My Lord/C9 Pangeran Vampire
+ Add to Library
My Lord/C9 Pangeran Vampire
+ Add to Library

C9 Pangeran Vampire

==================================================

Kenzie dengan cepat berlari kelantai atas saat mobil Devian baru saja terparkir dirumah barunya. Dengan kekuatan Kenzie, itu hanya membutuhkan waktu sekian detik untuk tiba di lantai dua. Kenzie membuka pintu kamarnya dan menutupnya dengan keras.

Semua pelayan diam, Devian juga hanya bisa menunggu di lantai bawah dengan waswas. Sepuluh menit kemudian, Aaric dan Ernest datang. Mereka juga tampak khawatir dan hanya bisa duduk menanti kabar Ellina. Tak lama Lykaios datang, seluruh mata menatapnya.

"Bagaimana keadaan Ratu?" Lykaios bertanya dengan pelan.

"Raja membawanya kelantai atas dan menutup pintu dengan keras," Devian menjawab pertanyaan Lykaios.

"Lord marah." Ernest menambahkan.

"Habis sudah riwayatku. Aku gagal melindungi ratu." Lykaios mengusap kasar rambutnya.

"Siapa gadis dari klan Neptunus di sekolah tadi?" Ernest menatap Aaric.

"Ariela Aldercy. Merupakan gadis tercantik dan terkaya di sekolah." Aaric menjawab dengan menundukkan kepalanya.

"Neptunus. Aku akan menghancurkan mereka kalau sampai terjadi apa-apa pada ratu." Ernest menggertakkan giginya dan mencoba menahan amarahnya.

"Lalu bagaimana dengan pengambilan hak asuh ratu?" Lykaios menatap Devian.

"Kita tak bisa berbuat apa-apa tanpa bukti. Kita harus dapatkan bukti terlebih dahulu."

"Aku pernah melihat bibinya menampar dan menyiksa ratu. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa karena aku tak mempunyai hak untuk ikut campur. Pamannya juga terlihat dingin. Aku yakin ratu tersiksa selama ini." Aaric menerawang dan mengingat kejadian satu hari yang lalu.

"Kita harus mendapatkan hak asuh ratu. Dengan begitu kita lebih bisa melindungi ratu. Kurasa klan lain akan cepat mengambil tindakan saat mengetahui penjagaan ratu sedikit lemah." Lykaios menatap Devian dan Aaric.

"Kau benar," ucap Ernest.

Kenzie menatap tubuh Ellina yang tergeletak di atas tempat tidur. Kenzie memegang tangan Ellina dan berusaha mengalirkan panas tubuhnya pada Ellina.

"Ini tak membantu. Queen, aku tak punya cara lain. Aku tak ingin kau terus membeku."

Kenzie membuka baju yang melekat di tubuhnya. Perlahan Kenzie membuka baju Ellina dan menyisakan tank top di tubuh Ellina. Kenzie naik ke atas tempat tidur dan memeluk tubuh Ellina.

"Maaf queen, kau masih saja terluka saat kau berada dalam jangkauanku." Kenzie semakin memeluk Ellina.

"Bangunlah, jika aku menggunakan kekuatanku, kau akan tambah terluka. Ini akan lebih mudah jika saja darahku mengalir di tubuhmu. Apa yang harus kulakukan? Queen, kumohon ... bangunlah."

Namun Ellina tetap tak terjaga. Suhu tubuhnya tetap dingin meski Kenzie sudah memeluknya. Itu membuat Kenzie frustasi. Kenzie mendesah kasar saat mengetahui hal yang ia lakukan berjalan dengan sangat lambat untuk tubuh Ellina.

Lima jam berlalu dan Kenzie tetap pada posisinya. Sedangkan suhu tubuh Ellina sudah mulai menghangat. Kenzie tersenyum senang mengetahui cara yang ia lakukan bekerja pada tubuh Ellina meski sangat lambat. Kenzie mencium setiap luka yang ada di wajah Ellina. Perlahan luka tersebut memudar dan menghilang.

"Ini lebih mudah jika suhu tubuhmu kembali normal," Kenzie menatap wajah Ellina. "... Neptunus. Mereka melukai ratuku lagi. Bahkan gadis itu merebut mahkota ratuku. Aku akan membuat mereka menderita karena telah berani menyentuh ratuku."

Satu jam kemudian tubuh Ellina benar-benar normal. Perlahan Ellina membuka matanya. Kenzie tersenyum senang dan menanti Ellina menyapanya. Ellina menatap sekelilingnya dan kemudian beralih pada Kenzie yang tengah tersenyum dan masih memeluknya.

Kesadaran Ellina kembali. Ellina melebarkan matanya saat menatap tubuh Kenzie yang tengah memeluknya tanpa menggunakan baju. Ellina langsung memperhatikan tubuhnya. Detik berikutnya emosi Ellina memuncak dan berteriak keras sambil memukul tubuh Kenzie.

"Aaahhhh...! Apa yang kau lakukan tuan?! Dasar mesum. Beraninya tuan memelukku dengan keadaan seperti itu!" Ellina masih terus memukul tubuh Kenzie. Dan Kenzie hanya tersenyum senang dan tetap berusaha untuk memeluk tubuh Ellina lagi.

Mendengar teriakan yang begitu keras. Ernest, Lykaios, Aaric dan Devian langsung melesat kelantai atas. Dengan cepat Ernest membuka pintu kamar Kenzie dan langsung masuk diikuti oleh Aaric dan Lykaios yang hanya memasukkan kepalanya untuk melihat.

"Ups," Aaric menutup matanya cepat.

Kenzie langsung menoleh saat mengetahui pintu kamarnya terbuka. Ellina membulatkan matanya dan menatap mereka yang telah masuk ke kamar tanpa ijin. Perlahan Ellina melihat tubuhnya dan pandangan mereka yang melihat Kenzie berusaha memeluknya.

"Aaaahhhkkkkk!" Ellina semakin berteriak dan berusaha menutupi tubuhnya.

"Apa yang kalian lihat dan lakukan!!!" Kenzie menarik tubuh Ellina dan menutupi dengan selimut lalu menggeser tubuh Ellina ke belakang tubuhnya dengan cepat.

"Ah, ampun Lord." Ernest kembali menutup pintu kamar Kenzie.

Devian dan Lykaios tertawa melihat wajah Ernest yang telah merah padam. Sedangkan Aaric berusaha untuk bersikap normal seakan tak pernah melihat apapun.

"Hahaha, lord akan benar-benar mencincang tubuhmu." Lykaios tertawa dan turun kelantai bawah dengan santai.

Devian mengikuti Lykaios dan menggelengkan kepalanya. Aaric menepuk bahu Ernest.

"Aku tak melihat apapun." Aaric sedikit tertawa geli dan ikut turun kebawah.

"Hidupku benar-benar akan tamat," ucap Ernest pelan.

***

Keesokan harinya. Pagi-pagi Ellina sudah kaget saat membaca surat yang ditujukan padanya. Surat pencabutan beasiswa dari sekolah. Valerie benar-benar melakukannya. Meminta ayahnya mencabut beasiswa Ellina dengan alasan Ellina tak membutuhkan beasiswa karena terlahir dari orang yang berada.

Ellina terduduk lemas di samping sepedanya yang tergeletak didepan gerbang rumahnya. Setitik air mata menetes dari mata indahnya.

"Ma, apa yang harus Ellina lakukan? Ellina tak mendapatkan beasiswa dan paman tak mau tahu tentang biaya sekolah Ellina. Ellina harus berbuat apa? Tabungan Ellina tak cukup untuk membayar semuanya." Ellina menangis dan meremas kertas di tangannya.

Ellina bangkit dan menaiki sepedanya. Mengayuh dengan cepat menuju sebuah Bank yang sedikit jauh dari arah sekolahnya. Ellina memasuki sebuah ruangan ATM, dan memasukkan kartunya disana.

"Dua juta tujuh ratus delapan ribu. Ini tak cukup untuk membayar uang bulanan dan lainnya. Bahkan ini hanya seperempatnya," ucap Ellina pelan.

Ellina memutuskan untuk menarik semua uangnya. Ellina menatap jam di pergelangan tangannya.

"Ya ampun, lima belas menit lagi gerbang sekolah tutup. Aku harus cepat."

Ellina mengayuh sepedanya menuju sekolah. Tak jauh dari sekolahnya, Kenzie tengah menunggu Ellina di samping mobil mewahnya. Sedangkan Aaric dan Lykaios telah lebih dulu memeriksa sekolah.

"Tuan, apa yang tuan lakukan disini?" Ellina berhenti dan menatap Kenzie.

Kenzie menoleh dan tersenyum lega.

"Queen, kau dari mana saja? Aku menjemputmu ke rumah namun kau tak berada disana. Aku takut kau terluka atau seseorang sudah menculikmu dariku." Kenzie mendekati Ellina dan menatap khawatir.

"Hahaha, jangan bercanda, Tuan. Siapa yang akan menculikku? Aku dari mesin Atm,"

"Apa itu Atm?"

"Oh, itu suatu mesin yang dapat mengeluarkan uang jika tuan punya tabungan di Bank tersebut."

"Untuk apa kau menarik uang, Queen?"

"Ah, itu untuk biaya sekolahku. Sekolah mencabut seluruh beasiswa," ucap Ellina pelan.

"Ernest yang akan mengurus itu semua. Sekarang tukar bajumu dan makan sarapan pagimu."

"Tapi Tuan,"

"Tak ada penolakan, Queen."

Ernest langsung mengerti dan pergi menuju sekolah dengan menggunakan sepeda Ellina. Sedangkan Ellina masuk kedalam mobil menukar bajunya dan memakan sarapan yang Kenzie siapkan. Lykaios dan Aaric menatap tak percaya saat melihat Ernest datang dengan sepeda Ellina.

"Apa yang terjadi? Dimana Raja dan Ratu?" Lykaios mendekati Ernest.

"Sekolah mencabut seluruh beasiswa Ratu. Jadi aku ke sini untuk melunasi semua pembayaran sekolah Ratu. Setelah itu lord akan membeli sekolah ini."

Lykaios dan Aaric mengantarkan Ernest ke ruang kepala sekolah. Namun sebelum itu, Ernest terlebih dahulu merubah sosoknya menjadi pria paruh baya dan mengaku sebagai wali Ellina yang mengurusi semua tentang kebutuhan Ellina.

Bel masuk berbunyi, semua urusan yang Ernest lakukan telah selesai. Ernest kembali menuju mobil Kenzie berada. Sedangkan Aaric dan Lykaios telah duduk di kursi masing-masing. Lexsi dan Valerie tersenyum senang melihat Ellina yang tak hadir hari ini.

"Kau benar-benar mencabut beasiswa Ellina kan, Val?" Lexsi berbisik pelan.

"Ya iya lah, biar mampus tuh Ellina." Valerie menjawab mantap.

"Ariela akan senang mendengar kabar ini. Tapi ternyata Ariela pergi tanpa kabar."

"Mungkin Ariela lagi ikut orangtuanya ke luar negeri."

Kenzie mengantarkan Ellina hingga masuk kedalam halaman sekolah. Ellina keluar dan mengucapkan terima kasih lalu dengan cepat berlari menuju kelasnya. Kenzie hanya tersenyum dan melambaikan tangannya lalu masuk kembali kedalam mobilnya.

Tanpa memperhatikan sekitar, Ellina terus berlari hingga ia menabrak seseorang. Orang tersebut dengan cepat membalikkan badannya dan menangkap tubuh Ellina hingga Ellina terjatuh di atas tubuh orang tersebut.

Orang tersebut memperhatikan wajah Ellina yang terpejam. Aroma wangi dari tubuh Ellina menusuk hidungnya dan perlahan mata orang tersebut berubah menjadi merah. Menyadari keadaan, orang tersebut mencoba fokus untuk menahan segala gejolak yang menguasai tubuhnya. Perlahan matanya kembali normal.

"Ah, maaf. Aku tak sengaja." Ellina bangun dan cepat berdiri tanpa memperhatikan orang yang menolongnya.

"Tak apa. Apa kau terluka?"

Suara berat namun merdu terdengar lembut di telinga Ellina. Ellina mendongakkan wajahnya dan bertemu dengan sepasang mata yang menatap tajam wajahnya. Kulit putih pucat, hidung mancung dan bibir tipis yang seksi. Namun bukan itu yang membuat Ellina diam terpaku. Tapi karena Ellina serasa pernah melihat wajah itu. Wajah orang di depannya terlihat tak asing di matanya.

"Hei, apa kau terluka?"

"Ah, maaf. Tidak, aku baik-baik saja. Terima kasih karena telah menolongku."

"Alvian Raitrama." Pria tersebut mengulurkan tangannya pada Ellina.

"Ellina Aracelia Azzuri." Balas Ellina.

"Nama yang cantik."

"Terima kasih. Apa kau anak baru? Aku tak pernah melihatmu sebelumnya."

"Kau benar. Dan aku sedang kesulitan mencari kelasku. Bisa kau antarkan?"

"Tentu, kau berada di kelas apa?"

"Kelas dua IPA."

"Wow, kita satu kelas."

"Benarkah? Ini bagus. Setidaknya aku mempunyai satu teman di kelas."

"Ikuti aku. Kita sudah telat sepuluh menit."

Alvian tersenyum penuh arti dan mengikuti langkah Ellina dari belakang.

"Ratu yang menarik. Harus kuakui aroma tubuhnya sangat menggoda. Dan dia ... cukup cantik untuk berada di kalangan mahkluk yang bukan manusia. Benar-benar menarik," ucap Alvian dalam hati.

Tak lama mereka sampai di depan sebuah kelas. Ellina mengetuk pintu yang telah tertutup.

"Maaf Pak, saya telat." Ellina berkata hati-hati.

Seluruh murid menatap Ellina tak percaya. Lexsi menatap horor pada Valerie yang terlihat tak percaya dengan kehadiran Ellina.

"Apa alasanmu untuk telat?" Tanya guru tersebut dengan tegas.

"Itu karena Ellina menunggu saya yang baru masuk hari ini dan tersesat karena mencari kelas." Alvian maju satu langkah di depan Ellina.

Lagi-lagi seluruh kelas menatap takjub pada Alvian. Sosok tampan Alvian membuat mereka lupa akan ketampanan Lykaios dan Aaric meski hanya sesaat.

"Baiklah, Ellina boleh masuk. Dan kau ... perkenalkan dirimu."

Alvian mengangguk dan maju kedepan kelas. Seluruh kelas menatap dan tak sabar untuk mengetahui dirinya.

"Namaku, Alvian Raitrama. Cukup panggil aku, Alvian. Aku berasal dari Tran-. Ah, lebih tepatnya dari Alaska," ucap Alvian bohong.

Seluruh kelas bersorak senang. Bisikan kagum pun terdengar riuh. Lexsi mengacungkan tangannya.

"Ya Lexsi. Ada pertanyaan?"

"Nomer handphonenya berapa?" Lexsi mengedipkan sebelah matanya.

"Whuuuuuuu," sorak dari seluruh kelas tertuju pada Lexsi. Namun Lexsi hanya cuek dan menatap minat pada Alvian.

"Nomor handphoneku ada dua belas angka," jawab Alvian cuek.

Seluruh kelas tertawa mendengar jawaban Alvian. Sedangkan Lexsi terlihat kesal karena Alvian tak berminat sama sekali dengan dirinya.

Lain lagi dengan Lykaios dan Aaric. Lykaios yang duduk di sebelah Ellina sudah siap siaga. Aaric pun melakukan hal yang sama.

"Ratu, bolehkah tempat duduk kita bertukar. Dekat dengan tembok dan jendela kaca sedikit terlalu terang untukku," ucap Lykaios pelan.

"Oh, tentu saja Kak. Aku akan pindah." Ellina berdiri dan pindah duduk di tempat Lykaios, begitupun sebaliknya.

Kini Lykaios dan Aaric sedikit lega. Setidaknya, Ellina lebih dekat dengan mereka dan lebih aman. Seluruh kelas mulai sunyi saat perkenalan Alvian selesai. Alvian berjalan dan ikut duduk di belakang. Bersebelahan dengan Lykaios.

Aaric dan Lykaios menatap tajam Alvian. Alvian pun melakukan hal yang sama. Sedangkan Ellina sibuk mencatat. Tak ada yang mencoba untuk saling menyapa. Semua terlihat dingin dan saling waspada.

Lykaios dengan cepat mengirim kabar kepada Ernest perihal tentang datangnya sang pangeran dari Transylvania. Lykaios tak ingin kejadian kemarin terulang. Dimana dia dan Aaric gagal melindungi sang ratu.

Bel istirahat berbunyi. Dan disinilah mereka. Duduk di kantin dan masih saling menatap tajam. Seluruh mata memandang bangku yang menjadi idaman bagi mereka untuk bisa duduk disana. Mereka memandang iri pada Ellina.

Bagaimana tidak? Ellina duduk dengan canggung di kantin di antara semua lelaki tampan di sekolahnya. Di sebelah kanan Ellina, Lykaios duduk dengan memperhatikan sekitar. Sedangkan Aaric duduk di sebelah kirinya. Tak lupa pangeran tampan yang baru saja masuk hari Ini, Alvian duduk di depan Ellina.

"Ka-kalian tak makan?" Ellina menyapa canggung.

"Yang Mulia tak perlu khawatir. Cukup nikmati pesanan Yang Mulia. Jangan hiraukan kami." Jawab Lykaios pelan.

"Makanlah. Mie gorengnya sudah dingin," ucap Aaric.

Sedangkan Alvian tersenyum lembut dan memperhatikan Ellina. Lykaios menendang sebuah bangku di depannya yang berada pas di samping Alvian. Suara keras terdengar. Seluruh kantin diam dan menatap mereka.

"Tundukkan pandanganmu. Apa yang kau lihat?" Lykaios berkata dingin.

Alvian tersenyum tipis dan itu membuat seluruh kantin terpana. Tak lupa Lexsi dan Valerie yang menatap iri pada Ellina.

"Apa masalahmu? Aku hanya sedang memandang wanita cantik di depanku." Jawab Alvian tegas.

"Kenapa kau tak pindah ke tempat lain? Masih banyak bangku yang kosong!" Lykaios menatap sekitar.

"Kenapa aku harus pindah saat wanita tercantik di sekolah ini ada di depanku?" Alvian menjawab lebih keras.

"Uhuuk," Lexsi tersedak mendengar perkataan Alvian.

Valerie bengong dengan sendok berisi makanan yang hendak ia suapkan ke mulutnya. Namun tertahan karena mendengar perkataan Alvian. Seluruh kantin semakin diam dan memperhatikan. Bahkan semakin banyak siswa yang datang untuk menyaksikan. Ellina terdiam dengan mulut penuh berisi makanan. Rasanya Ellina ingin memuntahkan semua makanan di mulutnya.

"Kau...," Lykaios menatap marah.

"Kenapa? Bukankah memang Ellina yang tercantik? Bagiku, Ellina adalah gadis yang tercantik."

Alvian memajukan tubuhnya dan tangannya meraih ikat rambut di kepala Ellina. Alvian menarik ikat rambut Ellina dan rambut panjang Ellina yang terikat akhirnya tergerai. Dengan cepat Aaric memukul tangan Alvian yang akan memperbaiki rambut Ellina.

"Apa yang kau lakukan?" Kini Aaric ikut bicara.

"Tindakanmu sangat tidak berkelas, pangeran Alvian. Begitukah caramu memperlakukan wanita terhormat? Apa memang seperti itu dirimu yang sesungguhnya? Tak berkelas!" ucap Lykaios dingin.

"Ah, maafkan aku Yang Mulia ratu Ellina." Alvian membungkukkan badannya.

Ellina terpaku dan tak tahu apa yang harus ia lakukan. Semua terlihat janggal saat Alvian menyebutkan seluruh panggilan kehormatan pada Ellina. Ellina menatap Aaric dan Lykaios yang tengah menatap tajam pada Alvian.

"Dimana letaknya kebangsawanan yang selama ini kau tunjukkan? Pangeran dari Transylvania tak lagi menjunjung tinggi perilaku berkelas!"

Alvian tersenyum tipis mendengar perkataan Lykaios. Seluruh isi kantin pun berbisik tak mengerti dengan pembicaraan Lykaios. Mereka seolah melihat drama kebangsawanan secara live di depan mata mereka.

Alvian berjalan mendekati Ellina. Membuat Ellina berdiri dan mundur beberapa langkah. Aaric dengan sigap berdiri di samping Ellina. Lexsi dan Valerie menatap tak percaya. Ini terlihat seperti mereka, para pangeran tampan berusaha merebut hati Ellina.

"Jika begitu," Alvian diam sebentar saat jaraknya beda selangkah dengan Ellina. " ... Yang Mulia, ijinkan hamba untuk kembali mengikatkan rambut Yang Mulia dengan benar. Apakah Yang Mulia ratu Ellina mengijinkan?" Alvian membungkukkan badannya.

"Kau, benar-benar!" Lykaios menarik kedua kerah baju Alvian.

"Kak Lykaios,"

"Aku baik-baik saja Yang Mulia. Jangan khawatirkan aku." Jawab Lykaios dengan tangan yang masih menarik kerah baju Alvian.

Alvian tersenyum sinis.

"Lihat, siapa yang tak mempunyai kelas?" Alvian menatap tajam Lykaios.

"Ikut aku," Aaric menarik tangan Ellina. Dan Ellina mengikuti Aaric.

"Hei, mau kau bawa kemana wanita cantikku?" Alvian berteriak.

Lykaios melepaskan tangannya dan menatap Alvian.

"Jangan pernah dekati ratu Ellina!"

Lykaios mengikuti Aaric dan meninggalkan kantin. Alvian tersenyum dan menatap sekitar. Perlahan raut wajahnya kembali dingin.

"Apa yang kalian lihat?" Tanya Alvian keras.

Seluruh isi kantin perlahan kembali duduk dan melakukan aktifitas yang tertunda. Alvian pun ikut pergi meninggalkan kantin.

"Hah, apa-apaan yang kulihat tadi? Apa mereka tengah syuting adegan di sebuah kerajaan? Pangeran, Ratu, Bangsawan. Semua di luar akal sehatku." Valerie menggelengkan kepalanya.

"Mereka semua sakit." Sambung Lexsi dan melanjutkan makan yang tadi sempat tertunda.

Aaric membawa Ellina ke belakang sekolah. Duduk di sebuah pohon rindang dan memandang hamparan rumput hijau yang menyejukkan.

"Kau tak apa?" Aaric menoleh pada Ellina.

"Aku tak apa," Ellina tersenyum dan akan ikut duduk di samping Aaric.

"Tunggu Yang Mulia." Lykaios yang baru saja datang menggelar sebuah kain di tempat Ellina akan duduk.

"Kak...,"

"Baju Yang Mulia akan kotor."

"Kakak hentikan itu semua. Kalian membuatku canggung."

Lykaios mencoba tersenyum dan kemudian ikut duduk tak jauh dari Ellina.

"Tapi, siapa Alvian sebenarnya? Kenapa dia tau tentang aku?"

"Kau tak ingat?" Aaric menatap Ellina.

"Wajahnya tak asing. Tapi aku lupa kapan pernah bertemu dengannya."

"Dia pangeran dari klan Transylvania. Pangeran kerajaan vampire." Jawab Lykaios.

Ellina menatap tak percaya pada pendengarannya.

"Kau harus lebih hati-hati. Jangan pergi kemanapun tanpa kami." Aaric menasehati Ellina.

"Mohon pengertiannya Yang Mulia ratu. Lord akan menghukumku jika aku gagal lagi melindungi Yang Mulia." Lykaios menatap memohon pada Ellina.

Ellina hanya mengangguk. Kini ia mengerti, kenapa Kenzie meletakkan Lykaios dan Aaric di sampingnya. Untuk melindunginya. Kenzie tak ingin meletakkan dirinya dalam bahaya. Perlahan Ellina merindukan sosok Kenzie. Tersenyum mengingat segala hal yang terjadi. Antara dirinya dan Kenzie. Semua membuat Ellina tersenyum penuh arti.

Waktu berlalu. Kini pelajaran terakhir tengah berlangsung. Alvian masih menatap Ellina dengan senyum penuh arti. Lykaios menatap Alvian tajam. Sedangkan Aaric sibuk dengan sebuah game di telepon genggam miliknya.

Tak lama jam pelajaran selesai. Seluruh murid berhamburan keluar. Aaric dengan cepat menggandeng tangan Ellina. Sedangkan Lykaios menjaga Ellina dari belakang. Alvian tersenyum melihat mereka tak memberinya kesempatan untuk mendekati Ellina sedikitpun.

"Ini semakin menarik," ucap Alvian pelan. Alvian pun ikut keluar kelas mengikuti mereka.

Kenzie tengah menunggu Ellina di samping mobilnya. Pakaian santai yang Kenzie kenakan membuat seluruh wanita yang menatapnya tak berkedip. Kenzie terlihat mempesona dan sangat tampan. Tak lupa Ernest yang juga berdiri di samping Kenzie, Ernest mengenakan pakaian kerja berupa jas. Ernest terlihat nyaman dengan pakaian yang ia kenakan sekarang.

Ellina berlari menghampiri Kenzie dan melepaskan genggaman tangan Aaric begitu saja. Kenzie merentangkan tangannya dan memeluk hangat Ellina. Seluruh gadis menatap iri pada Ellina. Terlebih Lexsi dan Valerie.

"Kenapa selalu Ellina? Aku sangat membencinya!" Lexsi terlihat sangat kesal.

"Bagaimana mungkin Ellina bisa kembali sekolah? Aku pikir dia akan tamat saat beasiswa itu kucabut. Ah, sial!" Valerie pun terlihat sama.

"Aku akan membuatnya tamat saat dirumah. Aku tak tahan lagi melihatnya." Lexsi menghentakkan kakinya dan pergi meninggalkan Valerie.

Valerie berlari mengikuti Lexsi. Sesekali Valerie menatap ke belakang. Mengatasi penuh iri pada Ellina. Menatap kesal pada Ellina yang di keliling oleh para pria tampan.

"Queen, kau baik-baik saja? Aku dengar dari Lykaios bahwa Alvian ada disini." Kenzie membuka sebuah payung dan menarik Ellina mendekat agar tak terkena panas.

Ellina hanya mengangguk dan tersenyum. Lykaios dan Aaric mendekat dan membungkukkan badannya sebentar.

"Terima kasih karena telah menjaga ratuku dengan baik."

"Suatu kehormatan bisa menjaga Ratu, Yang Mulia Lord," ucap Lykaios dan Aaric bersamaan.

Sedangkan Alvian berhenti melangkah. Matanya menatap Ellina yang tengah berada tak jauh dari Kenzie. Perlahan Alvian melangkah mundur. Rasa takut untuk menghadapi Kenzie kembali hadir. Belum lagi orang-orang di samping Kenzie.

"Aku akan mati dengan cepat jika seperti ini. Sial," ucapnya kesal.

=========////===========

.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height