My Iceberg/C7 Bab 7 Tersembunyi
+ Add to Library
My Iceberg/C7 Bab 7 Tersembunyi
+ Add to Library

C7 Bab 7 Tersembunyi

Gagah menyambutnya, dengan keceriaan seorang bocah yang melihat maminya sudah pulang. Setelah berjam-jam ditinggalkan hanya dengan neneknya.

"Mami ...." panggilnya. Tubuhnya bergelayut di kakinya. Membuat Ganis susah untuk melangkah. Namun, dengan berat, ia menyeretnya, membuat anak kecil itu tertawa-tawa. Bergelantung di sebelah kakinya seperti monyet yang sangat lucu.

Ini sudah jadi kebiasaan, tubuh anaknya yang masih kecil sangat suka di perlakukan seperti itu. Melihat maminya berjalan tertatih-tatih. Kemudian Ganis akan mengangkat tubuh mungil itu ke pinggangnya, sambil menggelitik perut gendutnya. Gagah semakin mengeraskan tawanya, karena kegelian.

"Gagah hari ini tidak nakal, kan?" tanyanya, sambil mencolek hidung Gagah dengan gemasnya.

"Mami tanya eang (eyang) aja." jawab Gagah. Mencium kedua pipi Ganis, lalu hidungnya dan terakhir tubuhnya agak terangkat untuk bisa mencium dahinya. Mata bulat itu menatapnya, terlihat rekahan senyum di bibirnya yang mungil.

"Anak Mami yang baik." lalu menciumnya bertubi-tubi wajah yang menggemaskan itu, membuat Gagah kewalahan.

Anak itu berteriak. "Udah Mamiiiii ... ! Gagah geli!"

"Ayoo bilang ampun." Kembali Ganis menggelitik leher anaknya, dengan ciuman-ciumannya.

"Ampuuunn!!" lehernya bergerak ke kiri dan ke kanan. Berupaya menghindari ciuman maminya, karena geli yang di rasakannya sambil terus tetap tertawa.

"Ampun, Mamiii .... !" Gagah mengulang permohonannya. Kalau sudah begitu, Ganis akan memeluk anaknya, mendekapnya erat. Seakan ingin mencurahkan segenap kasih sayangnya.

Matanya berkaca-kaca. Mengingat kalau hari ini, ia bertemu dengan Ayah dari anaknya itu.

Namun, jangan sampai Gagah melihat air matanya. Anaknya tidak boleh tahu tentang kesedihan yang muncul kembali di hatinya.

Ibunya muncul dari arah dapur. "Tumben telat banget pulangnya, Nis. Gagah terus dari tadi bertanya, kenapa mamanya belum pulang juga. Selalu menunggu di teras, tidak mau masuk ke dalam."

"Macet banget, Bu, kebetulan aku numpang mobil temen. Kalau pakai ojek kan, lebih cepet nyampainya." jawabnya sambil duduk, dengan Gagah masih di pangkuannya.

"Gagah ayo turun, biar Mami ganti pakaian dulu." pinta neneknya, dengan lembut.

Meski enggan, anak itu menuruti perintah neneknya. Turun dari pangkuan ibunya, lalu menatapnya lugu. "Pasti Mami cape, ya? Nanti tati(kaki)Mami, Gagah piditin."

"Iya, sayang. Sekarang Gagah lanjut lagi nonton film kartunnya, ya? Sebentar Mami akan mandi, sesudah itu kita akan makan bersama."

Anak itu hanya mengangguk, lalu duduk. Melanjutkan nonton film kartun yang tadi sempat tertunda, karena kedatangan maminya.

Sepulang kerja, biasanya Ganis menggunakan quality time kebersamaan dengan anak semata wayangnya ini. Meski harus bekerja seharian, tapi momen kebersamaan dengan anaknya tidak mau hilang karena rasa lelahnya.

Ia akan berusaha menemani Gagah bermain, sambil belajar sebelum anak itu terlelap di jam tidur malamnya.

Malam ini, Ganis harus berbicara pada ibunya. Mengenai pertemuannya kembali dengan Prana.

Tidak harus disembunyikan hal ini dari ibunya. Sejak ia terusir dari rumah suaminya, ibunyalah yang terus mendapinginya sampai sekarang.

"Bu." panggilnya, saat wanita tua itu duduk di sisinya. "Hari ini aku bertemu dengan Prana." ekspresi wajah ibunya langsung berubah, tapi tidak langsung bertanya, menunggu Ganis melanjutkan lagi kata-katanya.

"Di kantor." lanjutnya. "Ternyata dia Direktur Utama di kantorku, Bu. Selama ini Ganis tidak tahu, karena ia beberapa Minggu sedang tugas ke luar kota dan hari ini dia baru kembali."

"Dia kan TNI, kenapa bisa jadi pengusaha? Bagaimana ceritanya?"

"Tadi aku dianter sama temennya, Bu. Tentu saja dia belum tahu kalau Ganis itu adalah istrinya. Sepertinya Prana pun, tidak pernah menceritakan pada teman-temannya, kalau dirinya sudah menikah. Mereka pernah kuliah bareng, sebelum Prana jadi TNI"

Ibunya terdiam, "Rini, tidak pernah bercerita soal itu, kita pun mengenalnya setelah dia jadi TNI." gumamnya.

"Ganis pun tidak tahu, Bu. Prana sama sekali tidak pernah menceritakan soal teman-teman dekat kuliahnya. Makanya aku terkejut saat tadi Felix menceritakannya."

"Felix, siapa?" selidik ibunya, curiga.

"Dia atasanku juga, Bu."

"Jangan membuat Prana cemburu, Nis. Hati-hati dengan sikapmu. Pikirkan nasib Gagah kedepannya. Kamu sudah dituduh salah, jangan sampai tuduhan itu jadi benar-benar kamu lakukan." peringatan ibunya, cukup keras.

Duh, gimana ini? Padahal ia sudah berencana, membuat laki-laki itu kegerahan dengan melihat kedekatannya dengan Felix. Ibunya sudah terlebih dahulu mengingatkannya. Padahal ia sendiri merasa tidak tertarik pada Felix.

Namun, benar juga omongan ibunya. 'Jangan memancing di air keruh' mungkin peribahasa ini lebih tepat, untuk menggambarkan peringatan ibunya itu.

"Iya, bu." ucap Ganis, patuh.

"Dan bagaimana reaksinya saat tiba-tiba melihatmu?" tanya ibunya, beralih kembali ke soal Prana.

"Tetap sama Bu, dingin seperti gunung es." jawabnya cemberut, kesal.

"Tapi tidak mengusirmu dari perusahaan, kan?" mata ibunya mulai ada api, meski nyalanya masih kecil.

"Awalnya iya, Bu. Akan tetapi, karena kontrak kerjaku sudah ditanda tangani, jadi aku harus tetap bekerja di situ."

"Dia masih terlihat, marah?"

"Sepertinya begitu, Bu."

"Bilang pada ibu, kalau dia berani macam-macam lagi sama kamu. Kali ini, ibu tidak akan tinggal diam lagi." tekad ibunya, terlihat dari mimik wajahnya yang mengeras.

"Tenang saja, Bu. Ganis juga tidak akan tinggal diam lagi seperti dulu. Ganis tidak merasa takut lagi." senyumnya menenangkan hati ibunya.

"Lagian apa salahmu juga? Hingga dia bisa dengan sewenang-wenang, memperlakukanmu seperti itu."

"Sangat jelas, kan, Bu? Di kata-katanya, kalau aku sudah mengkhiatinya. Meski Ganis sendiri, tidak tahu berkhianat dengan siapa."

"Coba kamu ingat-ingat, Nis. Apa yang sudah kamu lakukan sebelum Prana mengusirmu dari rumahnya? Tidak mungkin ia melakukan itu tanpa sebab, pasti ada alasannya."

"Tidak ada, Bu. Hari itu, aku hanya menemui teman yang lagi ada masalah menjelang pernikahannya. Lalu aku mempertemukan mereka untuk mendamaikannya, selesai. Aku tidak melakukan apa-apa lagi langsung pulang."

"Heran. Kalau alasan suamimu seperti itu, hingga gelap mata. Mengapa, tidak mencari dulu kebenarannya? Main usir gitu aja. Apa kamu tidak curiga, kalau mungkin ada yang memfitnahmu tanpa kamu sadari?"

Ganis menggelengkan kepalanya, "Tidak pernah terpikirkan, Bu. Selama setahun hidup dengannya, hubungan kita baik-baik saja." Ibunya terdiam.

"Sebenernya sikap Prana sangat baik, Bu. Aku sudah sedikitnya mencairkan sikap dinginnya itu. Kehidupan rumah tanggaku bisa dibilang bahagia. Prana sangat memperhatikanku, sekecil apapun tidak pernah luput dari perhatiannya. Ibu sendiri, bisa melihatnya, kan? Memang agak posesif dalam hal-hal tertentu, tapi aku merasa tak terlalu mengganggu pergaulanku saat kuliah."

"Tapi ini sudah empat tahun lebih, Nis. Sebagai suami, harusnya sudah berusaha membereskan masalah antara kalian berdua. Ingat, Nis. Statusmu, masih istrinya."

Deg!

Peringatan ibunya seakan menohok ulu hatinya. Ia baru sadar, akan status pernikahannya yang seolah dilupakannya.

Matanya membulat menatap ibunya, terkejut. "Ibu, aku belum bercerai dengannya! Bagaimana aku bisa ya, sampai melupakannya?"

Ibunya ikut tertegun, "Kalian kan baru bertemu kembali, kapan mengurus perceraiannya?"

"...."

"Akupun belum membuat akte kelahiran Gagah, aku bingung, Bu. Prana sendiri belum mengetahui keberadaannya."

"Ingatlah, Nis. Gagah akan mulai sekolah Paudnya, tentu butuh akte kelahirannya. Jadi pikirkan baik-baik, selanjutnya kamu harus bersikap bagaimana?"

Tiba-tiba tangis Ganis pecah. "Aku bingung, Bu. Prana menuduhku berselingkuh. Kalau aku memberitahukan Gagah sebagai anaknya, pasti dia tidak akan percaya." air matanya terus turun tak terbendung, sambil sesekali diusapnya.

"Jaman sekarang kan sudah canggih, Nis. Kamu bisa menyuruhnya untuk test DNA."

"Ibu tahu sikap Prana kayak apa? Dia selalu menyimpulkan sesuatu menurut pikirannya sendiri. Belum tentu dia mau melakukannya, dengan rasa gengsinya yang tinggi itu. Terbukti selama ini, tak ada sedikitpun usahanya untuk menemukanku. Aku seperti barang yang sudah dibuangnya ke tempat sampah."

Ibunya menarik napas panjangnya. Merengkuh tubuh anaknya dengan penuh kasih dan rasa prihatin.

"Kalau begitu, hanya tinggal menunggu keajaiban aja, Nis. Teruslah berdoa minta petunjuk dari Tuhan. Siapa tahu, Tuhan membuka jalan atas masalah pelik yang sedang kamu hadapi ini." Ganis semakin terisak di pelukan ibunya. Pikirannya sudah benar-benar buntu.

"Untuk saat ini, Gagah tetap mau aku sembunyikan, Bu. Aku belum siap merasakan sakitnya, bila Gagah pun ditolaknya." ucapnya. Melepaskan pelukan ibunya dan mengusap air mata di pipinya berkali-kali.

"Nis, usahakan jangan membuat kesalahan yang membuatnya semakin yakin, kalau kamu sebagai perempuan yang tidak benar di matanya." nasihat ibunya.

Ganis menganggukan kepalanya. Meski nasihat ibunya telat! Tapi Ganis mengerti, kalau dirinya tidak boleh melibatkan orang lain pada masalahnya. Biarlah Prana yang menaruh bara di kepalanya sendiri, karena sikapnya yang tetap menuduh Ganis sebagai pengkhianat. Ganis yakin, suatu saat kebenaran itu pasti menang. Batinnya.

Malam yang panjang harus dilaluinya dengan pikiran yang penuh. Hingga menjelang subuh, kelopak matanya tidak juga mau terpejam. Ganis terus berputar-putar dengan pikirannya, setelah berbincang dengan ibunya tadi.

Ia mengingat statusnya yang masih istri Prana. Tak pernah terpikirkan selama ini, bahwa harus ada surat resmi yang harus di urus mereka bila berpisah. Pernikahan baginya berlaku untuk seumur hidup. Akan tetapi, bagaimana ia dapat mempertahankanya bila dihadapkan pada masalah sepelik ini?

Mereka secara fisik memang sudah berpisah lama, dengan gampang pula bila Prana mau bercerai. Dia toh punya uang, urusan apapun pasti mudah dilakukannya. Namun, sejauh ini Prana belum mengambil tindakan apa-apa. Menggantung statusnya, tanpa kejelasan.

Anehnya, kenapa Prana tidak melakukan itu? Atau mungkin sebentar lagi, dia akan melakukannya? Ganis hanya cukup menunggu tindakan dari Prana selanjutnya.

Akhirnya ia terlelap, saat ayam jantan berkokok menyambut pagi yang masih menggelap.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height