Perawan Tua Kesayangan CEO/C11 Aku, adalah Temanmu
+ Add to Library
Perawan Tua Kesayangan CEO/C11 Aku, adalah Temanmu
+ Add to Library

C11 Aku, adalah Temanmu

Carlotes terganggu oleh sinar matahari yang menerpa wajahnya. Sangat panas sehingga dia bangun dan segera melihat ke sampingnya. Dia heran karena bukannya melihat Jingga, tetapi malah melihat kertas putih kecil.

Dia mengambil kertas putih itu dan membaca apa yang tertulis di atasnya.

Carlotes,

Saya pergi ke Pulau Kuta saat kamu tidur. Sengaja gak bangunin karena kamu tidur sangat nyenyak. Oh iya, kalau kamu keluar rumah, tutup lampu lalu kunci jendela dan pintu.

Temanmu, Jingga

Note: Tolong bereskan tempat tidur sebelum pergi.

Dia menatap kata penutup yang digunakannya. Temanmu? Apakah mereka benar-benar berteman?

Alih-alih memikirkan itu, dia bangkit dan mandi di kamar mandi di dalam kamar Jingga. Lalu merapikan tempat tidur sebelum menuju ke unitnya sendiri yang hanya berbalut handuk milik Jingga.

Setelah berpakaian, dia pergi ke ayahnya di rumah. Ini hari Minggu, jadi orang tuanya pasti sudah ada sekarang. Sesampainya di sana, dia langsung masuk dan menghampiri ayah yang dilihatnya sedang duduk di tepi kolam dan berjemur.

"Hai, Ayah." Dia menyapa dan duduk di kursi panjang di sebelahnya.

"Hei, Nak." Ayah berbalik padanya. "Kenapa kamu di sini? Ayah kira kamu pergi ke ulang tahun?"

"Nanti saja." Dia berkata dan melihat ke kolam renang. "Ngomong-ngomong, saya datang ke sini karena suatu alasan."

"Yaudah ngomong aja alasannya."

Dia menoleh ke arah ayah yang sedang menatapnya. “Ayah, kita berdua kan tau jalau saya payah dalam bisnis, itulah mengapa saya malas. Kenapa Ayah memaksa, dan saya sudah mencoba dan mencobanya lagi, tetapi saya ingin Jingga Amelia mengajari saya, bukan orang asing."

Alis sang ayah terangkat. "Jadi Si Jingga Amelia bukan orang asing?"

Ayahnya tercengang ketika Carlos menjawab. "Ya, dia bukan. Saya sudah mengenalnya. Kami bertetangga dan berteman baik."

"Kapan kamu punya pacar untuk menggantikan Sherly?"

"Gak tau."

Sang ayah menatapnya tajam lalu menghela nafas. "Carlotes, jangan berhenti karena suatu alasan. Dan tolong, jangan gunakan bisnis untuk alasan pribadi." Ayaj menepuk bahunya. "Pikirkan saja alasan lain bagaimana kamu bisa dekat dengan Bu Amelia tanpa lewat bisnis."

Carlotes terheran. "Ayah, saya gaj akan mendekatinya."

Ayahnya tertawa pelan. "Carlotes, pergilah. Kalau kamu mau berbohong, jangan di depan Ayah."

Carlotes menghela napas. "Saya hanya ingin dia menjadi teman, seperti sahabat."

"Terus dia gak mau?"

Dia mengangguk.

"Yah, pasti ada alasan kenapa dia gak mau menjadi temanmu."

Ya, karena mereka berhubungan seks. Dua kali! "Gak tau lah."

Sang ayah menggeleng. "Mungkin dia memang gak mau. Ada wanita yang benar-benar gak mau berteman dengan pria."

"Oh baiklah." Carlotes berdiri dan mengucapkan selamat tinggal. "Baiklah, Ayah, saya masih akan mencari hadiah untuk Kulla dan Dewwa."

Sangat potensial jika menggunakan bisnis ayahnya untuk mendapatkan Jingga, tetapi itu pun jika mendapatkan izin.

#####

Carlotes mengambil napas dalam-dalam sebelum turun dari kapal pesiar yang dia tumpangi.

"Semoga beruntung kawan." Rijal berteriak dari dek kapal pesiar.

Carlotes tersenyum dan melambai pada temannya sebelum keluar dari dermaga. Ransel besar disampirkan di bahunya saat berjalan menuju Hotel Kuta. Sesampainya di sana, dia tidak melalui meja informasi, tetapi langsung menuju lift dan diantar ke lantai paling atas di mana terdapat penthouse yang dibangun ayah untuknya.

Ketika keluar dari penthouse, dia mengeluarkan kunci dari sakunya dan memasukkannya ke dalam lubang kunci lalu membukanya. Ketika mendengar bunyi klik, dia tersenyum. Dia mendorong, membuka pintu dan masuk.

Bau harum alami Jingga menembus hidungnya, itu pertanda bahwa di sinilah gadis itu menginap.

Dia menjatuhkan ransel besar di lantai berkarpet rumah pent dan berbaring di sofa panjang. Ketika memejamkan mata, dia tidak menyadari bahwa dia langsung pulas, mungkin lelah karena perjalanan.

Jingga heran saat melihat pintu penthouse terbuka. Mungkin saya lupa mengunci sebelumnya.

Sambil tersenyum dia menoleh ke Revi. "Nah, kamu sudah membawa saya ke pintu kamar ini sehingga kamu bisa memastikan saya gak diperkosa."

Pemuda itu tertawa kecil. "Ya. Apakah buruk mengkhawatirkan harga dirimu?"

Jingga memutar matanya. "Ya, terserahnlah." Dia bercanda dan mendorongnya. "Sudah pergi sana. Masih banyak yang harus kita lakukan besok."

Rambutnya sedikit kacau dsri sebelumnya yang memang sudahs berantakan karena angin kencang di luar. "Oke, saya pergi. Oh iya, terima kasih ya udah bantu buat laporan bulanan dan SO. Jadi, beban saya berkurang."

Jingga mengangkat bahu. "Gak masalah. Saya belum pernah melakukan apa pun di kantor sebelumnya."

"Oke, bye!" Revi memeluknya sebelum berjalan kembali ke lift.

Revi menunggu lift menutup sebelum memasuki penthouse.

"Siapa dia? Apakah dia pacarmu?"

Jingga menghela nafas keras ketika mendengar suara Carlotes. Dia segera melihat ke sumber suara. Bibirnya terbuka ketika melihat Carlotes menatapnya, wajahnya tidak memiliki emosi selain kemarahan.

"Carlotes?" Jingga tidak percaya akan mengatakan namanya. "Apa yang kamu lakukan di sini?"

Carlotes menyilangkan lengannya di depan dada dan matanya menjadi tajam menatapnya. "Siapa pria yang kamu ajak bicara?"

"Si Revi?" Jingga berkata seolah bertanya. "Maksud saya, nama dia Revi." Jingga mendekatinya lalu menyesuaikan kancing kemeja polonya. "Kenapa kamu terlihat marah?"

Carlotes menjabat tangan yang mengancingkan polonya yang terbuka. "Siapa dia?"

"Teman." Jingga merasa heran ketika mengatakan itu seraya mengancingkan kemeja polonya yang terbuka lagi. "Kenapa kamu marah?" Dia bertanya lagi.

"Teman?" Suara Carlotes diwarnai kecemburuan. "Dia bisa menjadi temanmu, tapi saya, gimana?"

Jingga menghela napas dan menatap Carlotes dengan lelah. "Carlotes, dia teman dan kamu bukan karena, yah, kamu tahu alasannya." Setelah menyesuaikan kancing polonya, dia pergi dan meninggalkannya ke dapur. "Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Saya sedang liburan." Jingga tidak lagi terkejut ketika dia menjawab dari belakangnya karena Jingga merasa dia mengikutinya ke dapur. "Pokoknya, saya tinggal di sini, di penthouse ini. Mungkin selama berminggu-minggu. Ayah yang suruh melakukannya, jadi, sebaiknya saya memanfaatkannya."

Jingga menuangkan air ke dalam gelas seraya menghadap Carlos. "Jadi, apa saya harus pindah kamar?"

"Gak!" Dalam suaranya Carlotes tampak gugup membayangkan Jingga pindah dari ruangan. "Kita bisa berbagi. Ada dua kamar di penthouse ini, jadi jangan khawatir."

"Ah, saya gak khawatir." Jingga tersenyum dan menyesap air dari gelas saat matanya bertemu dengan mata Carlos.

Carlotes terdiam dan menunggunya selesai minum sebelum mendekat. Dia mengambil gelas yang JIngga pegang dan meletakkannya di wastafel, lalu mengusap lipstik di bibirnya.

Detak jantung Jingga langsung bertambah cepat, tetapi dia juga langsung menegur jantungnya karena tahu tidak ada respon dari detak jantungnya yang cepat. Dia tahu Carlotes masih menyukainya..

Carlotes adalah orang pertama yang mendapat ciuman itu. "Saya mau tidur. Besok masuk pagi karena masih banyak yang harus saya lakukan." Jingga melewatinya dan dia merasakan bahwa Carlotes mengikutinya lagi.

"Apa kamu gak mau makan?" Carlites bertanya karena mereka sudah berada di ruang tamu.

"Gak. Saya sudah makan dengan Revan."

"Revan? Siapa lagi tuh?" Carlos bertanya dengan nada kesal..

Igga berhenti di depan pintu kamar lalu menoleh ke Carlos "Revan u ya teman."Jingga tersenyum sebelum akhirnya masuk kamar.

Senyum memudar dari bibirnya saat masuk kamar. Dia duduk di tepi tempat tidur dan memukul dadanya tepat di mana jantungnya berada.

"Kamu tidak bisa mengharapkan Carlotes. Kamu hanya akan terluka." Hati Jingga berbisik.

Dia tahu hanya akan terluka tetapi mengapa dia tidak bisa mengendalikan hatinya. Itulah salah satu alasan mengapa dia tidak ingin Carlotes menjadi temannya, karena dia tahu, jauh di lubuk hatinya, dia ingin lebih dsri sekadsr sahabat.

Carlotes menatap kamar Jingga yang tertutup. Keningnya sangat berkerut. Revi sama Revan? Ini menjadi lebih menjengkelkan!

Carlotes mengambil ransel yang berserakan di ruang tamu dan membawanya ke kamar sebelah Jingga.

Dia segera berbaring di tempat tidur begitu dia memasuki kamar dan menutup matanya.

Dia tidak tahu apakah karena tidur lebih awal sehingga dia tidak bisa tidur sekarang. Atau mungkin gadis yang menempati kamar sebelah ada punya pengaruh.

Carlotes bangkit lalu meninggalkan kamar, dia mengetuk pintu kamar Jingga.

"Sampai ketemu besok." Jingga berbicara dari dalam.

Carlotes membuka pintu dan masuk. Matanya segera mencari gadis itu. Dia terkejut dan terangsang melihat gadis itu duduk di cermin rias dan menyisir rambutnya yang keriting dan panjang.

Carlotes tidak ingin tergoda sehingga dia menurunkan matanya ke lantai dan duduk di sisi tempat tidur.

"Gak bisa tidur?" tanya Jingga. "Apa kamu gak nyaman?"

"Nah. Saya dulu tidur di Hotel. Karena bagian dari pekerjaan saya."

Carlotes mendengar suara kursi yang diduduki Jingga mendekatinya dan duduk di sebelahnya.

"Lalu kenapa kamu gak bisa tidur? Butuh cewek buat dipeluk?"

Carlotes tahu itu hanya lelucon, tetapi dia tidak bisa menahan diri semoga bukan lelucon.

"Kalau saya mau melakukannya? Emangnya kamu mau berpelukan?"

Jingga tertawa pelan. "Gak lah. Sana gih, tidur di kamarmu. Saya mau tidur nyenyak malam ini."

"Saya gak mendengkur." Carlotes berkata dengan cepat.

"Saya tahu. Tapi tetap saja, kamu tidur di kamarmu malam ini."

Carlotes memutar matanya lalu berdiri. "Oke. Saya akan melakukannya."

Jingga bangkit lalu mengantarnya ke pintu kamarnya.

"Selamat malam, Carlotes."

Carlotes tersenyum lalu mencondongkan tubuh ke arahnya untuk menempelkan bibir ke bibirnya. "Selamat malam." berkata lalu menjatuhkan tiga ciuman kecil yang manis di bibirnya sebelum menarik diri. "Tidur yang nyenyak, ya, Bidadari."

Carlotes melihat gadis itu berkedip seolah dia bukan dirinya sendiri.

Jingga keluar dari kamarnya dan pergi ke kamar sendiri dengan senyum di bibirnya.

######

Jingga TIDAK DAPAT BERGERAK dari duduknya. Ciuman Carlotes padanya terus mengganggu otaknya.

Sial itu bukan sikap teman! Carlites oasti ingin membuat hatinya bersukacita tetapi dia tidak menurut. Ciuman itu tidak berarti apa-apa. Bukan karena dia mencium bibirnya yang membuatnya merasa, gila!

Jingga menutup pintu kemudian merangkak ke tempat tidur. Setelah kurang dari beberapa menit dia tidur, nada peringatan pesan dari ponselnya berdering.

Dia meraih ponsel di meja nakas dan membaca teks yang diterima.

Dari: Carlotes

Mimpikan saya. Oke!

Mau tak mau dia senang dengan teks sederhana itu. Karena belum mengantuk, dia menjawab Carlos.

Kepada: Carlotes

Mimpikan saya juga :-) Mwuah ...

Xuxixi.

Kurang dari satu menit kemudian, pesan terbalas.

Dari: Carlotes

Tentu saja. Ngomong-ngomong, bisakah kita sarapan bersama besok?

Kepada: Carlotes

Mengapa? Gak mampu sarapan sendirian?

Dari: Carlotes

Ya, tapi saya gak mau kamu sarapan dengan Revi atau Revan, siapa pun temanmu itu. Saat saya di pulau, hanya saya yang seharusnya bersamamu.

Jingga bergidik lagi dengan apa yang dia baca. Astaga!

Kepada: Carlotes

Mengapa? Beraninya kamu mengatakan itu?

Dari: Carlotes

Saya temanmu.

Tiba-tiba sensasi yang dirasakan menghilang dan digantikan oleh sedikit sakit hati. Apakah dia berharap?

Kepada: Carlotes

Revi sama saya akan sarapan bareng besok karena kami akan berbicara tentang Pulau. Sudah, saya mau tidur. Bye.

Jingga mengembalikan ponsel ke night stand dan miring untuk berbaring. Ketika mendengar nada peringatan pesan, dia mengabaikan begitu saja.

Itulah yang dinamakan dilema cinta!

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height