My Iceberg/C8 Bab 8 Wanita Penggoda
+ Add to Library
My Iceberg/C8 Bab 8 Wanita Penggoda
+ Add to Library

C8 Bab 8 Wanita Penggoda

Setengah berlari, Ganis memasuki kantornya. Tetap saja telat lima belas menit, ketika ia tiba di meja kerjanya.

"Tumben telat, Nis." kata Mila.

"Iya, nih. Aku kesiangan bangunnya, semalam susah tidur."

"Mikirin apa, hayo ...." canda Mila.

"Gak mikirin apa-apa, sih. Lagi susah tidur aja." dustanya.

"Tadi Felix ke sini. Nyariin kamu, tapi kamunya belum datang." ujar Mila memberitahunya. "Cuma mau bilang, katanya dia ada tugas ke luar kota dan tadi buru-buru, langsung menuju ke bandara."

"Oh."

"Hanya itu?" tanya Mila, menatapnya dengan menelengkan kepalanya.

"Maksudnya?" tanya balik Ganis.

"Kok hanya 'oh' doang."

"Yah, aku harus ngomong apalagi, Mil?" balasnya, sambil terkekeh.

"Sepertinya Felix bermaksud serius, Nis,"

"Aku belum kepikiran ke situ, Mil. Aku ingin fokus dulu kekerjaan."

"Tapi kamu bisa mempertimbangkannya, Nis. Felix orangnya baik dan bukan laki-laki yang sembarang juga."

Ganis kembali terkekeh. "Kamu dorong-dorong aku untuk dekat dengan cowok, sementara kamu sendiri masih jomblo."

"Kamu aja yang gak tahu, Nis. Padahal ada yang sering main mata, tuh. Di belakang kita." Aldy yang dari tadi seolah serius dengan kerjaannya, ternyata diam-diam menyimak obrolan mereka. Nyeletuk begitu saja.

Mila memelototinya. "Dih, siapa juga?" Ia mencebikkan bibirnya.

Ganis melihat keduanya secara bergantian. Ia melihat Aldy menggerak-gerakkan alisnya ke arah Bram, yang tertunduk sedang membuat konsep gambarnya.

Ganis jadi mengerti, lalu tersenyum pada Mila. "Ada yang cinlok rupanya." selorohnya.

"Aldy ... !!" jerit Mila tertahan, melemparkan pensil ke arahnya. Dengan cepat dihindari, dengan gelak tawanya.

Telepon genggam Mila berbunyi, tak lama terdengar kata 'ok' dari mulutnya.

Mila mencoleknya, "Kamu dipanggil Prana, untuk datang ke ruangannya."

"Ada apa ya, Mil?" Ganis agak kaget. Kenapa Prana memanggilnya?

"Aku juga gak tahu, dia gak bilang." Mila menatapnya untuk berusaha meyakinkannya. "Datang aja, Nis. Biasanya kalau dia panggil, soal kerjaan."

Mengapa hatinya harus cemas? Bukankah, ia sudah bertekad untuk menghadapinya tanpa rasa takut? Ia berusaha mengobarkan kembali semangatnya.

Dengan langkah tegap, Ganis menuju lantai tiga, di mana kantor Prana berada.

Saat masuk untuk kedua kalinya ke ruangan itu, auranya masih sama. Dingin!

Prana sedang ada di sisi mejanya, sambil memilih beberapa dokumen yang bertumpuk. "Silahkan duduk." tunjuknya ke sofa, yang biasanya untuk menerima tamu-tamu perusahaan, tanpa melihat dirinya.

Ganis duduk di sofa empuk berwarna hitam itu, memperhatikan ruang yang luas dengan seksama. Tidak begitu mewah, tapi terkesan elegan dan rapih. Sekilas tercium lagi aroma campuran Woody dan Citrus. Satu aroma dari tubuhnya yang tidak pernah dirubah oleh Prana. Aroma ini juga yang membuatnya gila, saat dia hamil. Ia tidak akan tertidur, sebelum menyesap aromanya.

Tak berapa lama, Prana duduk di hadapannya. Hanya sebuah meja tamu yang memisahkan mereka.

Dia membuka dokumen, yang akhirnya Ganis tahu, itu hasil kerja yang ia presentasikan kemarin.

"Menurut pak Pran, ada yang mesti diperbaiki?" tanyanya formal, hingga laki-laki itu menatapnya. Namun, kemudian tatapannya dialihkan kembali ke gambar desain Ganis.

"Ini ruangan perkantoran atau sebuah ruang tamu rumah pribadi yang mewah?" tanya nya.

"Ruangan perkantoran. Akan tetapi, seperti yang sudah saya jelaskan kemarin, bahwa klien kita menginginkan satu ruang khusus yang berbeda dari ruang lainnya. Sepertinya, pak Pran tidak begitu menyimak presentasi saya kemarin." sindir Ganis agak mengerutkan kening sambil menatapnya.

Matanya berkilat saat balas menatapnya. "Mungkin aku lupa." dengan entengnya, ia beralasan.

Lupa? masa lupa? Dia baru melakukannya kemarin, dengan kata-kata yang jelas dan bahasa yang dimengerti.

"Ada yang pak Prana ingin tanyakan lagi? Kalau tidak, saya akan turun lagi untuk melanjutkan pekerjaan saya yang masih menumpuk." Ganis hendak berdiri, tapi tertahan saat laki-laki itu secara kilat sudah ada di sisinya.

"Tetaplah duduk!" perintahnya, tajam.

"Apa yang mau dibicarakan lagi?" tatapnya berani. Meski kalau mau jujur, ia tidak kuat kalau harus melihat langsung ke manik matanya.

Jantungnya sudah berdegup tidak karuan.

"Jangan ganggu Felix, dia sahabatku." ucapnya dingin.

Ganis membelalakkan matanya. "Aku mengganggu Felix?" tatapnya heran. "Apa gak kebalik? Dia sendiri yang mengejar sejak awal. Lagian apa pedulimu kalau aku bersama Felix?" tanyanya, acuh tak acuh.

Wajah Prana sudah mulai memerah. Sepertinya ia sedang menahan emosinya.

"Felix laki-laki yang baik, sementara kamu hanya seorang wanita yang suka menggoda."

"Benarkah?" matanya yang indah itu, melebar. "Sejak kapan, aku punya predikat sebagai wanita penggoda?" tanyanya, dengan senyumannya yang sangat menawan. "Pak Prana, sepertinya sedang berkhayal tingkat tinggi." Ganis terus tersenyum, di hadapan laki-laki itu. Sengaja menggodanya, untuk mempraktekkan apa yang dituduhkannya. Ia juga ingin menguji ketahanannya sampai di mana, bila ia benar-benar menggodanya.

Ganis jadi mengingat kelakuannya, yang memang suka jahil. Menggoda suaminya, bila mereka berdua sedang santai di rumah. Ada saja yang dilakukan Ganis, agar Prana beralih dari yang sedang dikerjakannya.

Lelaki itu paling tidak tahan, bila tangan istrinya sudah bergerilya di perut kotak-kotak miliknya. Dia akan balik menyerangnya, hingga keadaan jadi terbalik. Ganislah yang jadi kewalahan, yang akhirnya menyerah menerima apapun yang akan dilakukan suaminya.

Tiba-tiba tubuhnya didorong, hingga kenangannya terbuyarkan. Ganis agak meringis, saat punggungnya membentur sofa. Meski empuk, tapi kalau ditekan seperti itu terasa sakit juga.

"Kamu sepertinya tidak pernah puas dengan satu pria." Wajah mereka sudah sangat dekat. Saling menatap dengan intens.

"Apakah sekarang saya sedang menggoda pak Prana?" desahnya, manja. Masih dengan sengaja bersikap menggoda. Ia ingin tahu, apa reaksi Prana selanjutnya? Apakah dirinya masih punya pesona dihadapannya?

Bibirnya langsung dicium oleh Prana. Terasa kasar, hingga Ganis merasa kaget.

Prana tidak pernah berlaku kasar. Sedingin apapun sikapnya yang nampak, tetapi di ranjang dia adalah seorang laki-laki yang sangat lembut sekaligus kuat.

Ciumannya semakin dalam. Hingga Ganis sendiri yang awalnya hanya ingin menggoda, jadi tergoda.

Empat tahun, ia tak pernah di sentuh oleh laki-laki manapun. Hasratnya seperti sedang tidur, lalu dibangunkan secara tiba-tiba, seperti ini? Sama sekali tanpa persiapan.

Aroma tubuh yang sangat di kenalnya, dipadu dengan ciuman-ciuman yang juga sudah sangat dihafalnya. Hanya lelaki ini, yang mampu membuat tubuhnya bereaksi tak terkendali.

Tidak pernah ada laki-laki lain yang mampu, membuat tubuhnya bergetar dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya.

Mereka memanas di atas sofa, untuk sesaat lupa segalanya.

Ganis mendesah, begitu ciuman itu terlepas. Matanya berkabut, saling menatap. Ada kerinduan yang terbaca, di sorot mata yang kini sedang menatapnya sangat dalam. Mereka kembali saling menautkan bibir, dengan hasrat yang sudah dibangkitkan.

Namun, kemudian Ganis mengingat sesuatu. Sekilas muncul seraut wajah mungil, yang sedang tersenyum padanya. Gagah! Anaknya.

Bukankah laki-laki yang sedang mencumbunya ini, adalah laki-laki yang sudah dengan kejam mengusir dirinya? Bukankah, dirinya sudah dianggapnya sebagai sampah? Ditambah lagi dengan merendahkannya, sebagai wanita penggoda.

Dengan kuat Ganis mendorong tubuh Prana dan ....

Plak!!

Secara otomatis, tangannya menampar keras pipinya.

"Pak Prana lupa, ya? Kalau saya ini sampah yang sudah dibuang dan dicampakkan dengan seenaknya? Sungguh rendah selera pak Prana, bila ingin memungutnya kembali!"

Ganis segera berdiri membenahi pakaiannya. Berlalu dari ruangan itu, tanpa menoleh lagi.

Prana terhempas di tempatnya. Setelahnya menggeram, garang. Mengelus pipinya yang terasa panas. Kemudian, muncul senyum sinis di bibirnya. Sungguh! Hanya Ganis yang mampu mengobarkan hasratnya, sampai ke titik didih tertingginya.

Tamparannya cukup memperingatinya, kalau sekarang tidak mudah lagi untuk menyentuh wanita itu.

Sebelum masuk keruangan kerjanya, Ganis berbelok masuk ke toilet dulu. Ia berusaha membenahi wajahnya yang masih nampak memerah. Ia mengelus bibirnya yang sedikit membengkak. Rasanya? Membuat darahnya berdesir kembali.

Ah ....

Mengapa hanya lelaki itu, yang mampu membangkitkan hasratnya yang sudah lama tertidur itu? Mengapa tidak ada laki-laki lain yang mampu menggantikan pesonanya?

Prana sudah kembali menjadi gunung esnya, yang berdiri tangguh di hadapannya. Ganis harus mencari cara agar bisa menaklukannya lagi. Namun, kenapa sekarang serasa lebih berat untuk menjalaninya?

Apakah, karena di ingatannya masih membekas kenangan, yang sangat manis saat bersamanya?

Ia memang berlaku seperti kucing manja yang sangat menggemaskan, saat masih di sisinya. Prana juga mendukung sikap manisnya itu, yang kadang berlebihan. Bagaimana Ganis bisa dengan mudah melupakannya?

Keadaannya sekarang, sudah jauh berbeda. Mereka sedang dalam mode 'saling membenci' tapi juga 'saling menginginkan'. Namun, tak ada satu pun yang saling mau mengakuinya.

Ganis berusaha meredakan gemuruh di dadanya, akibat pergulatan asmaranya tadi. Setelah dirasa mulai tenang, wanita itu baru berani beranjak, meninggalkan ruangan toilet itu.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height