+ Add to Library
+ Add to Library

C2 Kencan Paksa

Saat sedang berpakaian, aku masih bisa mendengar pria itu mengetuk pintu. Aku buru-buru berpakaian dan pergi untuk membukanya. Matakumenyipit saat dia tersenyum melihatku.

"Apa yang kamu senyumi?"

"Tidak ada."

Aku menatapnya. Tidak ada jawaban tetapi aku tahu dia sedang mengingat tubuh telanjangku.aa

"Apa yang kamu butuhkan?" Aku berusaha mengubah topik pembicaraan. "Kenapa kamu mengetuk pintu?"

"Karena kamu mengganggu. Saya sedang tidur nyenyak di kamar tapi suara musikmu mengganggu."

Aku bertanya-tanya dan mengintip ke unit sebelah. "Apakah itu milikmu?"

"Ya, saya baru saja membelinya."

"Oh."

Selama ini aku memang selalu memutar musik keras-keras karena memang tidak ada yang tinggal di sebelah kamarku. Jadi, mulai sekarang aku harus memakai headset untuk mendengarkan musik. "Kalau gitu siap-siap saja, musik saya akan membunuhmu."

Saat aku hendak menutup pintu, lengan Carlos menahanku. Dengan tanpa permisi dia menempelkan bibirnya ke bibirku. "Selamat pagi, tetangga." Dia berkata seraya berbalik pergi ke kamar seolah tidak melakukan kesalahan.

Aku menegang karena apa yang baru saja dilakukannya. Itu hanya sebuah kecupan tetapi mampu mengguncangku. Kini aku dalam keadaan linglung. Aku masih bisa merasakan bibirnya di bibirku.

Aku pun marah lalu menggedor pintu unitnya. "Buka pintunya brengsek!"

"Kenapa? Kamu mau ciuman lagi?" jawabnya, dari dalam kamar.

"Cium dinding saja, Bodoh!" Darahku mendidih selama menunggu pintu terbuka. "Buka pintunya!

Saat dia membuka pintu, sepertinya ada kaca di mataku. "Sialan kamu! Kenapa kamu menciumku!"

Dia menyandar ke kusen pintu lalu menatapku dengan saksama. "Saya menciummu karena saya mau, kenapa kamu bersedih?"

Aneh, tak mengerti dengan pria yang berdiri di depanku. "Kenapa bisa kamu melakukan seenaknya!"

Dia hanya menghela nafas. Tiba-tiba dia mendekatkan wajah ke wajahku. Hingga bibirku hanya berjarak satu senti dari bibirnya.

"Hey, jauhi saya!" perintahku.

Dia menyeringai padaku, lalu perlahan, dia membungkuk, tetapi sebelum bibirnya menyentuh bibirku, aku berlari ke unitku kemudian mengunci pintu.

Aku menghela nafas sambil mengusap dada, seolah berpacu dengan denyut nadi yang sangat cepat. Menyentuh bibir seraya mengingat dia yang barusan menciumku. aku menggeleng berusaha menghapus ingatan itu di benakku. Aku masih ingin waras!

Nada peringatan pesan ponsel berdering. Tidak kusangka bahwa ibu yangmengirim pesan. Ketika membacanya, ternyata tentang Lodrick.

Menjengkelkan sekali karena ibu mempermasalahkan penolakanku untuk berkencan kembali dengan Lodrick.

Ketika tidak bisa lagi menahan dering ponsel, aku mematikannya. Ibu tidak akan benar-benar berhenti sampai berhasil membuatku berkencan dengan Lodrick lagi. Pokoknya aku tidak mau!

Aku buru-buru mandi lalu pergi ke rumah orang tuaku.

Aku memergoki ayah yang sedang membaca koran di ruang tamu,sedangkan ibu pada menatapku dengaan kening berkerut.

"Ma, saya gak mau berkencan dengan Lodrick!" Aku telah mendahulu sebelum ibu bisa berbicara.

"Kenapa? Dia pemuda yang baik!"

"Karena dia bukan tipe saya, oke?" Aku benar-benar marah. "Saya gak suka. Apa saya harus berteriak agar Mama mengerti!"

Sepertinya ibu kecewa. "Emangnya kenapa kamu gak suka? Ibu gak percaya kamu gak suka sama dia."

Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. "Ma, saya gak suka Lodrick karena saya gak suka. Titik. Gak ada alasan lain!"

"Hilih. Kamu gak suka Lodrick pasti karena suatu alasan, mungkin kamu naksir orang lain!"

"Emang kenapa si!" aku mulai kesal. "Bukan itu!"

"Jangan berbohong,, JIngga. Ibu tahu kamu pernah menelepon seseorang."

"Ma, saya gak menyembunyikan apa-apa!"

"Jika kamu menyembunyikan sesuatu, Ibu bersumpah ....-"

"Mama!"

"Ibu akan menghapus kamu dari kartu keluarga!"."

"Hadeh, baiklah!" Aku menyerah dan menghela nafas panjang. "Saya sudah punya pacar." Aku terpaksa berbohong agar ibu berhenti bicara.

Wajah ibu seolah penasaran. "Siapa pacarmu? Kenapa kami tidak saling kenal?"

"Mmm namanya ...." Kebetulan aku melihat ke koran yang sedang dibaca ayah. Carlos Santana, seorang Fotografer terkenal yang bekerja untuk National Geographic Channel dan dianugerahi penghargaan sebagai fotografer terbaik di Asia. Aku tersenyum. "Namanya Carlos Santana." Aku mengatakan nama yang kubaca di headline koran tersebut.

"Apa? Santana?" Ibu tertawa. "Kok namanya terdengar seperti keluarga?"

Ayah menjatuhkan koran. "Dia gak asing bagimu karena nama itu adalah nama fotografer muda yang mendapat kehormatan. Bukankah dia ada di berita tadi malam?"

Aku menggigit bibir. Apakah Carlos begitu populer? Sial! Sepertinya aku akan langsung dipecat jika berbohong. Ibu akan membantaiku ketika dia tahu aku berbohong.

"Ya, benar tuh." respon ibu, "beneran kamu pacaran sama dia?"

Aku terpaksa mengangguk.

"Kamu gak bohong?"

Aku menggeleng. "Enggak!"

Senyum lebar tersungging di bibir ibu. Dia memelukku erat. "Ya Tuhan, Sayangku, kamu membuatku bangga! Kamu sangat beruntung dengan pacarmu!" ucapnya, kemudian melepaskan pelukan dan melanjutkan, "Ibu minta maaf tentang Lodricj. Saya sudah maksa kamu. Ibu kira kamu belum punya pacar. Kalau saja Ibu tahu bahwa Carlos Santana adalah pacarmu, Ibu pasti gak akan memaksamu berkencan dengan Lodrick. "

"Kapan kami bisa melihat pacarmu?" Ayah mulai masuk dalam pdrcakapan.

"Secepatnya, dia hanya sibuk sekarang," jawabku.

"Ya Tuhan! Ibu sangat bersemangat!" Ibunya terkikik seperti remaja lalu memeluknya lagi. "Ibu ikut bahagia, Sayang."

Aku tersenyum paksa, "Ya, saya juga senang."

Ketika ibunya melepaskan pelukan, aku buru-buru mengucapkan selamat tinggal.

"Saya pergi, Ma, Ayah. Masih banyak yang harus saya kerjakan."

"Oke, hati-hati."

Wajah ibu terlihat penuh kebahagiaan. Sedangkkan wajah ayah, tetap terlihat seperti Poker. Saat meninggalkan rumah, aku menutup mata erat-erat. Rasanya ingin menginjak-injak diriku sendiri karena berbohong.

Aku masuk mobil kemudian mengendarainya menuju Hotel Mewah di mana aku adalah Manajer di sana. Ketika sampai, aku langsung pergi menuju kantorku. Saat baru saja ingin membuka, sekretaris datang menghampiriku.

"Bu, sekretaris Pak Santana menelepon." Dia mengatakan bahwa orang yang dimaksud adalah pemilik Hotel tempat dia bekerja. "Anda disuruh ke kantor Tuan di Santana Group of Resorts."

"Mengapa?"

Pembicara mengangkat bahu. "Saya tidak tahu, tetapi Anda harus pergi sebelum matahari pagi."

Aku melihat jam di tangan, betapa kagetnya saat tahu ternyata sudah jam sembilan.

"Terima kasih." aku membalas dan bergegas kembali ke mobil.

Ketika tiba di gedung Santana Group of Resorts, aku hendak menemui Mr. Santana tetapi hanya diterima oleh sekretarisnya yang sepertinya sedikit lebih tua dariku.

Ketika sudah masuk kantor Santana, aku melihat seorang pria, mungkin berusia pertengahan lima puluhan, yang sibuk membaca beberapa file.

Aku menyapanya. "Selamat pagi, Pak."

Pria tua itu mendongak karena mendengar suara. Ketika melihatku, dia menunjuk ke kursi pengunjung.

"Silahkan duduk." perintahnya.

Aku duduk dengan gugup. Sejak menjadi Manajer Hotel ini, aku hanya melihat pria itu empat kali. Pertama adalah ketika dia mewawancarainya untuk posisi Manajer. Kedua adalah ketika aku mendapatkan penghargaan sebagai karyawan yang paling berprestasi. Ketiga adalah ketika dia diundang untuk menghadiri pesta amal yang diselenggarakan oleh Mr. Santana, dan terakhir, aku diundang ke hari ulang tahunnya.

"Mengapa Anda memanggil saya, Tuan?" Aku tidak sabar untuk mengetahui tujuannya padaku.

"Bersemangat, bukan?" Dia berkata sambil tersenyum.

"Ya, agak."

"Bagus, saya memanggil Anda ke sini untuk berbicara tentang tugas baru Anda di Kuta Beach Resort. Anda akan menjadi Manajer baru di sana."

Mataku sedikit terbelalak kaget. "Serius? Apakah Anda tidak bercanda, Tuan?" Kuta Beach Resort adalah salah satu Beach Resort paling indah dan populer di Asia. Bisa mengelola hotel yang merupakan ternama di Asia itu sungguh menghangatkan hati.

"Kenapa saya harus berbohong?" Dia bersandar di kursi putar. "Banyak Manajer Hotel telah mengajukan aplikasi untuk ditugaskan ke sana. Dan dari semua yang mengajukan, Andalah yang saya pilih. Anda memiliki keterampilan dan kecerdasan untuk menjalankan Kuta Hotel. Saya yakin Anda lebih daripada mampu menanganinya."

Saat aku mengajukan Aplikasi untuk menjadi manajer Kuta Hotel, aku tidak tahu yakin akan dipilih. Kesenangan menyelimuti seluruh keberadaanku. Ini adalah mimpiku untuk menjadi manajer Kuta Hotel! Dan sekarang menjadi kenyataan! Rasanya ingin melompat kegirangan tetapi aku menahan diri karena sedang berada di depan bosku.

"Terima kasih, Pak." Aku membalas dengan senyum yang sangat lebar..

"Terima kasih kembali." Dia tersenyum. "Ngomong-ngomong, besok kita akan berangkat ke Resort menggunakan Helikopter perusahaan. Saya akan menemanimu ke saba. Saya akan menunggumu, di sini, di kantorku."

Aku mengangguk. "Ya, Pak."

"Oke, kamu bisa pergi sekarang."

Senyum lebar masih melekat di bibirku bahkan ketika sudah berada di dalam mobil dan dalam perjalanan pulang.

Setibanya di Condominium, aku memarkir kendaraan di garasi lalu berjalan menuju lift. Saat lift baru saja mau menutup, Carlos Santana masuk!

"Hai." Dia menyapaku.

Aku hanya menanggapi dengan senyum seperti anjing.

"Bagaimana harimu?"

Aku mengabaikannya seraya melipat tangan.

"Oh ayolah, apa kamu marah sama saya?"

Aku tetap diam.

"Ayolah, jangan marah." Dia berbicara dengan suara lembut. "Saya hanya menciummu karena tubuh saya menyuruh saya begitu."

Mataku tajam menatapnya. "Mati saja kamu!"

Dia menyeringai. "Jika saya mati, pria tampan di dunia akan berkurang. Saya yakin kamu gak mau membiarkan itu terjadi."

Ya Tuhan. Darahku benar-benar mendidih pada pria ini. Aku bersyukur pada-Mu karena akan bekerja di sebuah pulau, jauh dari pria kurang ajar ini!

"Di pulau mana kamu akan bekerja?" Dia bertanya seolah mendengar apa yang baru saja hatiku katakan.

Ups! Apakah hatiku berkata dengan keras?

Aku melihat ke atas. "Apa pedulimu?"

"Jadi kamu akan pergi?" Nada bicaranya seolah-olah dia memiliki tanggung jawab untuk itu.

"Ya, saya pergi." aky mengangkat alis karenanya. "Hati-hati."

Emosi di wajah pria itu menghilang dan jika dia tidak salah, ekspresinya menjadi gelap. Apa masalah pria ini?

"Kemana kamu pergi?"

"Bukan urusanmu." Aku menatapnya. Tepat saat lift terbuka, aku bergegas keluar dan berjalan menuju unitnya.

Saat aku sedang meletakkan kunci di lubang, aku mendengar suara di belakang,

"Di pulau mana kamu akan bekerja?" Ternyata dia lagi.

Aku semakin kesal menghadapinya. "Apa pedulimu? Bagaimana kabarmu dan apakah kamu perlu tahu di mana saya akan bekerja? Terakhir yang saya tahu, kamu hanya tetangga yang kurang ajar."

Aku berbalik dan membuka kondominium, setelah itu kubanting pintu dengan keras.. Pria itu benar-benar menyebalkan!

Saat aku melihat seseorang yang tampan, aku akan menirumu Carlos. Aku akan mencium juga karena itulah yang diinginkan tubuhku. Ha ha ha

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height