My Sweet Savage Boss/C5 Feeling Guilty
+ Add to Library
My Sweet Savage Boss/C5 Feeling Guilty
+ Add to Library

C5 Feeling Guilty

Karena terlalu fokus dengan ambisinya untuk memiliki kembali cafe itu, Nara sampai melupakan dirinya sendiri. sudah berhari-hari dia menganggur dan tidak punya penghasilan bahkan dia makan saat dia ingat saja. karena masalah ini kesehatannya pun terganggu. dia tampak ringkih dan kurus.

Siang ini Nara mendapat kabar kalau Ibu dan Nadia sudah pulang dari liburan mereka. memang benar-benar kejam mereka, hasil penjualan cafe itu mereka gunakan untuk berlibur dan bersenang-senang. sedangkan Nara? dia benar-benar terpukul dengan perbuatan mereka ini.

Tanpa permisi Nara masuk kerumah Ibu, saat itu Ibu dan Nadia sedang sibuk mengurusi barang-barang yang mereka beli saat liburan. Nara sangat kesal!! bagaimana tidak, semua kesenangan Ibu dan Nadia adalah hasil dari penjualan cafe yang selama ini Nara pertahankan. wajah innocent Ibu dan Nadia juga semakin membuat Nara muak.

"Kalian keterlaluan!" kata Nara kesal, Ibu tak memperlihatkan rasa bersalah sedikitpun.

"oh..ada tamu.." kata ibu datar seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

"kenapa ibu lakukan ini semua? kenapa?" tanya Nara penuh emosi, air matanya tak terbendung.

"kenapa? semua inikan milik ayahmu.. dan Ibu inikan istrinya, dimana salahnya? lagipula ayahmu tidak sempat membuat surat wasiat, tidak ada warisan untuk siapapun..jadi siapa yang cepat bertindak dia yang dapat !!" jawab ibu licik, sangat licik! membuat Nara ingin bertindak kasar tapi Nara tak berdaya.

"aku ini anak kandungnya! aku yang lebih berhak atas semua yg ayah tinggalkan! kalian ini kenapa? sudah berapa banyak aset ayah yang kalian jual? dan aku cuma minta cafe itu..tapi kalian ambil juga!! dimana perasaan kalian..heh??" Nara terus berujar penuh emosi.

Dan tanpa mereka sadari ternyata ada Budi diambang pintu, dia memang hendak menemui Ibu tapi langkahnya tertahan saat mendengar keributan itu. kini dia tahu dan sadar kalau selama ini Nara tidak membual.

"sudah..sudah! terima saja! semuanya kan sudah terjadi, mau bagaimana lagi.." kata Nadia dengan tampang sangat innocent.

"pergi! ini rumah kami..bukan rumahmu lagi!" kata ibu sangat tega mengusir Nara dari rumah yang sebenarnya masih miliknya itu.

"kembalikan cafe itu!" tegaskan Nara.

'heh', Ibu dan Nadia malah menanggapinya dengan senyum kecut.

"pergi! atau..harus Ibu seret kamu keluar dengan paksa?" ancam Ibu, Nara tetap bertahan.

Budi menarik langkahnya, dia mengurungkan niatnya untuk menemui Ibu, apa yang ingin dia tanyakan pada ibu soal Nara sudah terjawab dengan mata kepalanya sendiri. Budi jadi sangat merasa bersalah, sebelum benar-benar pergi dia berhenti dan menunggu Nara didepan gerbang.

dan beberapa menit kemudian Nara keluar dari rumah itu dengan penuh luka dihatinya, dia benar-benar merasa jadi cinderella yang terbuang. Nara sudah tidak punya apa apa lagi, hanya air mata yang mengiringi setiap langkahnya.

Saat keluar dari gerbang, Nara agak terkejut saat bertemu dengan Budi. dengan segera ia seka air matanya dan mencoba terlihat baik-baik saja tapi Budi memang sudah tahu tentang apa yang terjadi.

"ngapain disini? ada perlu sama ibu? masuk aja.. mereka ada kok, baru pulang liburan!" kata Nara dengan nada agak sinis, dia juga memang agak kesal dengan Budi karena saat itu dia tidak mencoba mendengar penjelasan Nara.

"m..jadi benar lo itu anak tirinya bu Soraya?" tanya Budi, Nara enggan untuk menjawab, yang pasti dia benci dengan situasi ini.

"sorry ya.. gue emang gak tahu apa-apa, gue kira cafe itu mutlak milik bu Soraya.." tambah Budi kali ini dengan nada lembut.

"semuanya udah terjadi, mau bagaimana lagi.." kata Nara pelan dan penuh penyesalan.

"m..ini rumah lo juga?"

"ini rumah ayah, dan sekarang udah jatuh ketangan mereka juga, seharusnya ini semua milik gue! tapi apa yang terjadi sekarang? gue diusir dari rumah gue sendiri.. kenapa gak ada yang percaya kalau mereka itu licik! kenapa gak ada yang percaya sama gue.. hiks..hiks.." jawab Nara penuh emosi lalu tangisnya pecah karena tak kuasa lagi membendung kekesalan dan kekecewaannya, Budi panik dan semakin merasa bersalah.

"udah..udah..biar gue antar lo pulang ya.." tawarkan Budi dalam keadaan panik.

"pulang kemana?? gue gak punya rumah! hiks..hiks.." jawab Nara lagi dan tangisnya semakin pecah.

"oh iya, ya udah.. sekarang lo ikut gue aja, nanti gue bantu lo cari solusi ya..maafin gue karena kemaren-kemaren gue gak percaya sama lo.." kata Budi lalu membukakan pintu mobil untuk Nara.

"kemana?"

"sekarang kita temui aja bos gue, siapa tahu dia bisa bantu lo.." kata budi, setelah berpikir agak lama akhirnya Nara mau mengikuti Budi, siapa tahu Budi bisa memberinya pekerjaan.

***

Ya benar saja, Budi membawa Nara kerumah Azka. Nara tidak asing dengan rumah ini karena beberapa hari yang lalu dia datang kesana.

Awalnya Nara agak segan untuk masuk karena dia tahu kalau Azka adalah cowok angkuh dan ketus tapi Budi meyakinkan Nara untuk mengikuti sarannya.

Azka juga sempat kaget dengan kehadiran Nara, tapi akhirnya dia mau mempersilahkan Nara untuk duduk dan memberi kesempatan pada Nara untuk menyampaikan kebenarannya.

"mungkin ini semua salah gue, karena..gak menanyakan lebih detail tentang cafe itu.." kata Budi, Azka hanya sesekali memandang sinis pada Nara yang hanya tertunduk lugu saat itu.

"jadi..sekarang mau nya gimana?" tanya Azka.

"ya.. gak gimana-gimana, kita udah bayar semuanya, dan bu Soraya pasti sudah menghabiskan uang itu..tapi, disini..ternyata ada korban..seharusnya kita tahu dari awal tentang masalah ini.." kata budi penuh sesal.

"ya, seharusnya gue gak menyalahkan kalian..karena kalian gak tahu apa-apa, ini salah keluarga gue! mereka yang salah, mereka yang serakah! tapi.." ujar Nara masih dengan emosi, dia tahan kalimatnya karena isak tangis yang tak bisa dia tahan, Budi menepuk punggung Nara mencoba menguatkan.

"tapi.. cafe itu satu-satunya yang tersisa, yang seharusnya jadi bagian gue! cafe itu tempat gue usaha.. sekarang gak ada, gue gak tahu lagi harus gimana? rumah, tempat usaha..semuanya sudah mereka ambil.. hiks .." kembali Nara menangis, dan Budi dengan sigap merangkul Nara untuk semakin menguatkan. sejak tahu kebenarannya Budi memang dihantui rasa bersalah pada Nara.

Sedangkan Azka? dia masih bersikap biasa-biasa saja, tidak ada empati sedikitpun, dia malah menganggap kalau tangisan Nara itu hanya bagian dari dramanya saja.

"tenang ya.. gue punya solusi untuk masalah lo ini.." bisik Budi pada Nara, lalu Budi menatap Azka.

"gue gak tahu ini kebetulan atau nggak, tapi.. gue punya solusi untuk ini semua. ka, lo kan butuh ART buat rumah ini, dan Nar.. lo butuh pekerjaan dan tempat tinggal, iya kan ??" tanya Budi, Nara hanya mengangguk pelan.

"nah.. gimana kalo lo kerja buat Azka, ya.. bukan bermaksud merendahkan lo, lo bisa kerjakan pekerjaan rumah kan?" tanya Budi lagi, Nara hanya mengangguk lagi.

"kalo lo bersedia, lo bisa mulai kerja disini mulai besok..lo juga bisa tinggal disini, dengan begitu lo gak perlu susah-susah cari rumah kontrakan. dan Azka juga gak usah susah-susah lagi panggil housekeeper mingguan. iyakan? iyakan?"

Nara berpikir keras, dia tahu ini agak sulit tapi apa yang dibilang Budi benar, kapan lagi dapat kamar gratis dan jadi pembantu orang keren seperti Azka. sedang Azka tampak kurang yakin dengan Nara, dia takut dengan ambisi Nara yang dia ucapkan malam itu. tapi, hati kecilnya sedikit tersentuh dengan nasib yang Nara alami saat ini.

"gimana..lo mau nar?" yakinkan Budi, sejenak Nara melirik kearah Azka yang masih bersikap dingin.

"kita coba aja.." tukas Nara.

"trus gimana menurut lo ka?"

"ya terserah lo aja.."

Budi senang dengan kesepakatan ini. akhirnya dia menemukan solusi untuk Nara dan Azka.

Bersambung.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height