Night Creepy Diary/C8 Psikopat 8
+ Add to Library
Night Creepy Diary/C8 Psikopat 8
+ Add to Library

C8 Psikopat 8

Aku menjerit...

Meronta, berteriak seperti orang yang benar-benar kehilangan kewarasannya. Air mata bercampur dengan peluh, kedua mataku terasa bengkak karena terus menangis. Aku bahkan memukul dadanya, mendorongnya dengan sekuat tenaga sementara aku tetap bersandar pada pintu, seolah aku tidak ingin kehilangan kesempatan besar untuk berdiri dari jalan keluar satu-satunya ini.

Dia sama sekali tidak bergerak atau membalas pukulanku pada tubuhnya, aku tidak ingin melihat wajahnya. Menyeringai, tertawa atau ekspresi datarnya, aku tidak ingin tahu. Aku tidak ingin tahu kebenarannya meski rasa penasaranku begitu besar karena aku takut, mengapa ia memberi pernyataan yang tidak aku tanyakan. Aku takut...

Tubuhku merosot ke bawah setelah ia pergi, sebelah tanganku kini hanya memegangi gagang pintu. Sepertinya dunia luar tak mengijinkan diriku melihatnya, ini adalah kondisi diriku dimana aku benar-benar merasa terpuruk. Bagian terendah dalam jiwaku dimana aku benar-benar takut dan kengerian seolah menari di kepalaku, aku benar-benar hampir gila.

Aku yakin, sekarang ia sangat puas akan hasil karyanya karena telah membuat mentalku terganggu. Dia yang membuat peraturan untukku menjadi gadis baik, tapi dia juga yang nengacaukan pikiranku dengan cerita mengerikan itu. Dan alhasil, otakku yang tak biasa menerima hal mengerikan itu, di tambah dengan aku telah melihatnya sendiri, menjadi sakit. Otakku terasa sakit...

Aku menangis...

Masih menangis sesegukan memegangi lututku sendiri di balik daun pintu yang tak mau terbuka ini, dia tidak ada. Entah kemana, aku tidak perduli. Hanya berharap dia tidak disini beserta amarahnya yang akan mengulitiku habis-habisan karena telah melanggar aturannya, dan juga membenturkan kepalanya.

Jam dinding berdetak sangat nyaring, mungkin karena rumah ini begitu sunyi, baru kusadari di sini ada sebuah jam dinding. Kulihat jam menunjukan pukul 9 malam, suasana kian mencekam di tambah dengan kegilaanku. Aku ingin ada orang lain yang memberinya ucapan 'selamat' kepadanya karena telah berhasil membuatku gila, seandainya aku ini teman psikopatnya, akan kulakukan sendiri.

Tiba-tiba, langkah kaki terdengar dari dapur. Tubuhku bersikap waspada pada suara langkah itu, terdengar jelas karena rumah ini terbuat dari kayu. Tak lama ia muncul dari kegelapan dapur, aku mengernyitkan kening. Kembali menangis sesegukan, terus berdoa semoga ia tidak menghancurkanku kali ini, aku tahu kesalahanku, bersikap bodoh dan tak mengikuti aturannya.

Tapi, bukankah itu bagian dari permainannya?

Tak lama kedua kakinya berhenti tak jauh dariku, menyeringai menampilkan deretan gigi putihnya kearahku, dengan darah segar menetes dari kepala membasahi pelipis dan lehernya, mengerikan...

Dan yang lebih mengerikan untukku, dia menenteng dua buah rantai di tangan kanan dan kirinya.

Dan saat itulah duniaku rasanya ingin runtuh.

"Kumohon... jangan lagi..." rintihku, namun ia tidak mendengarkan.

Ia asik mengagumi rantai-rantainya yang terlihat putih mengkilap, benar-benar sakit jiwa. Aku kembali gelagapan, berusaha membuka gagang pintu dengan sisa tenaga yang aku punya.

"Kau suka yang mana?" Tanyanya kepadaku.

Pertanyaan itu, benar-benar membuat nyaliku menciut. Seolah dia baru saja membelikanku sebuah kalung berlian dan menyuruhku untuk memilihnya, itu gila. Tidak ada yang menyukai sebuah rantai, apalagi untuk tujuan tertentu. Jadi aku hanya menggeleng, setelah itu dia terdiam. Dan aku dapat merasakan ini adalah awal dari kesengsaraanku lagi.

Jawabanmu salah!

Wajahnya seperti berkata demikian, dan dapat kusadari kadar kemarahannya kini meningkat menjadi tujuh puluh persen.

Dia melangkah tiba-tiba kearahku, aku memohon padanya untuk tidak menyakitiku lagi. Namun ia malah memasangkan rantai-rantai itu di leherku, sedikit sesak. Namun aku masih bisa bernafas, di sela tangisku. Aku benar-benar tidak dapat menghirup udara dengan benar.

Setelah memasangkanku rantai tanpa berani aku lawan, ia mundur beberapa langkah. Melihatku yang masih terduduk di lantai dengan rantai bak anjing dungu, ia menyerigai puas. Mungkin beginilah perasaan hewan peliharaan ketika kamu memasangkan mereka rantai atau pengikat di leher mereka. Aku menatapnya memohon, berusaha meminta maaf karena telah menyakitinya dan melanggar perintahnya.

Namun sia-sia, air mataku kini tak di hiraukannya lagi. Seolah aku makhluk yang selalu menangis dan tangisan itu terbiasa untukku.

"Kemari!" Katanya, aku bingung. Apakah ia benar-benar akan menganggapku sebagai binatang peliharaan sekarang?

Aku kembali berusaha menjadi gadis yang baik, ku lakukan apa perintahnya dan aku tahu apa maunya. Lalu aku berjalan merangkak bagaikan binatang peliharaan dengan rantai di leher menuju kearah kakinya.

"Gadis pintar...." ia memuji dengan seringaian, aku tahu ia begitu puas melihat ini. Maka, akan kutunjukan caranya agar ia selalu puas.

Berhenti di depannya, ia berjongkok di depanku yang masih sesegukan karena tangis.

Wajahnya berubah lagi, seperti iba dan prihatin.

Sepertinya dia menyayangiku dan begitu mengasihiku sekarang.

Aku lalu menangis lagi, dan berkata 'maaf' kepadanya. Hanya itu yang bisa ku katakan sekarang, ia berusaha menenangkanku. Mengelus rambut dan menghapus air mataku, lalu dia menarikku kedalam pelukannya seraya menepuk bahuku dengan lembut, aku dapat merasakan kasih sayang yang tidak pernah ia berikan selama ini.

Aku terbuai...

"Hush... hush... sudahlah, aku mengerti..." begitu lembut perkataannya yang ku ingat.

Tapi,

Beberapa detik kemudian, ku merasa pelukannya makin mengerat. Makin kuat, sehingga aku merasakan sesak nafas dan berusaha terlepas dari pelukannya.

Aku meronta, tapi kekuatannya lebih besar dariku. Berusaha mendorongnya, dan ternyata baru kusadari lagi, ini adalah bagian dari permainan gilanya.

Dia mengasihiku seolah-olah benar-benar menyayangiku, lalu setelah aku masuk kedalam pelukannya, ia menunjukan taring dan bersiap untuk menyiksaku lagi. Sungguh begitu bodohnya aku...

Aku menjerit meminta di lepaskan, dia tidak menggubris dan diam.

Tak lama, aku mendengarnya berkata...

"Aku tidak bisa membunuhmu, tapi aku juga tidak dapat melepaskanmu..." ucapnya dengan nada penuh amarah di sertai pelukan paling kuat yang seolah baru saja meremukan tulang-tulangku. Namun, dari situ aku dapat mempelajari satu hal. Dirinya juga bimbang sepertiku...

Aku lemas...

Begitu dia melepaskan pelukan itu, tangannya segera menarik rantai di leherku lalu menariknya.

Dia menyeret tubuhku yang telah terkulai lemas, kini di tambah dengan cekikan di leherku yang makin menguat.

Langkahnya tidak menuju tangga kamar, aku mulai panik. Terus kearah dapur, ia membuka gudang menuruni tangga. Aku berusaha menjerit, meskipun aku tahu kini aku tidak dapat bersuara.

Terus kedalam kegelapan, hingga sebuah pintu terbuka. Menampilkan kegelapan yang begitu benar-benar mengerikan dengan udara pengap. Ia melemparkan tubuhku kedalam sana, terasa lantainya adalah pasir. Aku yang telah lemas tak dapat lagi berdiri dan hanya berteriak parau.

"Tidak... kumohon... jangan lagi disini.... tidak...."

Racauku ketika ia menutup pintu dengan perlahan, menutup setitik cahaya dan meninggalkan kegelapan denganku, aku menjerit pilu dan histeris.

"Tidak... Adriaaan......!"

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height