Nis. Kalau Direktur Utama kita, sedang bertugas di luar kota. Jadi, kamu belum bertemu dengannya. Pasti kamu akan melihatnya nanti. Aku tidak akan menjelaskan sekarang gimana orangnya, kamu nilai aja sendiri nanti."

"Wah, emang kenapa orangnya?" Ganis malah jadi penasaran.

"Tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata." ungkapnya tersenyum penuh misteri.

"Namun, perlu kujelaskan juga, kalau perusahaan ini terbentuk dari persahabatan antara Derektur utama dan Felix sebagai CEO-nya, Aldy juga Bram, mereka berempat berteman sejak kuliah."

"Oh." Ganis baru tahu.

"Perusahaan ini baru berjalan kurang lebih tiga tahun, Nis. Perkembangannya cukup pesat, sudah menangani beberapa proyek besar, diantaranya dua proyek yang sedang kita kerjakan itu."

"Aku tambah semangat jadinya, desainku sudah hampir jadi. Aku siap mempresentasikannya nanti, yang lainnya baru berupa konsep saja."

"Mantap! Aku lihat juga bagus, Nis. Semoga Dirut kita nanti bisa menerima ide-ide brilianmu itu."

"Kritis juga, ya? penilaian Dirut kita itu."

"Kamu siapkan mental aja, tidak mudah untuk meyakinkannya."

Ganis hanya termenung. "Sesulit itukah?' tanyanya, dalam benak yang tak terungkap.

Ah, sendainya Ganis bisa meramal, apa yang terjadi di kemudian hari. Mungkin ia akan lari sejauh mungkin, sebelum terjadi.

Siapa Direktur Utama itu?

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height